arymami
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About

Confidential Minds
​daily notes, fiction, life

Tour de Rumah Sakit: Yang Tak Punya Kata

8/27/2020

Comments

 
Picture

​Sore. Langit cerah dan mentari mulai terbenam dengan warna yang menawan. Aku sempat mengambil fotonya, untuk memastikan itu benar saat pandangan sudah jelas. Segala hal disekitarku masih kabur. Dan perasaan melayang masih mencengkram badan. Lemah dan lemas, dengan fisik yang rasa berat untuk bernafas. Berlahan nyetir menuju rumah. Memeluk anak yang menyambut cemas, menyampaikan semua baik2 saja dan meminta maaf bahwa kondisiku terus saja sakit, menyiapkan makan malam dan hal2 sekolahnya esok pagi, untuk kemudian ambruk di tempat tidur. ​


Kepanikan mulai merebak saat jarum di lenganku tidak dapat menjalankan fungsi yang awalnya diintensikan. 


“mbak.. mbak... ini kok ga bisa naik ya?”, teriak salah satu suster yang sedang menggenggam jarum suntik yang sudah menancap di pembuluh darah. Kepanikan dalam nada bicaranya sudah tidak dapat dibendung, membuat 3 suster lainnya berlari menuju kami. 

Duuuuh… harus banget ada drama setiap ke Rumah sakit ya.. bathinku, berupaya setenang mungkin menanggapi situasi yang sedang kualami.  Namun nada, intensitas ping-pong kalimat dan tubuhku yang kini ditangani oleh 3 manusia berbaju APD serba putih, tidak memudahkan niatan untuk santai saja. Jarum suntik itu tetap menancap sembari yang lain mencoba mengalisa pembuluh darahku yang tidak mampu mengalirkan darah. Aku memandang tarikan jarum suntik itu berkali-kali, dengan teriakan dan ekspresi yang keluar begitu saja. Dalam hati berharap kepanikan suster tidak menjadikan jarum suntik itu pompa dan mengalirkan udara dalam sistem tubuhku, membunuhku dengan emboli  secara tidak sengaja. Untungnya itu tidak terjadi… dan memilih mengambil jarum suntik lagi dan jarum suntik lagi. Aku berteriak pada tiap suntikan dan tarikan yang tidak juga berhasil. 

“Mbak jangan panik, itu tidak membantu”, hardik salah satu dari mereka.
“Heh! Jangan ngomong gitu, nanti mbaknya makin panik”, potong lainnya
“Iya.. maaf… tenang ya mbak.. tenang ya mbak”, ujarnya. Entah berupaya menenangkanku atau menenangkan dirinya sendiri. 

Kosong. “Kok bisa kosong, kok bisa ga ada darah yang mengalir!”, mungkin dia meniatkan itu didalam hati tapi terucap tanpa disadari. Panik merebak di ruangan. Kondisi vitalku terpaksa dianalisa ulang, beberapa alat ditancapkan. Satu anggota administratif berlari mendekatiku, membawa satu berkas di jepitan papan tulis dari kayu. Siap-siap mengisi informasi dan data, tak kalah paniknya. Mungkin mumpung kondisiku masih sadar.  “Mbak kita bisa hubungi siapa? kontak keluarga mungkin? atau siapa yang menemani di sini?”. Aku memandangnya lemas, sambil gemas. Andai sedang tidak dalam proses mengalami semua tindakan medis tersebut, aku pasti sudah bisa melihat kondisi komedi dari semua itu. Ini sungguh dagelan. Sepeti bikin survey yang salah pelaksanaannya. Oooh.. dunia. Aku hanya memandangnya. Cukup lama, lalu berkata “saya sendirian, bila terjadi apa2..” aku hanya menunjuk pada tas di sisi. 

“Mbok ra sakiki to mas, kan wes ono neng data di goleki kono”, sahut salah satu suster mengusirnya dan sibuk mencari bukti detak nadi di pembuluh darahku yang lain. 

Dengan beberapa orang di sekitarku, sontak otak primitifku sebagai “obyek” yang sedang terancam melawan dengan penuh ketegangan. Dengan beberapa jarum yang sudah menancap di beberapa posisi berbeda pembuluh darah, Satu masih tersisa, dipegang dengan kepanikan oleh salah satu suster yang kemudian sibuk berdiskusi tentang apa yang harus dilakukan. Aku memalingkan wajahku, tanpa tenaga berharap tidak perlu melihat kengeriannya. 

“Sakitkah mbak?”, tanya suster yang sedang memastikan jarum tidak geser terlalu jauh untuk merobek pembuluh darah. Aku memandangnya  (yeeee.. menurut nganaaa??), “engga kok mbak”, jawabku.. dan tanpa mampu kubendung tangis meleleh di wajahku. Satu diantaranya berganti posisi, memegang pundakku dan mengelus kepalaku berulang. “gak papa mbak.. tenang mbak.. gak usah takut.. tenang yaa”.

Kepala suster akhirnya datang mengambil alih. Menenangkan dan menjelaskan bahwa mereka akan mencoba sekali lagi. Dokter jaga akhirnya hadir untuk menangani ‘kedaruratan’ karena analisa pre-asumsi tidak mampu dilakukan. Opname. Observasi. Harus ada nutrisi yang masuk untuk tubuh yang sudah drop 4kg dalam seminggu. 

Ada kesal - udah gw bilang apa juga dari awal, kondisinya bukan yang seperti kau asumsikan! Tak perlu analisa. Beri obat untuk nyerinya saja. Geram. Aku kehabisan kata untuk menjelaskan, sebagaimana semua hal, rasanya percuma untuk disampaikan pada siapapun. Kata-kata, penjelasan, permohonan, rintihan pertolongan, tak pernah memiliki makna dan tak terdengar. Ya sudahlah, tak ada gunanya juga melontarkan kata. Kebenaran pun akan selalu terkuak dengan sendirinya, meski berarti harus berserah pada waktu. Aku menyetujui infus itu dimasukan. Tanda tangan. Gesek jaminan. Lalu memohon sekali lagi untuk mendorong kebenaran muncul dipermukaan; kuminta dia menghubungi 4 nama, sebelum memutuskan aku perlu digeret masuk ruang bedah lagi-lagi.

--
Infus mengalir melalui nadi, setelah drama pagi masih menyisa ngeri. Lima orang disudut sibuk berbincang untuk memutuskan apa yang menjadi tindakan; seorang dokter jaga - yang memutuskan aku diopname, seorang ahli penyakit dalam, ahli darah, ahli virus, dan ahli syaraf. Semua sedang membawa berkas rekam medisku. Masing-masing sedang menegaskan mana yang sebaiknya ditangani, seperti menyaksikan perdebatan benturan paradigma para ilmuan yang bersekekeuh dengan sudut pandang masing-masing. Akhirnya tentu juru bicara tim itu memaparkan “temuan”; deretan singkatan biologis yang akan membuat siapapun tersesat dalam translasi.. kondisi yang saling paradoks dan berputar seperti lingkaran setan. Semua tak membuatku heran, sudah cukup penjelasan akumulatif sepanjang keluar masuk RS dari berbagai ahli kesehatan. Tim menghamparkan beberapa pilihan eksperimental yang bisa di lakukan, sebelum menemukan solusi yang lebih efektif. Lalu memberiku opsi untuk hendak memilih melakukan apa.

Aku menjawab sederhana: “aku akan memilih pulang. sepanjang ada obat yang dapat membuat organ-organku masih bisa berfungsi, aku akan pulang, ada seorang anak yang membutuhkanku hadir di sana”.   

--
Nyeri bekas beberapa suntikan seharian masih terasa, namun itu jauh lebih baik dari pada rasa sakit di rahim dan nyeri di ketiak yang membawa kelumpuhan rasa di seluruh tubuhku, beberapa hari sebelumnya. Ruangan sangat hangat, tapi tubuhku mengigil kedinginan. Kondisi ini sudah menjadi indikator kedaruratan kondisi perang imunitasku. Ada bagian otakku yang memang sudah rusak dan tidak berfungsi untuk mendeteksi suhu. Tidak lucu juga masuk dalam hipotermia di tengah suhu yang hangat. Tapi yang paling menggangguku adalah pandangan mata, sebab itu membuatku tak dapat membaca terlepas dari berapapun ukuran kacamata yang dicobakan, masalahnya memang bukan di bola mata. Dan itu sangat membuatku frustrasi, setidaknya terakhir dulu saat ini kembali menggeliat tiga bulan lamanya aku tak bisa membaca, padahal itu salah satu hiburan yang paling kusuka. Mungkin itu juga sebabnya aku suka merekam suaraku sendiri saat membaca buku, buat jaga-jaga bila esok aku terpaksa tak mampu mendeteksi aksara.
 

Tapi.. Aku baik-baik saja. Hidup dengan sebuah penyakit yang belum ada obatnya, hanya bisa didekati secara paliatif. Ada bahasa medisnya, tapi mari sebut saja ia ‘virus politis’, karena sifatnya memang seperti politisi. Lahir dari pantikan tekanan psikologis yang tak lagi dapat dikembalikan - untuk membunuh tubuh dari derita yang ia rasa; miriplah ama agen pergerakan yang melakukan aksi untuk perubahan. Tumbuh, mengamplifikasi dan memanipulasi berbagai jenis serangan penyakit yang bisa jadi sekedar placebo untuk ia bekerja pada fungsi sesungguhnya; mirip politisi juga yang menjalin relasi dan menggunakan modalitas tersebut untuk meraih tujuannya. 

Hidup berdampingan dengan kondisi ini adalah sebuah permainan strategy yang tak henti untuk mengalihkan gerakannya, menyelamatkan organ yang diserang atau otak yang dituju. Menyebalkan sebenarnya, untuk tahu bahwa yang dapat menjaga dan memantik kebrutalannya semua hanyalah kondisi disekitarku. Itu memaksa menggabungkan perspektif sosial dengan kondisi riil kesehatan organ, tapi begitulah paliatif. Kita hanya belum mampu merasionalkan bagaimana suasana hati dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Sama seperti kurang berkembangnya teori meso dalam analisa sosial, dimana kebijakan negara terputus dari praktik keseharian kehidupan masyarakatnya. 


“The whole is greater than the Sum” sudah dilenyapkan dari perspektif dan praktik kehidupan modern kian membawa kesesatan nyata. Sakit - tapi kita masih menutup mata dengan sakit kecuali itu manifes di hadapan mata. Itu saja masih mengira atomistik dengan identifikasi sakitnya apa. Memudahkan manusia? Ya.. tentu saja. Setidaknya berhasil untuk melabeli sesuatu itu sehat dan tidak, lalu jumawa. 


Tubuhku terlampau lemas untuk bergerak, otakku tidak berhenti berputar tapi aku tahu nafasku yang terlalu lemah akan membawaku tidur. Sembari kubisikan, “hey penyakit semoga kau menemukan strategi kemenangan yang tidak menyeretku menyaksikan organku habis satu per satu”. Lalu melafal mantra; “semua akan baik-baik saja… kamu harus baik-baik saja.. masih ada yang membutuhkanmu hidup di dunia”.



Yogya, belakang teras. Ahinilagi. 28 Agustus 2020.
Comments
    Picture

    on this blog

    ​Just ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world.

    I'm a dreamer, for life offers only thus. I'm a wanderer, for i believe all possibilities

    ​I'm single, though I'm rarely available. I'm a fiction in the reality of the mind.

    RSS Feed

    Archives

    December 2020
    October 2020
    August 2020
    June 2020
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    January 2019
    July 2017
    June 2017
    March 2017
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    April 2016
    August 2015
    February 2015
    July 2014
    April 2012
    December 2010

    Categories

    All
    Abuse
    Arymami
    Bahagia
    Berserah
    Birthday
    Borneo
    Buku Sejarah
    Camus
    Catatan
    Catatnan
    Cinta
    Coffee
    Death
    Delusi
    Dianarymami
    Eglish
    Extramaritial
    Gender
    Happiness
    Happy
    Heartbreak
    Humanity
    Jingga
    Kalimantan
    Kekerasan
    Kekerasan Seksual
    Kesehatan
    Keterputusan
    Kurban
    Lebaran
    Lelaki Tua
    Life
    Love
    Maaf
    Makna
    Marriage
    Medis
    Melepaskan
    Menghargai
    Menulis
    Mudik
    Note
    Notes
    Operasi
    OR
    Parenting
    Penyakit
    Percakapan
    Pulang
    Rasa
    Relasi
    Relasi Keintiman
    RS
    Sakit
    Sejarah
    Seks
    Single Mum
    Single Parent
    Sisifus
    Sukamara
    Takut
    Tour De RS
    Valentine
    Violence
    Waktu
    Wedding

  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About