aku berharap tak pernah mengenal cinta,
gar aku tak tahu bahwa siksanya tak sebanding dengan ekstasenya.. aku berharap tak pernah tahu rasanya hidup, agar aku tak perlu merasa mati pada tiap hembusan nafasku.. aku berharap tak pernah percaya, agar aku tak sadar kemanusiaan tak ada.. aku berharap aku tak pernah berani, agar aku tak perlu melangkah sendiri.. aku berharap aku tak disini, agar ku tak pernah tahu bahwa aku tiada.. aku berharap ada yang namanya Tuhan, agar tak perlu kusaksikan hampa di lantunan mantra.. tapi aku tahu, harapan tak pernah nyata. Yogyakarta, 20161015 arsip dari: http://fiksiana.kompasiana.com/arymami/harap_58019d09117b61720dbc3cdd Masih terasa demikian dekat,
Kala senyum menghantar lelap, Kala genderang rindu masih tereja, Kala percakapan masih menjadi ekstase melampaui dunia maya, Kala malam masih menyimpan lipatan mimpi atas esok yang dinanti, Kala sentuhan dan panggut bibir mengganti dahaga, Kala hati masih percaya untuk di jaga. Kala panggilan cinta masih berserat asa. Kala bersama terasa nyata. Rindu terasa demikian pekat, Pada malam dingin yang tak mampu bertemu lelap, Mengais hangat pada tumpukan kenangan, Diantara lipatan mimpi patah yang mengejek di sudut ruangan, Ingin kupanggil cinta berserat asa Tapi mungkin ia telah beranjak pada dunia yang berbeda - seiring rasa sayangnya pada hatiku yang lenyap .. rona jingga tak lagi hidup dalam relungnya. Sebenarnya aku tahu, meski hati tak ingin tahu. Terlepas dari 'percaya' yang berlahan runtuh kala rasa tak lagi tereja dan ia masih saja mendua. Entah berpenggangan pada sisa-sisa rasa yang mana. Ia telah memilih tuk tak menjaga rasa. Membalutnya dengan tuntutan mengada. Di tengah gamblang manifestasi waktu yg tak dibuat, kabar dan cerita yang tak terdengar, nirketerlibatan atas nama individuasi yang megah, lumatan rindu yang tak pernah tercipta, dan apapun rangkai rasionalisasi diatas rasa. Sayang atas hati dan perasaan telah hilang, secepat pukulan yang bertubi di tengah malam. Masih terasa demikian dekat, jingga yang hanyut dalam ekstase hidup yang tak cukup, meski realita menutur lugas "pergi menikahlah dengan dia" sekedar menegaskan cinta tak lagi menyala Meski masih kudengar 'cinta' walau tak lagi berserat asa sleepless-denganrinduygtaklagisatu-20161003 arsip dari : http://fiksiana.kompasiana.com/arymami/hilang-tanpa-kata_57f20c3d337a61bb0a982c23 Kun Fayakun
aku memanggilmu semesta dengan semua cara yang kubisa ijinkanku miliki malam tanpa airmata lantang kalahku.. kumohon... kupinta... cukupkan semua tanda yang menyandera jiwa aku tak mampu lebih lama berpura, di lantai dansa keelokan neraka. segenapku bersimpuh dikaki kasihmu semesta ijinkanku bersandar dalam lelap lantang lelahku.. kumohon... kupinta... cukupkan ajaranmu atas ada yang tiada aku tak sanggup mati tanpa nyawa di panggung semu dunia fana segenapku mengais ampunmu semesta tanpa doa.. tanpa mantra.. tanpa jiwa.. ini aku tanpa apa-apa ijinkanku lupa gemuruh siksa berbalut cinta ijinkanku tak merasa luka dan .. ijinkanku menarik kembali pinta matiku dalam hidupmu hidupku dalam matimu Kun Fayakun Pangkalanbun.saatmalammemintaairmata.080416 Why we came to text
You choose to forget came with history, of once we called 45-45-10 when I couldn’t barge your privacy with a call when time, space, and morality built up walls when nothing real could be grasp discourse and conversation is all we had.. and still only has,, And now we’re fighting over words that should have not been said. Asking motives why we had to text. Blustering reasons far from truth when we once knew it was the only means to be connected fulfilled the lightness of being Connection our being, communication our form Did you forget darling? Or You choose to forget How love became a matter of count You choose to forget Irrationality craved its form of objectivity Objectivity you demand to exist, we came to adhere As reluctant as we may be we started with rating which partners came best. and stoped at 8, 9, and utopic 10. And then a week that came with 7 days We had to divide, dismiss, and define we craved with desire darling.. whilst questions and facts clashed and arose numbers were learnt to deduct the truth And now we’re fighting why the objectivity? Wondering if love became a matter of quantity? a history of numbers of what define ‘we’ Did you forget darling? Or You choose to forget A dream, a promise, a becoming Of which will you choose to forget? I’m bursting with the rush to disappear For love salvation crumbling away I could not bare Tanggled I’m in, strapped beyond my being Hence even if the slightest promise of us had became one blinded vanity Darling... I plead for it’s recall For love deep crunched the soul, I forgot how to forget. In love I still believe, wether forget was ever a choice at all. Did you forget darling? Or .. Belakangteras.tremblingheart.28012016 tumpah rindu. taut cinta. tetes airmata.
bayang gores cerita. masihkah ada, menggema? atau tiap bayang diri telah kau hapus dengan tubuhnya? percakapan dialektika. amarah. derai tawa. desis botol, terbuka. semayam kata. alunan suara. masihkah ada, menggema? atau tiap cerita telah kau hapus dengan desahnya? getar dada. bahasa jiwa. lebur makna, tatap mata. hening rasa. mimpi dunia. Dansa semesta. saput surga. masihkah ada, menggema? atau tiap semanyam asa tlah kau hapus dengan hadirnya? tanya ada tiada. tanpa daya. pahat. pualam. padat tanpa rongga. bilik dada. yang ada. tak ada. mega-mega dinding jingga, luruh didalamnya. terhapus tiada jiwa, sudikah kau hapus milikku juga? zizekcorner.penutupbulancinta.01march2011 |
on the blogwords along the way.. sometimes only poetry can express reality.. FeaturedArchives
January 2017
Categories
All
|