Ya.. ini kali pertama aku datang ke kota ini. Kota bagian barat pulau eksotis Borneo. Jangan tanya kenapa eksotis, aku rasa itu semata karena diriku dipenuhi gambaran Borneo sejak kecil melalui buku-buku SD di Africa, sebagai jantung dunia. Dan kata eksotis itu melekat begitu saja.
Ada rasa kegembiraan, kecemasan, dan deg-degan... Rasanya seperti masih berumur 6 tahun di hari sebelum ulangtahun menanti dengan penuh harap akan mendapat hadiah apa. Ya.. kurang lebih begitu.. a sense of wonder of what to come and what to encounter. Perjalanan ke tempat-tempat baru.. selalu saja membawa rasa-rasa semacam itu. Terlebih saat kita melakukan perjalanan sendiri. Ya... orang selalu berkata travelling paling enak kalau bersama seseorang, karena bahagia memang tak ada arti tanpa terbagi.. some people arent so lucky tough. I for one. Perjalanan sendiri.. hm.. membawa desakan aliran rasa disekujur tubuh yang sedikit berbeda. Tapi, yakinlah.. selalu ada cerita yang punya greget saat pergi sendirian. Aku sempat tergoda untuk menghubungi sosok yang kutemui terakhir kali aku di Bali dalam perjalanan soloku, untuk terbang kesini dan mengalami kota yang sama-sama baru ini berdua. Entah kenapa... namun dipenuhi keraguan. Bukankah sudah kutinggalkan kisah itu di Bandara? Hingga terik itu menyengat pertama kali di Bandara Internasional Supaido, aku tidak menghubunginya. Bandara ini besar dan aneh.. OK.. aneh.. karena kami turun dari pesawat dan tidak ada pintu masuk ke Bandara! Seperti anak hilang, tentunya aku mengikuti saja langkah penumpang lain. Sambil menerka-nerka kemana mereka berjalan, melewati beberapa ruang dan lorong. Hingga masuk ke bandara melalui pintu samping dekat sabuk bagasi. Tidak ada tanda petunjuk apapun. Pintu itu lebih tepat sebagai pintu pegawai, tidak terbuka dan kita semua tiba-tiba nongol disamping pengambilan bagasi. Sebagai pendatang baru.. aku mengambil waktu sejenak untuk mengamati sekitarku, dengan dua tujuan: pertama mencari tempat pemesanan taxi dan mencari tempat merokok. Yang terakhir kurasa menjadi lebih mendesak. Sembari menyerap ‘budaya’ baru disekitarku. Tidak ada transportasi umum di kota ini! Sehingga aku perlu berjalan kaki kesana kemari. Ya.. Anda bisa saja menyewa mobil dengan harga 800ribu per hari, bila ingin berpergian. Phew.. mahal yaaa. Untungnya aku juga suka jalan kaki.. selain memang sehat (yaellaaaaah).. tapi dengan demikian aku pun bisa mampir-mampir beli jajan yang ‘unik’. Tidak ada taxi yang nongkrong, tidak ada ojek, dan ya.. apalagi mengharap transportasi publik dengan aplikasi online. Alasannya.. terjalin erat dengan budaya, ekonomi, dan politik di wilayah tersebut. Cerita untuk lain waktu. Ini perjalanan yang penuh dengan tanda tanya. Ya.. akhir-akhir ini memang begitu. Semua hanya dijalani untuk satu tujuan: pengambilan data. Menjawab satu tanya tentang Cinta. Bagaimana caranya.. entahlah. Dilakukan saja. Dengan ketidak pahaman.. tidak ada rencana perjalanan yang matang, aku tidak pernah kesini, tidak memiliki operasionalisasi transportasi, tidak ada saudara atau teman disini, dan hanya punya satu nomer telpon dari sosok yang belum pernah kujumpai. Aku tidak membayangkan apa yang hendak kujumpai disini, dan aku tidak memikirkannya. Seolah siap untuk menerima apapun saja. Mungkin semacam kekosongan yang siap untuk diisi. Bisakah aku hidup disini?, juga sebuah pertanyaan yang lekat padaku beberapa bulan ini.. mencari tempat baru untuk membangun mimpi. Kurasa aku harus berterimakasih pada disertasi ini. Pertanyaan penelitian ini telah membawaku keberbagai tempat, bertemu dengan berbagai orang, mendapatkan teman-teman baru, dan jujur... mengisiku dengan berbagai kepingan hidup yang membuat tiap hari kian penuh dengan makna (cerita untuk lain waktu). Ini penelitian yang mahal! Secara finansial memang begitu, terlebih saat tidak ada sponsor dan harus membongkar tabungan sendiri. Tapi entah kenapa.. dengan menyusutnya angka 6 digit tiap minggu, aku merasa jauh lebih ‘kaya’ dari sebelumnya. Ya.. mungkin tinggal menanti saja saat realitas dunia menamparku. Hahaha.. Anyhow... ada satu nama, satu percakapan, dan satu pertanyaan. Dengan lebih dari 48 jam aku disini, aku membayangkan akan banyak waktu untuk mengembara dengan diriku sendiri. Tapi apalah perjalanan tanpa kejutan? Aku membiarkan semesta melakukan pekerjaannya. Dan waktuku dipenuhi dengan percakapan tiada henti – dan lebih banyak lagi pertanyaan yang menanti jawaban. Budayanya memukauku. Tepatnya karena membutuhkan pemahaman konteks atas data yang kutemukan disini. Tanpa berencana, telah kuhabiskan waktu bercakap dengan penjaga parkir, anak-anak muda yang menghabiskan waktu di warung-warung kopi, pekerja bangunan, para polisi dan provost yang bersedia meluangkan waktu berbincang, serta perkumpulan anak-anak SD komunitas ‘bikers’ yang menghabiskan maghrib berattraksi di jalanan kosong. Dalam kembaraku, aku meraba tentang cinta dimata mereka. Satu istilah elusif yang katanya universal. Sesungguhnya aku sendiri berharap ia memang suatu hal yang universal, dan di dalam hati enggan untuk menerima bahwa tesis itu patah sedikit demi sedikit. Satu-satunya yang universal tentang cinta hanyalah rasa jatuh cinta (yang sangat neurologis dan mungkin bertahan 6-12 bulan lamanya), sisanya hanyalah kompleksitas karakter, struktur makna realitas, dan budaya yang telah membingkai ekspresi-ekspresi rasa. Tapi mungkin memang manusia hanya mampu merasa yang telah diajarkan saja. Sulit untuk lepas dari konsep tabula rasa .. dan ya tentu itu bisa diperdebatkan dalam filsafat realitas tanpa henti. Apakah cinta selalu terikat dengan kata bahagia? Mayoritas dari kita mengasumsikan begitu, dengan alfa melihat ideologi yang melekat secara sosiohistori. Sejauhmana cinta itu menjadi bagian reflektif dalam memahami realitas dan diri? Atau ia hanya menjadi salah satu bagian dari kehidupan dan interaksi manusia semata? Pentingkah cinta dalam kehidupan personal? Sudah banyak dari kita yang enggan memikirkannya.. dan dengan sebuah alasan yang beragam tentunya. Sejauhmana budaya itu memprogram ‘rasa’ manusia? Bedakah cinta bagi orang padang, orang dayak, orang madura, orang bali, orang jawa? Apa yang membuat bertahan dan tidak bertahannya relasi dan sejauhmana jaringan sosial berjalin dengan jejaring emosi manusia? Bagaimana konsep umur, masa depan, dan kematian mempengaruhi ekspresi cinta? – Satu tanya tentang cinta, dan kudapati beribu cerita. Konsep yang tampak elusif ini membaur dengan keseharian yang sebenarnya sama elusifnya. Hanya obligasi keseharian saja yang menyiptakan batas fakta dan memudahkan mengamini yang nyata. Betapa banyak yang merindukan masalah rasa juga masalah nyata; hingga pilihan perselingkuhan, seks, polyamori, memberikan batas semu yang tepat untuk menyatukan keduanya. Nyata sekaligus tidak. Penuh cerita sekaligus hening tanpa kata. Dari untai cerita, aku menemukan tempat ini kaya ‘rasa’ meski kehilangan ‘kata’ karena tersekat budaya. Hal ini tidak ada hubungannya dengan fasihnya karakteristik campuran melayu yang lugas dan ekspresif dengan cerita. Ekspresifitas kerap menyembunyikan lebih banyak makna. Aku terkagum dengan multikulturisme yang lebur sekaligus cerita tajam mengenai benturan nilai antar etnis. Politik yang... yaah.. politik. Kota ini merindu ruang ekspresi. Hingga kuliner menjadi satu-satunya katup pelepasan. Dan yes... makanan disini memang luar biasa. Ada kesenjangan ekonomi dan nuansa komoditisasi nilai ‘uang’ yang kuat diberbagai sisi. Dan keunikan bercampur keramahan adalah distinksi kehidupan masyarakat yang sulit untuk dinafikan sebagai pesona. Pontianak.. telah menyambutku dengan hangat. Menemukan ribuan cerita dari sosok-sosok luar biasa. Teman-teman baru dan keramahan yang mengelitik untuk segera kembali kesana. Aku masih merasa belum cukup mencicipi keunikannya. Belakang teras, 27 03 2016.
0 Comments
Leave a Reply. |
on this blogTravel is more than a journey. Its understanding life. Seriously.. that isnt an overstatement. These are some notes I came to write. ArchivesCategories
All
Find more place reviews here.. |