arymami
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About

Confidential Minds
​daily notes, fiction, life

The Masquarade 

9/27/2016

Comments

 
Picture
“besok pagi di kampus?... aku baru kelar operasi. 
Ingin sekali menangis dalam pelukan seseorang. Can I?”
19:11 - 26.09.2016
 
-
Tanganku berupaya menggapai tubuhnya, namun gagal. Mencoba meraih siapa pun yang mungkin bersedia menggenggam tanganku. Tanpa hasil, kugenggam erat lipatan kain hijau pada ujung bidang meja setengah meter itu. Baru kali ini aku berada di atas meja operasi dengan sadar berteriak kesakitan dengan lantang tiga kali. Aku bayangkan bila ada orang diluar ruang operasi itu, pastinya akan bertanya-tanya macam penjaggalan apa yang sedang terjadi di dalam. Tubuhku sudah gemetar  lemas dan kedinginan dengan darah yang bercucuran dari belakang kepala. Aku hanya membayangkan ini menjadi pembedahan ala militer di medan perang. Aku hanya mampu melihat detik jam yang kian melambat berharap semua segera tuntas. Berharap mereka segera menutup dan menjahit bedahan; membayangkan mereka berkata “maaf, kita akan mengulanginya dengan bius total kali ini”. Tapi itu tidak terjadi.. kurasa ada benarnya para ahli bedah dilatih tidak mempedulikan erangan, tangis dan teriakan ‘obyek’ bedah. Mereka diharuskan tenang melakukan apapun yang harus mereka lakukan; sebagaimana mereka jelaskan pula “darurat” dalam dunia kedokteran adalah bila membicarakan detik atau menit menuju kematian. Sepanjang tanda-tanda kematian itu belum dekat, tidak jadi soal bila organ atau syaraf apa terluka - toh nanti bisa dibenerin.

Operasi ringan! Tindakan sederhana. Santai saja. – dan berapa kali aku sudah mendengar itu. Dan benar  saja – tepat 5 menit berlangsung dengan sobekan di leher yang sudah mengangga, kepanikan itu terjadi. Andai aku tak sadar, mungkin akan berbeda... tapi ini aku sadar dong... please deh... not again not again not again... hanya itu yang melintas dalam kepala, sebelum tentunya rasa spektakuler itu kualami. Dan selama ini mengira gak bakal ada rasa yang lebih heboh dari pada melahirkan seorang anak – aku menyerah salah.
 
Hari itu, waktu melesat bersama mobilitas dan kegiatan yang menjadi distraksi sempurna. Mendadak sudah pukul tiga saja. Bergegas. Berhenti makan sebisanya untuk mengisi perut yang seharian kosong sebelum beranjak ke dunia medis yang menanti. Aku tidak merasa yakin apa aku bisa atau perlu melakukan operasi yang sudah dijadwalkan hari ini. Namun karena sudah dijadwalkan, aku diminta mempersiapkan diri dan mereka berkata nanti bisa berbincang dengan dokternya di OR.
 
Aku mencoba bernegosiasi, namun tetap saja berganti dengan selembar kain hijau. Ruang preparasi itu masih diisi oleh dua orang, satu sibuk membungkus kain dan perban, sedang satunya sibuk melihat file berkas operasionalisasi bedah.
 
“mbak Dian Arymami?”
“Iya”
“Ini yang dibedah di dada ya”
Sontak terkaget. Kok bisa geser lokasi nih.  “Bukan. Di leher”, di jawabku. Paham bahwa dia perlu mempersiapkan ruang bedah yang pas untuk dokter melakukan tindak bedah padaku.
“Engga. Di dada. Ini berkasnya. Pembedahan akan kita lakukan di...”
Aku sudah tidak mendengarkan kalimatnya. Kita berdebat. Bersikekeh menuntut segera bertemu dengan dokter bedahku (yang masih bersiap diri). Gila aja! Masa beda lokasi bedah..! Dalam perdebatan tak berujung itu.. dokter bedah akhirya masuk. Dan wajah lega terlihat pada kami berdua.
 
“ini prep untuk bedah dada dok” – ujar tim bedahnya.
“yup. Bedah dada” – jawab dokterku.
 
Whaaaaattttttttt??????!!!,  tanda-tanda gak bener nih.  
 
“Tidak dok. Leher” – potongku lantang. Sudah ketakutan akan menjalani operasi yang tidak seharusnya.
“oh iya kah? Mana?... oh iya..benar.. leher” kata sembari memeriksaku sekali lagi, kemudian kembali melihat berkas tindakan yang memang terselip dibawah kertas tindakan operasi dada sebelumnya. “hmm... iya.. kita bedah aja.. Yuk masuk”
 
Yuuuk masuuukkk.... eaa.. emangnya ini warung kopi! Santai bener nih orang. Ya tentu, jam terbang pembedahan pastinya membuat dia santai. Tapi kan...
 
Ruang itu masih sepeti terakhir kuingat. Dingin, berbau disinfektan, dan terang. Ahli anastesi dan perawat sudah didalam, asyik nonton berita Ahok-Agus-Anis di televisi sambil tertawa-tawa. “Sini mbak”, ujarnya memintaku berbaring di meja operasi yang sudah dilapisi kain kasa di area pembedahan. Jantungku mulai berdegub kencang.
 
“kenapa mbak, kok gerak terus?” sang anastesi memegang kakiku. “Masnya gak nungguin mbak?”. Aku diam sejenak dan menjawab singkat “sendiri”. Matanya tertuju langsung padaku. Ada nuansa hangat disana. Dia lalu melepas penutup mulutnya, tersenyum padaku. Dan berujar tanpa suara “Santai saja, semua akan baik-baik saja”. Demikian lembut dan hangatnya, seolah waktu berjalan lebih lambat. Momennya terasa berada bersama malaikat penyelamat yang hangat, atau berada bersama seorang psikopat yang sadis. Tipis. Aku tak bisa membedakannya. Tepat saat itu, tim bedah memasuki ruangan.
 
Delapan orang. Lelaki semua, mengenakan baju serba hijaunya (masih bertanya kenapa juga sih hijau.. kan kalau sama darah gak cocok ya warnanya.. tapi siapa juga yg membicarakan keserasian warna kostum operasi). Wajah mereka semua tertutup. Sibuk berada dalam satu sisi dan menggeser peralatan bedah ke sampingku. Melihat semua pisau, dan besi-besi panjang itu membuatku bergidik. Aku diminta untuk menoleh ke kiri, mengingat leher itu yang akan menjadi titik bedah. Tepat di depanku adalah jam dinding. Tanpa banyak babibu, cairan disinfektan yang tajam dan dingin mengalir di kepala dan leherku.
 
Tubuhku mulai di tutupi dengan kain-kain hijau yang tersobek sana-sini, khusus memberi lubang untuk ruang bedah. Mungkin semacam pantat sapi putih yang memastikan fokus satu titik. Penutupan kain memastikan fokus bedah tetap di area. Mungkin juga membantu para ahli bedah untuk tidak melihat yang dibedah ini hidup dan juga manusia. Entah.. aku tidak terlalu tahu  alasannya. Tiga lembar kain. Di kepala, tubuh, dan kakiku yang sudah mulai kedinginan. Empat orang menuju bagian kepalaku, sang anastesi tentu berdiri paling dekat dengan kepala memastikan aku tidak ‘hilang’ dalam kesakitan. Satu memastikan detak jantung dan ‘organ-vital’ masih berfungsi untuk melewati operasi.
 
“Kita kasih 100ml dulu... mulai ya, aku akan menyuntikmu”. Antara berbicara dengan tim bedah dan pasien yang sepenuhnya sadar ini, ia sudah memasukan suntikan morfin pertama di belakang kepala. “hmm.. ok dok”, ujarku pasrah, gak punya banyak pilihan juga kan ya. Dengan pisau bedah masuk ke dalam leher, ia berkata “Kalau sakit nanti bilang ya”.
 
Whaaaatttt??? Kalau sakit bilang. Wait wait wait. Kok ada kaya gitu. Sakit macam mana? Emang aku benerin gigi.. Kalo sakit bilang... whaaatttt.... ini lagi motong leherku dan kalau sakit bilang...? Stress sudah mulai meningkat bersama dengan bunyi dan rasa daging yang terpotong. Aku berupaya mendeteksi, yang dimaksud sakit kaya apa ya.. ini sebenarnya dah sakit... dan sesekali aku berkata “ao ao ao”. Sakitnya meningkat. “sakit” ujarku mulai berkenalan dengan apa yang dimaksud dengan sakit. “Kasih lagi, suntik” perintah dokternya. Whaaattt... serius nih aku baru ditambah obat kalo merasa sakit?? Sang anastesi sudah mulai ditemani oleh entah asistennya yang menekan kepalaku ke dalam memastikan tidak bergerak. Aku bisa merasakan morfin menjalar hingga hangat di dada. Aku sudah mendapatkan penjelasan mengenai bedah anastesi lokal seminggu sebelumnya, dan cukup paham kenapa dosis ini diberikan secara bertahap. Penjelasan itu juga disertai dengan “saya tidak akan bohong, itu sakit, tapi lebih aman”, tapi penjelasan itu sama sekali tidak dapat menggambarkan rasa sakit yang semacam apa. Dan kini aku mulai mengalaminya dengan angkat tangan, aku gak kuat brooo....
 
“mbak bener nih gak ada yang nungguin? Sendirian aja?” – salah satu anggota tim mengguncang dadaku. Mungkin bermaksud menenangkanku yang kian tegang. Tangannya menekan tepat di tengah dada. Memastikan bahwa aku tidak makin terguncang atau meronta menggerakan leherku yang sedang ternganga. Aku baru saja mulai berpikir kenapa ia menanyakan lagi apa ada orang yang akan menantiku keluar ruang operasi, antara memikirkan bahwa ada tindakan lain yg terpaksa dilakukan atau memahami bahwa lepas ini aku akan ‘membutuhkan’ orang.  Sampai... sakit itu menyayat dengan amat sangat. Menyobek dua lapis otot itu tampaknya menyulitkan. Dengan pisau bedah yang dapat kurasakan masuk dan menarik semua syarafku, tangan kananku, kaki, dan kepala seperti dibelah. Aku paham syaraf sudah terkenai, hingga sakitnya demikian random dimana-mana. Namun tidak melebihi sakit yang masuk ke otak, kepala sebelah kanan, yang rasanya otakku sedang dicacah berlahan. Tubuhku sudah tidak dapat terima. Aku berteriak kesakitan. Aku tentu tidak terlalu dihiraukan dengan segala teriakan dan tangisku.
 
“Duh susah nih! Kenapa terselip ya? harus kita ambil bagian ini, dipercepat saja, gak papa” – duuh... seriously??? Katanya sederhana.. kenapa pake susah?
 
“Kita tambah?” – “gak dipercepat saja”. Tim bedah berdiskusi dengan segera. Saat satu anggota menekan kakiku yang sudah mulai meronta melepaskan alat deteksi detak jantung yang kian tak teratur. Lima menit selanjtnya adalah lima menit terlama. Delapan lelaki berjubah hijau itu sudah menutup semua pandanganku, hingga hanya bisa kulihat jarum tangan jam dari sela-sela tubuh. Satu memegang kakiku ke bawah, satu menekan kepalaku, satu menekan dadaku, satu menekan leherku. Dan satu kali morfin terhunjam masuk panas ke dalam kepala. Aku berteriak kesakitan, dan berupaya menggenggam apapun disisiku, berharap ada yang memegang tanganku yang sudah hampir beku dalam dingin. Tiga kali hentakan yang menghunjam kepala dengan sakit yang menjalar para benang-benang syaraf menarik seluruh otakku dari dalam, seiring dengan suara penyedot darah disisi telinga. Aku menatap detak waktu dengan lelehan air mata dan sakit yang tak terkira. – sudahkan berakhir?.... sudahkah berakhir?.. kapan berakhir? – Lima menit berjalan dengan begitu lamanya..
 
“Jahit” – “benang apa itu?” – “ya” – “ditutup aja”. Tangan-tangan besar itu mulai melepaskan tubuhku.
 
“merasa pusing”, tanya salah satu anggota tim.
“tidak.. sakit banget”, jawabku.
“sudah selesai kok” sembari mengambil lembar-lembar kain yang menutupi tubuhku. “bentar, tak usah melihat dulu. Biar kami bersihkan darahnya” ia pun menseka pundakku, punggung leherku dan punggungku dengan disinfektan. Mengambil perban dibawah tubuhku dan memasukannya dalam sampah medis, memastikan aku tidak menyaksikannya.
“seberapa sakit ini lepas morfinnya hilang?”, tanyaku.
“Ah... gak lebih sakit dari suntikan kok mbak...” aku sedikit tenang sebelum ia melanjutkan “ehm.. tapi aku juga tahu ya, soalnya aku juga belum pernah dibedah” gubraaaaaaakkk.... baiklah.
“mbak gak ada masnya di luar?”
“kenapa sih mas?”, tanyaku kembali penasaran, alih-alih ingin menggodanya tapi tak punya tenaga.
“gak papa...mungkin sebaiknya diminta”, ia mendekati ku sembari mengusap punggung dan memberikan remasan halus di pundak “gak papa kok.... bergantilah”.
 
Tidak terlalu memahami apa yang mereka maksudkan, aku kembali ke ruang ganti. Mengambil handphone dan mengirim pesan, “say, dah selesai operasinya”. Entah apa yang sebenarnya kuharap dari sebuah kalimat sederhana itu. Aku berdiam, dengan kepala yang mulai pusing. Lalu merasa kedinginan dan seluruh gambaran sakit yang kurasakan kembali masuk dalam bayangan. Seluruh rasa takut dan sakit tadi runtuh dalam air mata. Ku-usap segera, keluar untuk menyelasikan administrasi.
 
Paham, aku membutuhkan ‘seseorang’. Aku mengirim pesan, meminta sebuah pelukan. Membiarkan semua rasa tadi terpendam satu malam. Dengan semua perawakan “sok baik” yang terasah, aku pulang, menyapu rumah, menemani anak belajar, dan menanti obat bekerja membunuh sakit yang mulai kembali menjalar.
 
Satu lagi kisah medis dan sayatan untuk kenangan. Dalam rasa sakit, aku tersenyum menyapa semesta. Aku tahu kau di sana, bercanda untuk sebuah masa yang belum mampu kau sampaikan padaku. Dan tentu satu pelajaran... memotong budget operasi hingga 10juta adalah satu pengalaman yang tak bakal terlupakan! Worth it? Ah.. setidaknya aku tahu bahwa ada rasa sakit yang sedikit mendekati rasa sakit hati ditinggal ‘sendiri’.
 
 
Yogyakarta.dengansetengahkepalayangmasihkebalrasa.20160927.
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Comments
    Picture

    on this blog

    ​Just ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world.

    I'm a dreamer, for life offers only thus. I'm a wanderer, for i believe all possibilities

    ​I'm single, though I'm rarely available. I'm a fiction in the reality of the mind.

    RSS Feed

    Archives

    December 2020
    October 2020
    August 2020
    June 2020
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    January 2019
    July 2017
    June 2017
    March 2017
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    April 2016
    August 2015
    February 2015
    July 2014
    April 2012
    December 2010

    Categories

    All
    Abuse
    Arymami
    Bahagia
    Berserah
    Birthday
    Borneo
    Buku Sejarah
    Camus
    Catatan
    Catatnan
    Cinta
    Coffee
    Death
    Delusi
    Dianarymami
    Eglish
    Extramaritial
    Gender
    Happiness
    Happy
    Heartbreak
    Humanity
    Jingga
    Kalimantan
    Kekerasan
    Kekerasan Seksual
    Kesehatan
    Keterputusan
    Kurban
    Lebaran
    Lelaki Tua
    Life
    Love
    Maaf
    Makna
    Marriage
    Medis
    Melepaskan
    Menghargai
    Menulis
    Mudik
    Note
    Notes
    Operasi
    OR
    Parenting
    Penyakit
    Percakapan
    Pulang
    Rasa
    Relasi
    Relasi Keintiman
    RS
    Sakit
    Sejarah
    Seks
    Single Mum
    Single Parent
    Sisifus
    Sukamara
    Takut
    Tour De RS
    Valentine
    Violence
    Waktu
    Wedding

  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About