arymami
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About

Confidential Minds
​daily notes, fiction, life

The Micro Voice of a Single Mum

8/23/2015

Comments

 
Pagi itu rasanya akan segera meledak: Apa hubungannya antara sendiri dengan ban mobil yang sedang ia perbaiki? Rumus fisika apa yang menghubungkan antara beban pengendara tunggal dengan kerusakan ban? Apa montir ini sudah gila?. Apa sudah ada label ‘janda dan orang tua tunggal’ tertulis di jidatku?. Rasanya ingin kulipat-lipat orang itu, kupotong-pontong, kucincang habis, kubakar, kuseduh dalam kopi panas yang telah kuidamkan sejak jam empat pagi hari ini, kuteguk, kumuntahkan dalam kloset wc dan kuguyur!
Ledakan emosi dalam benakku menyadarkanku. Sabar. Aku hanya sedang lelah. Reaksi irasional seakan otomatis terpantik. Kurasa pengalaman menjadi warga ‘kelas empat’ dengan basis tidak rasional telah membuat kita tampak irrasional. Ada intuisi yang terasah secara berlebihan atas berlangsungnya stereotype dan diskriminasi kultural pada tiap pilihan kata dan bahasa tubuh. Kadang rasanya putus asa berdiri tegak di tengah hantaman sosial, baik yang termanifestasi maupun yang tersublimasi seperti kultur.  Strateginya tentu berkompromi dengan berselancar di atas nilai-nilai yang sama, menggunakan bahasa-bahasa yang sama, dan konsensus makna yang sama. Dalam kondisi normal, praktek memuakan semacam itu mudah dilakukan. Namun dalam kondisi kelelahan, semua seakan shutdown.
Dan aku sedang kelelahan. Secara faktual tidurku sangat kurang. Fisikku kecapaian. Aku menghabiskan malam membersihkan lantai dengan disinfektan dua kali, karena anak tunggalku muntah-muntah. Hanya mampu sejenak lelap sembari memeluknya, sebelum jam tiba-tiba menunjukan waktu untuk menyiapkan sarapan dan rangkaiannya. Semalaman tenagaku terkuras, dirudung cemas. Bagi orang tua tunggal, pasti tahu bahwa tantangan psikologis paling menyedot tenaga. Ini adalah konsekuensi yang tak terhindarkan dari menjadi satu-satu ‘kepala’ dewasa dalam rumah. Malam itu ada frekuensi konstan raung dan tangis kesakitan. Cemas bercampur rasionalisasi bergegas mencari intuisi – harus memutuskan segera ke UGD atau tidak. Segala bentuk emosi harus segera ditepis. Fakta bahwa aku tak mampu menggotong bobotnya tak dapat menjadi halangan. Aku bergegas mempersiapkan mobil  dan tekad harus cukup kuat menjadi tenaga untuk mengangkatnya. Saat gegas tersekat menemukannya tertidur lelap. Aku terjaga menatapnya.

Lelah tentu adalah makanan sehari-hari. Bagi orang tua tunggal, pasti memahami perjalanan fluktuatif emosi dan psikologi adalah penguras tenaga utama. Tak sebanding lah bila dengan rutinitas dan kegiatan praktis yang dapat bersandar pada presisi manajemen waktu. Psikologi tidak mudah dimanajemen, terlepas kita dilatih berulang kali berganti peran dalam hitungan detik. Dapat berada dalam tantrum amarah yang dasyat di satu detik dan melenyapkannya dengan sambutan sayang saat anak meminta perhatian di detik lainnya. Dapat menanggapi tuntutan kerja secara professional ditengah sedang merajang bumbu makan nanti malam. Dapat dengan tenang menyediakan diri memahami curhatan orang lain ditengah benak memikirkan solusi rekening yang tak cukup untuk menghidupi kebutuhan bulan depan. Meminjam istilah Dorothy Smith -biffurcated  being- termanifestasi dengan sempurna disini.

Membesarkan anak sendiri itu sulit! –baik untuk janda maupun duda - Membesarkan anak dalam keluarga utuh tentu merupakan hal yang jauh lebih prefereable dan bisa dikata ‘baik’. Tidak ada yang bermimpi untuk menjadi orang tua tunggal. Tapi tentu kondisi terkadang memaksa kita memilih atau terlempar kesana. Bagi yang memilih, bukan berarti memang berencana dan sudah siap mengahadapi secara detail menghadapi setiap konsekuensi. Hantaman pertama senantiasa mengulik tentang inti ‘the well-being of the child’, seakan kita tak memilikinya.

Membesarkan anak dalam pernikahan penuh konflik jelas tidak kondusif, semua penelitian dan literatur memaparkannya. Minimalisir konflik dengan ‘diam’ juga konsekuensial. Diam tak berarti baik-baik saja, imbas psikologis berupa kecenderungan menghindari konflik, ketidakmampuan sosial, kemunafikan personal, pembatasan atas multiperspektif, ketidakmampunan pelepasan tekanan psikis, dan bahkan pembiasaan kekerasan fisik. Setidaknya itu, berkaca sebagai produk keluarga nuclear yang konstan mengalami interaksi diam dan perang psikis (tampak utuh tapi kehilangan akar). Namun, banyak yang memilih ‘bertahan’ dalam pernikahan tidak harmonis dengan alasan ‘kebaikan anak’ dan disanjung sebagai pengorbanan. Seperti budaya populer yang menormalisasi segala jenis perilaku, dimana nilai (kebaikan) jadi kabur disana. Faktanya memang lebih mudah menjadi bagian dari yang ‘normal’ daripada ‘the unordinary’. Belum lagi dengan kondisi kultur yang membiarkan ranah privat merembet pada fasilitas publik, sangat mudah dimaklumi.

Ada beragam alasan untuk sebuah keputusan yang sulit, namun yang pasti hatimu tahu itu adalah satu-satunya tindakan yang ‘benar’: bagaimana mungkin kita berkhianat pada kebenaran?. Berpihak pada tindakan yang ‘benar’ adalah keharusan, setidaknya demikian suara batinku memaksa. Bagiku, pilihan itu merupakan cara untuk menghentikan atau setidaknya meniminalisir lebih banyak lagi rasa sakit pada lebih banyak orang. Perceraian sebagai selebrasi? Tidak! Itu menyakitkan terlepas dari seberapapun kau menginginkannya. Ada luka yang akan butuh disembuhkan.

Di tengah dominasi relasi familial yang ada, kita dilekatkan dengan kekurangan.. yes it may be twice the work, but we are not less of a parent. Dan kadang kita harus mem-puk-puk hati kita sendiri, karena tidak ada satu orang pun diluar sana yang mampu melakukannya. Beberapa dari kita tidak cukup beruntung di titik itu. Kadang kita harus berdiam sejenak di ruang hampa, kadang kita harus sedikit tuli, sedikit buta, dan sedikit bebal untuk memberi sedikit ruang appresiasi untuk kondisi yang tak memiliki suara.

Parenting – tergerus dominasi nilai yang menggunakan mata anak kami. Sedih tentu. Kita menghadapi konsekuensi sedih anak kami, bukan sekedar menganalisisnya! Anak sudah pasti akan merindukan orang tua satunya. Kita pasti menghadapi pertanyaan dan mengatasi emosi untuk berupaya keras mengisi gap-gap yang dikonstruksikan sebagai tidak ‘normal’. Tentu anak kita akan berhadapan dengan ‘abu-abu’ normalitas. Sisi baiknya, ia akan tumbuh sebagai pribadi kritis yang mempertanyakan apa sebenarnya normal itu? Ia akan memiliki multiperspektif, keterbukaan, dan toleransi keberagaman nilai yang tinggi. Dan tentu, ia akan terlatih untuk menggenggam apa yang benar-benar menjadi suara dan nilai dari dirinya.

Konflik tidak akan dihindari. Terlebih dalam keluarga non-nuclear yang hanya ada anak dan satu orang tua. Anak melihat konflik bagian dari berkembang. Ia akan mudah menghadapi konflik, dan tentu menggunakan komunikasi sebagai bagian dari penyelesaian konflik.
Dengan satu orang tua, ia juga akan belajar dan memiliki integritas. Sebab ia terus menyaksikan ayah atau ibunya penuh menghadapi semua peran – dari menceboknya, memeluk sedihnya ke membenarkan genteng diatas rumah - tanpa ada tanggungjawab yang digenggam secara abu-abu. Ia akan belajar menjadi penuh menghadapi satu tantangan. 

Tentu tidak ada susunan hirarkhi dalam keluarga non-nuclear. Maka ada pemahaman relasi kuasa dengan cara berbeda. Kita akan menjadi sabahat dengan anak kita. Sebab kita telah memulai persahabatan itu sejak dini. Kita menari pada musik yang sama, membersihkan rumah bersama, dan bergossip bersama, mungkin juga kelak dapat bertukar nasehat dan cerita tentang asmara secara ‘setara’, sebab mungkin kita juga sedang menjalin asmara.

Appresiasi adalah hal yang akan dipelajari secara praktis sejak dini. Sebab semua ‘upaya’ tak terhindari menampakan diri; ia belajar berkompromi, memahami prioritas, kerja keras, nilai uang dan waktu. Dimana work hard play hard tidak lagi sekedar slogan.

Dengan satu orang tua, makna companionship hadir sempurna. Sepanjang hidupnya ia sudah belajar essensi dan cara bekerjasama. Karena membesarkan anak sendiri tanpa kerjasama anak adalah hal yang tidak mungkin. Ia akan mengerti makna menjadi partner yang baik. Ia akan paham ada teman bermain yang seru, adakala perlu menjadi rekan yang setara, dan lebih dari itu, memahami bahwa orangtua pun manusia. Kita membesarkan seorang pria yang tahu cara memperlakukan perempuan atau seorang perempuan yang tahu cara menghargai seorang lelaki. Dengan demikian kelak reassure dia akan berkembang dalam relasi penuh keterbukaan dan kerjasama (dan bila semua pembelajaran keintiman yang sudah kulakukan selama ini benar adanya bergerak ke ranah prediksi demokratisasi relasi keintiman, dia akan baik-baik saja).  Ia belajar memanusiakan manusia. Dan tak perlu bersusah payah membangun sadar gender. Sebab sepanjang hidupnya sudah melihat baik ayah atau ibunya memasak, mengasihi dan merawat anak, sekaligus bekerja, dan menikmati hidup dengan caranya.

Ini bukan kampanye orang tua tunggal. Hanya manusia kerap lupa bahwa selalu ada dua sisi pada satu keping logam seratus perak, dan akan tetap bernilai 100 perak. Lupa bahwa kita juga berada di sisi kemanusiaan yang sama. Cut us some slack. It is tough. Kita tidak pernah memiliki ruang berkabung dan menyembuhkan diri sebagai proses normal pada umumnya. Kita harus menghadiri realitas dengan kondisi ‘baik’ terlepas jiwa yang sudah tersayat dan butuh merangkak dalam peluk kenyamanan sejenak. Bagi yang shared custody, bisa dikata kita cukup ‘beruntung’ untuk mendapatkan sedikit ruang, setidaknya hari dimana bisa mengejar pekerjaan, melakukan beberapa kegiatan yang tak dimungkinan di hari biasa, atau sekedar membayar tidur yang kurang selama seminggu. Kita memang terpaksa menyembuhkan diri disela-sela waktu yang memungkinkan, dan ya.. it can look like we are crazy sometime. Tak ada ruang untuk lemah dan sembuh ditengah konstruksi sosial yang mainstream dan orang-orang dekat yang menghujatmu sebagai konsekuensi pilihan pribadi.

“how do you do it?”, pertanyaan ironis yang paling sering terlontar. “Bagaimana kamu bisa bekerja, mengambil doktoral, menjadi ibu, membayar semua sendiri dengan kondisi finansial seperti itu, kenapa tidak ada pembantu dirumah, bagaimana bila kau sakit, tidakkah kau berpikir mencari pasangan lagi..bla..bla..bla”.

*sigh* Terlalu sering decak kagum bercampur dengan rasa kasian tiap berhadapan kondisi orang tua tunggal. Paling malessss banget deh - karena kondisi ini memang voiceless. Literally voiceless. Selalu ada sekat kerangka struktur logika mainstream yang sulit ditembus untuk mencapai satu paham. Ini mungkin menjadi salah satu alasan lain, kenapa cerita subyektifitas (perempuan) sebagai orang tua tunggal di Indonesia jarang kita temukan. We dont have the energy to spare, talking to brick walls, bukan berarti kita tak pernah mencoba.. tapi mungkin memang it takes one to know one. Bagaimana cara memaparkan kita masih terus belajar dan ada proses penyembuhan luka yang terpaksa dicicil. Belum lagi tambahan-tambahan luka baru dari relasi-relasi yang kita coba jalani. Banyak kondisi yang secara konstan membuat patah. Hantaman dari segala arah. Secara nyata tidak dapat bernafas. Berteriak lantang tanpa mampu mengeluarkan suara. Jiwa, raga, hati ini sudah luluh lantak tanpa sisa. Help. Mercy. Time out. Ya.. you name it. Dan saat semua benteng pertahanan tumbang ‘disaat yang tidak tepat’, berlari ke kamar mandi untuk sejenak membiarkan air mata mengalir sekedar agar si kecil tidak melihat. Kenapa masih saja ada tanya, bagaimana melakukannya? .. Dan cari pasangan.. –sigh – sudahlah – bagaimana cara menjelaskan kebutuhan partner in companionship, dan memaparkan sedikitnya lawan jenis yang man enough to hold a woman that is too much of a woman, dan please deh kapan ada waktu nyarinya? *sigh* mengambil nafas panjang*: “we do what we have to do”.

Sejujurnya..kita tak pernah melakukannya sendirian.. tidak akan ada dan bisa membesarkan anak sendirian! Bahkan bila hanya ada diriku dan anakku di rumah. Selalu ada rangkai acak ‘angel in disguise’ (malaikat tanpa sayap) dalam keseharian. Life is full of blessed suprises.

Bagaimana menjalankannya? Kadang kita mempertanyakan hal yang sama. Terlebih saat tantangan tampak seperti spiral neraka. Sandangan newbie serasa melekat selamanya.Bagi orang tua tunggal pasti tahu, we will be suprised!

Belakang teras.saatlelapnyamembasuhsemualelah.20150823.
#singlemum #singleparent #parenting
Comments
    Picture

    on this blog

    ​Just ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world.

    I'm a dreamer, for life offers only thus. I'm a wanderer, for i believe all possibilities

    ​I'm single, though I'm rarely available. I'm a fiction in the reality of the mind.

    RSS Feed

    Archives

    December 2020
    October 2020
    August 2020
    June 2020
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    January 2019
    July 2017
    June 2017
    March 2017
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    April 2016
    August 2015
    February 2015
    July 2014
    April 2012
    December 2010

    Categories

    All
    Abuse
    Arymami
    Bahagia
    Berserah
    Birthday
    Borneo
    Buku Sejarah
    Camus
    Catatan
    Catatnan
    Cinta
    Coffee
    Death
    Delusi
    Dianarymami
    Eglish
    Extramaritial
    Gender
    Happiness
    Happy
    Heartbreak
    Humanity
    Jingga
    Kalimantan
    Kekerasan
    Kekerasan Seksual
    Kesehatan
    Keterputusan
    Kurban
    Lebaran
    Lelaki Tua
    Life
    Love
    Maaf
    Makna
    Marriage
    Medis
    Melepaskan
    Menghargai
    Menulis
    Mudik
    Note
    Notes
    Operasi
    OR
    Parenting
    Penyakit
    Percakapan
    Pulang
    Rasa
    Relasi
    Relasi Keintiman
    RS
    Sakit
    Sejarah
    Seks
    Single Mum
    Single Parent
    Sisifus
    Sukamara
    Takut
    Tour De RS
    Valentine
    Violence
    Waktu
    Wedding

  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About