Malam. Meringkik, memeluk diri dengan lemas berharap raga ini berhenti gemetar kedinginan. Merapal mantra semua baik-baik saja, sembari memaksa logika bekerja meyakinkan ini psikosomatis semata. Dan aku yakin ini psikosomatis semata, namun mengalirnya darah segar dan gemertak gigi yang tak mau diam tak membantu prosesnya. Aku baik-baik saja... aku baik-baik saja.. - Darah dan alat medis selalu saja membuatku ngeri. Selalu ada ketakutan yang mendadak menyergap sepanjang tulang belakang, membuat detak jantung tak karuan. Tentu semua kegugupan tak pernah ditampakan - buat apa? dan yang lebih nyata.. pada siapa?!. hahaha.. Selain itu, buat sosok yang sudah bolak balik menghadapi pisau bedah dan berbaring di meja dengan penerangan melebihi restoran padang, sejak umur 8 tahun.. perlakuan medis tak seharusnya menggoyah gentar. Eh.. busyeeet mau di taruh di mana muka ini? Ada image yang harus di pertahankan! .. Bukan sok jagoan, tapi latihan psikologis buat kami yang terlempar untuk hidup sendiri, adalah hal logis yang perlu diasah. Tindakan medis selalu memiliki cara untuk menghabisi bayangan bahwa manusia memiliki kuasa. Bukan hanya kuasa yang dikoarkan para pemikir sosial, tapi juga kuasa paling dekat dan riil atas raga. Tidak ada yang lebih canggih membuat orang merasa sendiri dan tak berdaya, selain tindakan medis. Berbaring dengan sorotan lampu dan sadar saat besi-besi tersterilisasi dan dingin itu yang memasuki tubuhmu bukanlah hal yang menyenangkan. Ruang tindak medis itu akan selalu terasa lebih dingin, jam akan berdetak lebih lambat, dan kehadiran Illahi selalu terasa lebih nyata. Tanganku terkulai lemas menahan nyeri.. menggerakan jemari mencari pegangan dan masih saja tetap berharap ada tangan yang akan menggenggam hangat tangan ini. Besi dingin samping tempat tidur pasien tidak pernah ingkar menyambut. Pada momen seperti itulah genggaman tangan menjadi berlipat maknanya. Andai ada... "Sudah ada dua dokter yang meninggal karena covid", kata dokter spesialis mengajakku bicara dan memecah perhatianku yang mulai larut pada kengerian. Aku selalu salut dengan para tenaga medis yang berupaya untuk mencairkan ketegangan. Setiap spesialis dan tindak medis mereka selalu memiliki cara sendiri yang unik. Ada yang memutar house music ditengah pembedahan, ada yang bergosip mengenai berita selebriti untuk meringankan suasana, ada yang bertanya tanpa henti pada pasien untuk mengalihkan perhatian.. macam-macam. Dan itu sangat membantu.. meski semua memorinya buatku tetap saja melekat dengan ngeri. Buat saya yang tidak berhubungan dengan dunia medis sehari-hari, tentunya tidak dapat menilai apa yang biasa dan tidak.. melihat leher terburai dengan darah tanpa henti buat orang awam sepertiku secara otomatis memicu kepanikan. Tapi buat mereka tenaga medis mungkin seperti kita yang melihat pipa bocor di rumah.. ya ntar di lem selesai. Aku tidak pernah tahu... Nyeri. "Sakit?" Ya... menurut nganaaaa??? - bersikap biasa aja. Menegaskan pada diri ga usah manja! ini prosedur biasa. Santai santai... santai... think of good things... comm'on.. think nice things... wait why am i doing this? .. oh God.. can i just ask it to stop... relax mon... relax... Ini bukan bermaksud dramatis. Tapi buat kalian yang membaca seri "tour de RS"...dari sedikit yang bisa kubagi, aku sendiri heran dengan segala kejadian yang selalu aja ada yang mendadak "salah". Alhasil semua prosedur kesehatan yang katanya normal, kecil dan biasa.. itu tetap membuatku curiga. Ya.. bayangin deh.. didorong ke ruang bedah untuk bedah area leher, yang di prep untuk dibedah adalah lambung.. karena salah bawa dokumen pasien. Gimana ga shock? Masuk ke ruang bedah buat ambil usus buntu (katanya operasi kecil yang biasa aja) mendadak menjadi operasi besar dengan bedah 13 cm karena usus tidak pada tempatnya. Belum lagi tindakan eksperimental karena bulu babi hidup dalam kakiku. Setelah 5 kali operasi dengan kondisi sadar melihat kakiku di cacah pisau bedah.. dan ga berhasil... maka eksperimen pembekuan kaki menjadi opsi agar tuh makhluk mati (sekarang anda tahu kenapa saya benci ama bulu babi). Belum lagi jenis penyakit yang tampaknya mencintai tubuhku: mulai dari menjadi induk buat larva lalat, flu burung, flu babi, dan oh ya... juga penyakit darah yang kemungkinan dimiliki satu dari sepuluh juta populasi dunia (seorang dokter mengabariku itu seolah itu menjadi prestasi luar biasa.. dan kalau bisa letak emoticon saat dia mengabarkan itu.. wajahku flat!). Intinya... banyak hal di luar "ordinary" yang membuatku terpaksa.. dihantui ngeri tiap kali masuk ke ruang dokter. Setiap jenis dokter memiliki kengerian yang khas tersendiri.. dan tidak terkecuali obsgen yang sedang menghadap bagian diantara kakiku yang ngangkang terbuka. Mengeksibisikan kemaluan bukan dalam kondisi intim selalu penuh dengan kecanggungan. Dan ini menjadi persoalan perempuan dan persoalan gender yang bisa lebih panjang. Artinya, secara terstruktur dan sistematis, kontrol atas vagina itu perlu dipertanyakan bersifat patriakis atau tidak. Tapi.. kembali pada fakta obyektif sederhana yang berlaku di depan mata - seorang perempuan perlu secara rutin menunjukan vaginanya untuk tindak medis, yang tidak dialami penis. Think about it? - Dan beragam pemikiran kritis meluncur di benak, sembari membayangkan andai semua lelaki memiliki anak perempuan dan terlibat dalam perkembangannya.. apakah mereka akan bisa melihat vagina sebagai ruang kesenangan semata? - Pikiranku buyar dengan rasa nyeri. Dan satu komentar yang mungkin tak terencana terucap dengan keras: "Duuuh... kok ini ga bisa ya?". Whaaaaaaatttt theeee... nooo.... lagiii? Harus ya selalu ada kejadian macam ini. Pingin nangis.. pingin nangis.. tapi... tak banyak yang bisa kamu lakukan saat beragam alat tertancap ditubuhmu. "maaf ini saya tekan dulu ya... " ... hening... cepat berakhir.. cepat berakhir... kakiku sudah lemas...sakit... nyeri... segera berakhir... gw ngelakuin ini buat apa sih... - berakhir. tubuhku masih nyeri dan gemetar. Kalau aku seorang gadis di kelas SMP aku pasti sudah lari ke pelukan mama dan menangis. Tapi ini sudah berakhir. Lega, hingga.. "minggu depan kita perlu melalukan prosedur tambahan lagi ya.. dijadwalkan sekalian.. dilihat sebagai blessing in disguise.. memastikan saja.. paling juga ga ada apa-apa.. dan nanti kalau pendarahan.. itu gak papa"... ..hening.. memaksakan senyum dan mengucapkan terimakasih.. sebelum tertatih lemas.. menuju kasir, menggesek sekian juta dari rekening untuk sebuah pengalaman sukarela yang masih kupertanyakan. Kaki dan tanganku dingin tak karuan, masih dipenuhi sisa ketakutan. Meminta genggaman.. tapi harus menuju pulang di rumah sendirian. Bukan hal baru... dan biasa saja.. toh sudah pernah terlewati, yang kusebut hingga kini, pencapaian tertinggi pergi bedah mandiri: daftar, bedah, bayar, dan pulang. Harusku akui, menyetir mobil dengan tubuh masih di aliri anastesi adalah sensasi tersendiri. Jangan dicoba! Tapi mungkin semua sudah berasa usang. Ada lelah untuk berandai ada yang menggenggam tanganku kala semacam itu, atau sebuah pelukan dan kata-kata "semua akan baik2 saja". Sudah lelah untuk berdebat dan mengkritisi mimpi 'tak sendiri' sebagai utopia dan hegemoni yang mencengkram tanpa cela, atau tulus meneriakan kalimat satir bahwa "sakit bukanlah untuk yang sendiri" karena ketidakadilan sistem yang melihat entitas terkecil warganya bukan individu tapi komunal.. benar, tapi lalu apa?. Mimpi dalam perdebatan ideologis hanya milik elitis. Tapi sebagaimana ramal teori Deluezian, segala ketegangan kebenaran hanya akan menyisakan yang autentik dan nyata di depan mata - tempat kita perlu berjenak di sana. Aku menghubungi seorang teman. "Hai... bolehkah aku vcall? Sebentar saja... aku hanya perlu mendengarmu mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja". -aku tahu hati kecilku membutuhkan mendengar itu- Untuk kali pertama ini, kurasa aku akan sisihkan segala makna "kehidupan", karena mungkin memang benar; bahwa hanya pengalaman yang memberikan makna atas kehidupan kita, tapi yang pasti hanya relasi-relasilah yang menentukan kesan dan cara kita melaluinya. Hanya manusia yang dapat menjadi faktor pembeda: cara perawat menghibur kita, cara dokter yang menenangkan hati, atau siapapun yang di sana.. menjadi faktor penentunya. Yogyakarta, belakang teras, 25062020 |
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
December 2020
Categories
All
|