“aku tidak bisa mengatakan iya” Demikian kalimatnya malam itu mengiang terus dalam benak. ‘tidak bisa mengatakan iya’ – apakah itu bisa diintrepretasikan keraguan mengatakan iya? Atau sebetulnya sebuah jawaban tegas yang bermakna sama dengan tidak? Bila benar berarti ‘tidak’, kenapa membutuhkan kalimat yang demikian panjang? Kenapa tidak katakan tegas tidak? Dalam percakapan interpersonal, respon spontan merupakan kejujuran yang tak terbantahkan. Tentu dengan asumsi bahwa ketidaksadaran adalah kebenaran. Sulit membantah makna dari senyuman yang merekah atau mata berbinar tiap kali sosok yang dicinta tiba-tiba muncul di hadapan mata, misalnya. Terlepas dari segala bentuk dramaturgy yang dipahami dan dipraktekan, selalu ada spontanitas yang lepas mengaffirmasi kebenaran. Dari spontanitas itu, kita pahami hakiki disclosure dari relasi interpersonal. Aku yakin dia memahami konsep spontanitas melebihi semua orang yang kukenal. Pun memahami siksa atas memahami yang tak tampak. Dengan itu kupertanyakan kembali –dramaturgi apa lagi yang sedang kita mainkan disini?
Hanya ada sesak yang merayap tiap kali ke-kita-an memaksa direfleksi. Dan aku telah menghentikan itu semua di saat memahami bahwa aku dan dia telah memandang ke-mengada-an secara berbeda. Aku telah menghancurkan semua harap, mimpi, dan menjadi bersamanya tepat disana. Tentu penghancuran tidak sertamerta beriringan dengan penghapusan sempurna. Bayang-bayang itu tetap saja mengajak mencari jawaban atas absurditas-absurditas yang mengada, mengulik luka. Luka yang dapat termanifestasi nyata pada tiap hembusan nafas, namun tak memiliki makna sebab berfondasi pada hampa. Absurd ditengah ribuan keping bahagia yang terjalani. Luka tetaplah luka. Absurditas, niscaya. Absurditas sebagai sebuah kebenaran. Bukankah itu yang dapat disimpulkan dari muasal berbagai pemikiran ; Kierkegaard, Heidegger, Nietzsche?. Absurditas kehidupan membunuh bukanlah sekedar kata-kata. Perjuangan eksistensialis melakukan ‘bunuh diri filosofis’, untuk mencari cara keluar dari hidup pada kasus yang pertama, atau cara tetap hidup dalam kasus yang kedua. Seluruh pemikiran mereka tanpa kecuali menyarankan untuk menghindar, bertolak pada kenyataan absurd diatas puing akal budi untuk mengilahikan apa yang justru melindas mereka, dan menemukan alasan untuk berharap dalam apa yang justru melucuti mereka. Absurditas selalu berlandaskan pada perasaan absurd. Meski perasaan absurd tidak dengan sendiriya merupakan pengertian absurd. Absurditas muncul bersama perbandingan konsekuensi dengan kenyataan logis yang dibangun tiap individu. Absurditas menjadi makin besar manakala penyimpangan unsur perbandingan bertambah. Sehingga ia bisa tersimpulkan dari keadaan nyata dan suatu kenyataan tertentu, dari suatu tindakan dan dunia yang mengatasinya. Dan yang absurd adalah saat ia tidak berada dalam unsur-unsur yang dibandingkan. Ia lahir dari konfrontasi unsur-unsur tersebut. Absurditas tidak ada dalam manusia pun dunia, namun hadir dalam keberadaan keduanya. Bila logika absurd dituntaskan, pergulatan itu menuntut ketiadaan harapan secara mutlak (tidak berkaitan dengan keputusasaan), penolakan tanpa henti (tidak sama dengan penyangkalan diri), dan ketidakpuasan yang sadar (tidak bisa disamakan dengan keresahan). Dan semua upaya menghilangkan itu, kian memberikan arti pada absurditas. Di saat yang sama ketika semua berbenturan dengan absurditas, tidak ada yang tersisa selain hari yang berjalan begitu saja. – Hampa bukan berarti tanpa makna- Sisifus tetap mendorong batu itu ke puncak gunung untuk kembali jatuh dan mengulanginya. Tak ada hukuman yang lebih menyiksa dari sebuah pekerjaan yang tak berguna. Namun jika ada harapan pada tiap langkah menopang batu, siapa yang memaknai siksa dan derita itu, selain kesadaran? Kuambil sepotong percakapan. Pilihan dan tanggungjawab atas seluruh konsekuensi pilihan. Puja tegas eksistensialis tanpa ragu. Dibenak hanya terus mengiang tanya, tanggungjawab pada siapa yang sedang dipertaruhkan? Sebatas diri atau tanggungjawab pada yang lian? Tanggungjawab pada yang lian hanya tersapu bersama debu dibawah karpet, untuk menegakan tanggungjawab diri yang terjebak dalam jeruji otentitasnya. Seminggu yang lian adalah sisa hari yang berjalan begitu saja, demi hidup dalam kata - kata? -sisifus menjalani hukumannya dalam cinta- Kututup buku. Memikirkan: ‘masihkah kamu perlu mempertanyakan kesadaranku?’ Yogyakarta. Perpus-dalamdukasebabderitatakkanpernahmengada. 20150201 Thanks to Camus-Mite Sisifus. |
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
December 2020
Categories
All
|