How would you feel, if you can witness one of your dreams unfold and comes true? “It has to be a garden party, just close people... theres got to be speeches. And statement of love.. from the couple... something personal and heartfelt. Brunch is great... or wait.. coffeebreak... the sun has to be perfect for photos.. dancing.. drinks... theres got to be dancing.. how bout the decorations... Hey! Come on, why am I more excited than you?”, kalimatku meninggi untuk menghentakkan semangat di tengah terawang pikiran peristiwa yang membuat berat hatinya (konteks saat itu adalah sesi curhat yang menyiksa hati).
Waktu itu sore, dan seperti hari biasa kami menghabiskan secangkir kopi di tengah hantaman kehidupan. Just another ordinary day yang dipenuhi peristiwa yang jarang melekat di memory. Namun, hari demi hari-lah (the doing of everyday) yang sebenarnya senantiasa jauh lebih mengikat makna, sebagaimana paparan Schuzt tentang relasi; atau aku lebih suka menggunakan kalimat “it’s always the little things that matter most in life”. “Yeah, why are you more excited than me?”, akhirnya dia memecahkan keheningan. Kita tertawa dan kembali masuk dalam eksplorasi dan imajinasi atas selebrasi cinta. Percakapan kita sampai pada penghujung malam. Seperti dua orang gadis dalam konstruksi dan stereotype peradaban yang bermimpi tentang hari pernikahan mereka. Hamparan tanyanya kujawab dengan diplomatis hingga kejujuran yang terlipat di lubuk hati; aku rasa aku selalu membayangkan pernikahanku demikian. Sedikit egois, tapi aku tahu kita tidak lebih berbeda memandang cinta. Pernikahan bagiku bukan selebrasi tata norma kultural dan unjuk prestise keluarga, bukan pula hitam di atas putih yang ditentukan negara. Karena toh, dalam hal cinta, secarik kertas tidak menentukan apa-apa. Aku tahu mereka juga berpandangan sama, kami percaya status bukan penentu hidupnya relasi cinta. Pernikahan bagiku demikian sederhana. Kembali pada hal essensial tentang menyatunya dua orang dalam cinta. Sebuah ikrar personal sepasang manusia. Sebuah janji yang bisa jadi tidak selalu sama dengan berbagai norma yang berlaku di luar sana. Sebuah ikatan yang menyatakan bahwa hati menemukan kata “pulang”. Ikrar personal yang dirayakan bersama orang-orang terdekat, karena cinta itu hidup dan energi menyatunya begitu menular. Layak untuk dibagi pada dunia yang kian kehilangan essensi bersama, di tengah penyatuan yang sudah berkarat penuh obligasi dan peran mengikat. Entah berapa kali, aku telah mengajak tambatan hatiku untuk ‘menikah’; tanpa penghulu agama, KUA atau catatan negara. Cukup perayaan kecil sahabat terdekat dengan ikrar kami berdua. Hanya saja konsep kebersamaan semacam itu, tampaknya dilihat tak ada gunanya; aku senantiasa gagal untuk menyampaikan bagaimana ikrar menjadi fondasi bagi hati yang butuh rumah untuk ‘pulang’. Pernikahan bagiku mungkin bukan sebagaimana pernikahan biasanya; Hey, cinta itu tidak pernah biasa! Dan itulah yang Nyata. Relasi cinta tidak hadir dengan model dan pola generik, yang kerap tergelincir dalam kesemuan. The real, is usually extra ordinary. Dan buat dua sahabatku yang hendak mengikat janji, aku tahu ‘nyatanya cinta’ mereka tidak mengikuti format yang biasa. Dan sebuah perayaan pernikahan yang tidak biasa-lah yang kita temui hari itu. Sebuah perayaan ‘extra’ordinary untuk cinta yang memang extraordinary. Sakralitas atas ketidak-sempurnaan. Namun ketidak-sempurnaan yang nyata itulah yang membuatnya demikian sakral. -- Jumat, 9 Agustus 2019. Cuaca sempurna. Matahari bersinar jingga di kebun yang tertata dengan rangkaian bunga. Ada campuran sedih, haru dan senang mendalam, yang seolah tarik menarik merentangkan isi dada; satu kata: bahagia. Sepasang kekasih telah mengikrar janji mereka dengan cara mereka, dalam dunia mereka yang disiarkan pada jiwa-jiwa terdekat. Aku kehilangan kata menyaksikan sebuah narasi panjang tentang cinta. Seolah mereka menjadi perpanjangan mimpiku yang tidak pernah mampu aku miliki. -- Sebuah kehormatan untuk dapat menyampaikan beberapa kata personal di hari pernikahan mereka, meski sesungguhnya aku tidak tahu apa yang dapat aku sampaikan. Setiap kali hendak merancang kata, aku akan terjatuh dalam airmata. Belum lagi kondisi kontekstual yang menjadikannya lebih berat. Ada semacam keunikan kondisi hubungan romansa kita masing-masing, yang entah bagaimana seperti terikat hukum Semesta untuk berlaku kebalikannya; bila mereka sedang bermasalah, biasanya aku dan pasangan baik-baik saja, dan sebaliknya; bila mereka sedang rukun, biasanya aku dan pasangan berada dalam konflik tak berhujung. Seolah menjadi hidup paralel yang paradoks. Dalam hukum Semesta yang tampaknya masih berlaku; limpahan bahagia di hatinya hari itu sejajar dengan limpahan babak belur hatiku dalam dunia paralel tanpa ujung. Bagaimana pula caranya menyampaikan kata-kata bahagia dalam redam hati yang terluka? – Tapi aku teringat, bahagia, sedih, luka, tawa, berada dalam bidang yang sama. Essensi hidup adalah tidak lari darinya, maka aku bicara tentang cinta dan yang nyata. Ketidaksempurnaan yang sempurna. -- Menjadi teman mereka berdua adalah menonton sebuah drama secara terpaksa. Tidak ada episode yang bisa aku skip sekedar karena lagi enggan menonton, dan jauh lebih intens lagi karena drama ini bergitu membuka partisipasi. Terlibat dalam berbagai dinamika emosi yang andai berada dalam pantauan alat pengukur gempa bumi, terlampau sering tremor dan erupsi. Perjalan panjang relasi mereka telah dipenuhi beragam peristiwa dengan spektrum melambung hingga menghempaskan jiwa; relasi saling menyakiti, relasi yang menghabiskan tenaga, relasi sehari-hari penuh kebosanan, dan relasi yang tetap menyelipkan tawa di setiap sudutnya. Perjalanan mereka tidaklah mudah, penuh dengan duri yang sebenarnya cukup untuk menyatakan “sudah”. Tapi aku menyaksikan dua orang yang berani menghidupkan cinta, betapapun “kotor” kondisi yang ada. Dua orang yang bersedia melepaskan semua pertahanan diri dan rapuh dihadapan masing-masing, untuk membuka realitas yang paling menyakitkan atas salah dan ketidaksempurnaan. Bersedia menghadapi rasa sakit pasangan atas kekhilafan, bersedia untuk terus menemukan jalan terus menerus, berulang. Faktanya hidup memang penuh dengan hal yang menyakitkan, tapi mereka memilih untuk tidak berpura. Memilih ditusuk dan ditikam daripada manipulasi penenang hati, berani untuk memprioritaskan membangun percaya dengan meletakan fondasi terbuka atas diri yang seadanya. Bukan hal mudah untuk bersedia rapuh dihadapan orang yang paling mudah membunuh kita. Tapi disanalah cinta menjadi nyata. Dua orang yang tidak sempurna, dalam relasi yang tidak sempurna, dengan kebesaran hati bersedia untuk terus berupaya menghidupkan essensi bersama. Dan disitulah, mereka sempurna dalam segala ketidaksempurnaannya. Aku terbata saat harus menyampaikan sepatah dua patah kata dihadapan tamu undangan yang tidak semua kukenal. Dan baru kudapat tenangku saat aku dapat menatap mata sepasang sahabat yang telah menjadi suami istri dihadapanku. Banyak yang ingin kusampaikan yang luput dari ingatan. Tapi yang jelas, satu season dengan ratusan episode drama sudah selesai. Menanti masuk season berikutnya. Dan andai mereka dapat membaca apa yang tersampaikan melalui pandangan mata; aku berlimpah haru dan melantun doa atas langkah mereka. ~ Selamat menempuh kebersamaan, jangan lupa untuk ingat bahwa kalian saling menyayangi. Tetaplah menghidupkan cinta yang nyatanya sempurna dalam ketidaksempurnaan. Tularkanlah pada dunia, karena kita tahu, dunia membutuhkan keberanian untuk merengkuh cinta yang kian sudah terselimuti semu imaji menghabisi nurani kemanusiaan. Love is messy, but it makes life worth the ride. Terimakasih sudah mewujudkan yang selama ini hanya mampu kumimpikan. Belakang teras. Yogyakarta, 10.08.2019. |
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
December 2020
Categories
All
|