arymami
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About

Confidential Minds
​daily notes, fiction, life

Refleksi : ‘Cinta yang menawarkan mimpi, kehidupan dan masa depan, lalu mundur tanpa Kata’. [apa Masalahnya?]

4/9/2016

Comments

 
Picture
Gambar: dari akun Mr.Amari Soul - Reflections of a Man

To be loved by someone gives you strength, 
to love someone completely gives you courage – Lao Tzu

Kami duduk di ruang kopi. Aku dan dia.
 
“Ia memilih... pergi.... ya... begitulah.. bukan hal yang mudah untuk menerima anak orang lain.. aku perlu memahami itu.. perlu menghargai kejujurannya.. dia tidak menerimaku seutuhnya”, ujarnya dengan ringan, seolah membicarakan cuaca. 

Kata-katanya mengiris langsung ke jantung dadaku. Aku tersenyum, meraba apa yang kurasa. Memahami bahwa cara penuturannya adalah hasil uji coba latihan panjang untuk mempertahankan sisa-sisa jiwa. Seolah dada ini hanya sebidang helai kaca ringkih yang siap pecah seketika mendapati benturan gema. Bicara dengan ringan hanya satu-satunya cara. Kami berdua cukup tahu bahwa ini bukan semata soal asmara. Ya.. kami tidak cukup ‘muda’ untuk melihat ini hanya masalah relasi dan patah hati.
 
Setidaknya, tidak bagi seorang ibu tunggal yang memiliki hidup lain yang melekat padanya*). Aku dapat berkorelasi dengan hal ini. Ada kompleksitas psikologis dan konsekuensi yang berbeda. Ia tak memiliki ‘kedaulatan jiwa’, tidak memiliki otoritas penuh pada hidup bahkan emosinya. Secara faktual saja, jadwal dan waktu kesehariannya ditentukan penuh oleh jam kebutuhan anaknya. Secara emosional bila ia tersakiti, akan ada anak yang terluka. Tentu Ia akan selalu tampak menjalani hidupnya dengan baik-baik saja - semata itu menjadi satu-satunya opsi - namun anaknya akan paham sebaliknya. Ia menanggung beban emosi yang berlipat dengan jumlah hidup yang bertaut padanya. Relasi cinta bukan semata permainan hati, namun hidupnya.
 
Aku terlempar dalam lipatan rasa nir-aksara. Mengingat jelas wacana dan kata-kata suatu ketika seorang lelaki yang masih sangat kucintai. Ada perih yang menyayat disana. Hati yang tak paham kenapa cinta tidak memiliki ruang dalam realitas yang sama-sama dipijak. Kita saling menyinta, namun dia tidak melihat bagaimana ia dapat hidup melepaskan/membawa masa lalunya dan hadir bersama dengan masa laluku. Namun, hal yang paling menikam – mungkin - adalah ia tidak memiliki sebuah alasan untuk menyiptakan sebuah kehidupan baru. Simpulnya: kita ingin bersama, hanya ia tidak menghidupinya.
 
Ada rasa sakit tanpa alasan pasti yang menyeruak di setiap jengkal tubuhku. Ada kesedihan yang konstan, ada kekosongan yang tiba-tiba mengigil di jatungku, ada eksistensi yang seketika luluh lantak. Entah di titik mana dan pada apa yang terasa menyakitkan.
 
Rasionalisasi pada akhirnya akan berupaya mengulik kenangan, membaca ulang, mencari penyebab; bagaimana mungkin ia membiarkanku membangun mimpi hidup bersama sepanjang bertahun-tahun ditengah ia telah berhenti menginginkannya di tahun kedua kita bersama?  Bagaimana mungkin tanpa pengantar ia putuskan aku tak lagi menjalin relasi dengan keluarganya ditengah mereka mulai bersemayam di benakku? Bagaimana mungkin ia mengira aku baik-baik saja saat ia mentransformasi ‘kita’ tanpa kata? –‘kau takkan mati tanpaku’, ujarnya; dan sekian deret lipatan peristiwa penuh tanya.
 
Namun apapun yang tereja atas rasa sakit itu, aku tetap menyintainya sama. Tidak ada cinta yang benar-benar terluka. Apalagi pergi, andai ini dikatakan sebagai patah hati. Cinta sendiri tak pernah terluka. Semua sakit tanpa diminta terpantik melalui fakta bahwa ia tidak cukup menginginkanku seutuhnya dalam kehidupannya. Penolakan dan pengabaian selalu menyakitkan, terlebih bila terjadi tanpa peringatan. Seolah relasi itu tercerabut dari akar makna. Kami masih saling menyintai, namun.. entah kenapa.. semua tak lagi sama.
 
Ya.. rasa lebur dan luluh seolah hilang saat kini kugenggam tangannya. Seolah kata percaya menjadi sekedar kata. Seakan tak memiliki makna. Dalam dekapnya pun tak lagi sama. Seolah rapuh dan lelah tak lagi lenyap dalam dekapnya. Seakan tahu, bahwa bila aku jatuh dalam rapuhku ia hanya menyaksikannya sebagai tontonan. Ya.. unafraid dalam For once in my life, Stevie Wonder tidak lagi bersenandung mengiri hari-hari. Ada takut yang kembali merasuk dan menetap dengan pasti. – ia telah mengantarku ke antah berantah dan meninggalkanku sendiri.
 
Entah apa yang bergeser, tak benar tahu apa yang sebenarnya menyakitkan. Semua rasa nirkata itu tiba-tiba saja existing dan hidup setiap harinya –as is -. Mengurainya mungkin lebih mudah dalam barisan puisi, senandung nada, dan goresan lukisan. Tak pernah ada yang benar-benar paham bagaimana cara mendeskripsikan jiwa yang terluka. Kita mungkin sudah demikian fasih diajarkan untuk tidak mampu mengeja rasa. Ya faktanya kita diajarkan untuk memisah realitas rasa dan keseharian nyata. Seolah hati tidak bersentuhan dengan yang nyata. Masalah hati, ya hati saja! Tanpa mampu menyelesaikan persoalannya ***).
 
Dunia menuntut kita untuk melihat dan menghadapi rasa dengan terpisah, lalu melabelinya dengan kata “bijak” dan “dewasa”. Kalau patah hati dan relasi tidak dapat berjalan... ya.. move on-lah ya... toh kita hidup lebih butuh udara daripada cinta! Masalah hati seolah lepas dari berbagai dimensi kehidupan lainnya. Kehilangan ‘cinta’ itu jadi dilihat semacam tidak lebih dari kesalahan membeli produk susu di supermarket. Dan banyak dari kita dibentuk dan larut dalam tuntutan dunia.
 
Kita dipaksa memisah realitas rasa dan nyata. Dan.. Kita akan mati-matian memisahkannya. Dengan berbagai tips yang ada – membuat kesibukan lain, mencari hobby, cari pasangan beda, bersimpuh di altarNya, berkumpul dengan sahabat, dst... lalu berkata.. waktu akan menyembuhkan luka! Oh iya.. dan selalu ada hikmahnya!
 
Faktanya.. takkan ada hal yang mampu untuk menghilangkan luka jiwa karena cinta. Kau bisa melakukan semua tips dan kau hanya berakhir dalam perih yang sama. Orang hanya belajar untuk hidup tanpa rasa. Ini pula di klaim sebagai baik-baik saja, dan kita tersugesti untuk mengamininya. Tak ada luka jiwa yang sembuh kecuali oleh cinta. Dan lebih banyak dari kita hanya terkutuk dalam kehidupan tanpa nyawa.
 
Demikianlah dia. Mengamini bahwa urusan hati hanya persoalan kompetensi manajemen emosi. Rasa harus terbungkam. Namun disini, kita kerap alpha, bahwa menafikan rasa tanpa suara adalah bagian kecil dari proses dehumanisasi. Aku lupa feminis mana yang mengutarakannya. Hal ini mungkin tampak sederhana, namun ditengah fenomena relasi (semacam ini) kita membiarkan progressive dehumanization yang berimbas luas pada kehidupan sosial. - Cerita untuk lain waktu.
 
Sulit untuk menemukan kata dalam medeskripsikan kehilangan “jiwa”. Namun dalam semua fenomena problematik yang tak bisa dijelaskan, maka sudah pasti ada satu faktor yang terlilit disana: Budaya! Yup. Saat anda tak punya kata atas sesuatu yang dirasa tidak pas namun tampak biasa – kita sedang berhadapan dengan budaya.
 
Disinilah kita suka melupakan persoalan essensial relasi cinta; yang tidak hanya terdiri dari ranah emosional (psikologis) atau ranah interaksi faktual (sosial), namun satu ranah tepat diantaranya; praktek kultural relasi cinta. (memahami ini membutuhkan 3 bulan penulisan, ratusan jam bacaan, percakapan pedas 2 jam dan lebih dari 150 halaman terbuang – semacam curcol, lupakan!). Lalu ada apa dengan Budaya? Praktek keseharian relasi cinta?
 
Persoalan yang melekat pada ‘budaya’ adalah kekuatan normalisasinya. Kekuatan normalisasi budayalah yang menjadikan sulit untuk menjelaskan persoalan riil yang ada dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, budaya mengandung nilai-nilai abstrak yang sulit untuk dibingkai menjadi persoalan faktual yang kongkrit. Kalo tidak sulit, ya.. tidak akan butuh sampai lebih dari 25 tahun untuk menemukan kata “sexual harrasment” ditengah praktek sehari-hari yang diwarnai pelecehan dan rasa tidak nyamannya perempuan di seluruh dunia tanpa mampu mendefinisikan atau menyatakan ‘tidak’ karena yang sosial tidak melihat ada yang salah disana. Atau berbagai fenomena sosial yang hingga kini masih tandatanya **).  Sayangnya, kita senantiasa membutuhkan sebuah fenomena sosial (fakta sosial) untuk membuat manusia berbondong-bondong menganalisisnya dan mencari solusinya – kita selalu telat memahami imbas budaya yang tercipta dari keseharian manusia. Sebab persepsi sosial menjadi prasyarat atas apa yang disebut realitas.  
 
Tidak pernah ada yang salah pada budaya, sebab segala hal dapat menjadi biasa dan seharusnya tanpa kesadaran manusia. Tak tampak namun berimbas luas dan memberikan tekanan pada tiap sisi kehidupan. Ini bukan semata norma dan interaksi di ranah sosial yang kemudian bisa dipisahkan sebagai ‘yang sosial’, namun melalui praktek budaya-lah realitas mengada. Meresap pada setiap proses berpikir dan sendi perilaku manusia.
 
Praktek keseharian senantiasa beriring dengan terbentuknya budaya. Budaya adalah jantung kehidupan. Pintu realitas. Maka tanpa disadari, dalam sebuah relasi asmara, keseharian dan praktek relasi tersebut merajut budaya, menanam makna, dan menyiptakan kehidupan. Terlepas anda mengatakan bahwa relasi itu tak bermakna, dangkal, artifisial, bahkan kewajiban, namun praktek keseharian atas relasi tersebut melantangkan sebaliknya - ia menyiptakan kehidupan! Secara otomatis, praktek keseharian membangun denyut kehidupan, dimana makna mengakar tanpa sadar membangun realitas. Realitas nyata berjaring makna bagi yang terlibat secara sukarela maupun tidak didalamnya.
 
Tresno jalaran seko kulino, kata tetua dapat dilihat berbeda dengan proses bergeraknya ‘budaya’. Ini bukan lagi persoalan behaviorisme dan kebiasaan, namun jejaring makna. Dan tak pernah ada yang mampu ‘mendireksi’ makna. Bingkai makna adalah kuasa subyektifitas, yang celakanya turut membangun realitas.
 
Maka sekuat apa pun anda mengatakan lantang Anda tidak lagi menyintai, namun tetap kembali padanya, kata-kata anda akan menyusun makna yang berbeda. Goffman dengan tersirat menuturkan dalam dramaturginya – makna yang selalu datang terlambat.
 
Demikian kita akan ‘merasa’ saat ia berubah, berjarak, berselingkuh, tulus/tak tulus, dan deretan label “cuma perasaan” sebagai hal yang benar adanya. Sebab praktek keseharian dan jejaring makna tidak tercipta sehari dua. Romantika bergeser dengan equavalensi bangunan makna, dan disokong oleh praktek kultural yang lebih luas. Praktek kultural (baca. keseharian) cinta, membangun yang ‘ada’, ‘nyata’, ‘riil’.
 
Dengan demikian, saat dalam relasi cinta tampak dan terasa demikian kompleks. Seolah ‘it’s not fine, but there is nothing wrong to fix’, kita telah terjebak ditengah pergeseran makna dalam bangunan praktek kultural relasi. Dalam ketidaksadaran praktek keseharian, realitas mengada menampakan diri.
 
Yang tampak bukan sesuatu yang bisa dihapus begitu saja! Dengan demikian relasi asmara bukan sebatas persoalan emosi. Praktek kultural cinta telah membangun realitas, sebuah kehidupan.
 
Dan yang menarik mengenai kehidupan, adalah waktu. Ia menghadirkan untaian masa lalu, masa kini dan masa depan, sekaligus menghilangkan kehadiran masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ia adalah praktek keseharian. Praktek kultural relasi menyiptakan realitas hidup yang nyata. Relasi menjadi kehidupan yang mampu mempararelkan semua waktu.
​
Tidak heran kemudian, kita merasa cinta tak mengenal waktu, menghentikan waktu, atau menyiptakan (waktu) masa depan. Dalam dinamika kehidupan, semua waktu bertemu.
 
                                                                               ____
“ya.. hm.. yah.. tapi kita tidak dapat menyalahkan hati, kan?... meski banyak yang tidak terpahami... ya... begitulah”  ia memaparkan justifikasi tanpa disadari, seolah berdialog sendiri. Ia menatapku. Aku meraih tangannya dan meremasnya kecil. Ia tersenyum, namun di balik peringai yang baik-baik saja dan entengnya nada bicara, aku tahu masih terus ada airmata bercucuran di bilik kamar mandi dan sayat sepi tiap malam yang mengenyah lelap dari peristirahatan. Hati memar yang hanya terasa kian menjalar bagai infeksi.
 
Aku kehabisan kata. Memahami bukan hal yang mudah menyusun ulang sebuah konsep realita. Simalakama. Andai realitas yang hilang miliknya saja, namun ia tahu juga milik anak-anaknya. Dan faktanya keseharian hidup bergantung penuh pada realita.  Andai relasi hanya persoalan hati, namun kini tahu kehilangan realitas dapat menghabisi segalanya.
 
 
 
 
Belakang teras, saat lelap bersyarat kata-versi pendek. 18 maret – 06 april. 2016 
 
 
 
*) Tak banyak yang memahami kompleksitas kehidupan orang tua tunggal. Terlebih dalam budaya kita yang memang belum familier dengan kehidupan orang tua tunggal. Belum ada jaringan makna dan struktur sosial yang menyangganya. Struktur sosial belum siap menerimanya. Ambil contoh budaya menitip anak pada nenek/kakek/saudara. Ini bisa dilihat bahwa ranah keluarga dan pekerjaan demikian dipisahkan. Menunjukan setidaknya struktur sosial dalam ranah institusi tidak memberi ruang, dan kuatnya nilai heteronormatifitas bekerja dalam menyiptakan jejaring makna- “gak elok bawa anak ke ruang kerja – kaya gak tahu tempat saja!”. Selain gambaran budaya (kolektif) atas bekerjanya institusi kecil berlabel ‘keluarga’, anak harus berada dalam keluarga, maka menitipkan anak pada nenek/kakek/saudara meletakkan anak dalam institusi tersebut. Institusi yang diakui struktur masyarakat.
 
**) sebagai contoh kesulitan untuk menanggulangi persoalan HIV/AIDS di Papua yang belum tuntas, ditambah fenomena penyebaran HIV/AIDS yang (aneh banget masih banyak yang kaget) ternyata tidak berada di lingkup primer (prostitusi) tapi berada ditengah keseharian masyarakat berpendidikan tinggi – membuat patah semua upaya penanggulangan yang berbasis pada ‘pendidikan’. –Budaya-.
 
 
***) Ini nih sama kaya membedah media digital dalam kehidupan masyarakat, yang kalo mendekatinya dengan ilmu komunikasi kita melepaskan persoalan imbas ke masyarakatnya dan kalau mendekati dengan ilmu sosial kita melepaskan persoalan medianya. Harus ada pendekatan baru! Demikian kata Holmes, untuk menyatukan semua itu. Kenapa begitu? Ya sederhana. Faktanya fenomena sosial dan persoalan-persoalan sosial terus bergulir dengan atau tanpa basis teori dan analisis-analisis para akademisi, lalu apa gunanya pendidikan cuiiii... kalau tidak bisa dipergunakan dalam kehidupan? Contoh: pemasaran dan transaksi ekonomi sekarang didominasi melalui media sosial, pasar terbesar yang terletak di anak muda menggunakan transaksi melalui instagram, yang faktanya uang beredar disana, kaum muda sibuk selfie dan endorsing produk via akunnya. Lalu fenomena ini mau didekati dengan kedasyatan teori atau ilmu pemasaran konvensional gitu? Yaaaah... udahlah.. gak nyambung ya.
 

Comments
    Picture

    on this blog

    ​Just ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world.

    I'm a dreamer, for life offers only thus. I'm a wanderer, for i believe all possibilities

    ​I'm single, though I'm rarely available. I'm a fiction in the reality of the mind.

    RSS Feed

    Archives

    December 2020
    October 2020
    August 2020
    June 2020
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    January 2019
    July 2017
    June 2017
    March 2017
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    April 2016
    August 2015
    February 2015
    July 2014
    April 2012
    December 2010

    Categories

    All
    Abuse
    Arymami
    Bahagia
    Berserah
    Birthday
    Borneo
    Buku Sejarah
    Camus
    Catatan
    Catatnan
    Cinta
    Coffee
    Death
    Delusi
    Dianarymami
    Eglish
    Extramaritial
    Gender
    Happiness
    Happy
    Heartbreak
    Humanity
    Jingga
    Kalimantan
    Kekerasan
    Kekerasan Seksual
    Kesehatan
    Keterputusan
    Kurban
    Lebaran
    Lelaki Tua
    Life
    Love
    Maaf
    Makna
    Marriage
    Medis
    Melepaskan
    Menghargai
    Menulis
    Mudik
    Note
    Notes
    Operasi
    OR
    Parenting
    Penyakit
    Percakapan
    Pulang
    Rasa
    Relasi
    Relasi Keintiman
    RS
    Sakit
    Sejarah
    Seks
    Single Mum
    Single Parent
    Sisifus
    Sukamara
    Takut
    Tour De RS
    Valentine
    Violence
    Waktu
    Wedding

  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About