Tahun Baru. Sudah hampir 3 tahun tanpa kreasi. Tidak lagi ada catatan pendek yang terlempar dan tersimpan di alam maya. Tidak ada lagi wacana yang terpantik dalam ruang-ruang imajiner yang menggoda. Dalam perbandingan kala dulu, ada perbedaan yang drastis. Dulu, hampir setiap minggu ada sebuah catatan. Lalu berhenti begitu saja. Kata, wacana, atau mungkin juga sebagian jiwa lenyap entah kemana. Aku mengalami masa di mana bahkan diam pun kehilangan makna.
Aku pernah bertanya 5 tahun yang lalu mengenai diamnya para manusia diumur “tanggung” (tak tua tak muda itu). Bingung membayangkan apa mereka terlalu sibuk, terlalu larut dalam keseharian, terlalu lelah, atau sudah selesai dengan berbagai hal yang perlu diperbincangkan. Sampai pada titik ini, aku sendiri tidak bisa memastikan; tapi aku memiliki satu tesis; yang ijinkan aku paparkan melalui refleksi diri. Padaku: ![]() Mendapatkan gelar doktor. Lalu apa? Kala menjalani studi.. ungkapan "normal" yang sering kali terdengar adalah nanti saat kelar, maka kau akan lega, beragam kesempatan baru akan terbuka, doktoral adalah sebuah tiket "lain" kehidupan.. dan tentu saat sampai di sana aku mendapatkan begitu banyak ungkapan selamat dan ratusan pesan apresiasi dapat mencapai titik pendidikan yang masih belum dapat dinikmati semua orang. Banyak nasehat dan pesan yang akan didengar kala berupaya menyelesaikan sebuah tahap pembelajaran. Bagiku, sepanjang berjuang menulis "suara" yang kuanggap perlu didengar, aku hanya membayangkan dan tidak sabar mengungkapkan kelak pada titik kelulusan: "I did it" dengan rasa yang aku asumsikan lega tiada tara. Aku bahkan telah mempersiapkan berbagai foto perjalanan dengan pose "liberasi" sepanjang aku menulis disertasi, pas untuk sebuah caption :"I did it", suatu ketika nanti. Satu tahap sudah terlewati, sekali lagi. Yeaaay! Seharusnya gembira dan excited! Tapi hingga saat ini, aku hanya mampu menghela nafas panjang. Rasanya campur aduk. Overwhelmed, mungkin adalah kata yang tepat. Sehingga semua tampak "surreal", memantik introspeksi yang tak sederhana. Surreal.. memahami bahwa setelah lebih dari 20 tahun pendidikan ternyata aku bahkan belum melangkah pada anak tangga pertama sebuah perjalanan akademik. Surreal memahami bahwa setiap tahap baru memang membutuhkan versi diri yang baru. Surreal memahami ada "tugas" berbeda dalam upaya manusia menanusiakan manusia. Surreal menemukan begitu banyak kegembiraan tertuju padaku yang mendadak memantik tanya mendalam tentang bahagiaku. Berasumsi bahwa selama ini ia menjadi bagian dari perjalanan studi dan raihan akademik. Bertanya-tanya apa selama ini aku pernah benar-benar memperhatikannya, atau bahkan apa sudah mulai melangkah meraihnya? Mengupas domino "menuntaskan sebuah janji" mendapatkan "tiket" mendadak meledak keberbagai arah. Cerita untuk lain waktu. Kali ini aku hanya ingin berbagi rasa syukur dan terima kasih yang sempat tertuang dalam pengantar disertasi. Sekaligus mengungkapkan rasa syukur dan terimakasih yang tak terhingga buat semua pihak yang mungkin tidak tersebut dan telah bersedia menjadi bagian dari perjalanan ini. - Yogya.30.07.17 “Damn! I really really miss him. Damn! F@$^! #%@$!(#&%@#%!!”. Segala umpatan lainnya mengikuti bersama sesak hampa yang tidak tertahankan, dan kenangan yang menusuk di depan mata. Menghela nafas, hampir putus asa. “Ngapain sih gw putus segala?!. Pleeeease remind me again”
“You want a future and he cannot give that”, ungkapnya lempeng. “Hm.. Ya true.” Future? Future apaan? Hidup gak punya struktur kok membutuhkan masa depan. I really miss him. “Okay.. Still not working. Give me another reason.” “He deceived you all this time, feeding dreams he apparently won't do. He just want to stay this way, his comfort zone, while you want more. ” “Lied. True. Broken promises. True.”. Jeda. Menghela dalam rasionalisasi. “Still not working. Hit me again.” “You want to put an end to their pain.” -hening- “You cannot accept the reality that you will be hurting someone else forever!” “Yup. Binggo!” “Did I do good?” “Yeah. That does it. Hope it last... for a bit.” (percakapan dini hari, bulan Juni) ![]() Kematian adalah hal yang menyakitkan. Buat mereka yang di tinggalkan. Aku menyaksikannya dalam kematianku sendiri. Tepat sebelum aku di’lempar’ kembali. Dimana waktu tidak lagi mengada dan semua terlipat sempurna. “Tidak. Belum saatnya”, ujarnya dengan senyum indah sembari melemparkanku kembali di tengah kehidupan fana. Tepat di dinginnya meja operasi UGD, penuh dengan lampu sorot yang menghantam wajahku. ![]() “besok pagi di kampus?... aku baru kelar operasi. Ingin sekali menangis dalam pelukan seseorang. Can I?” 19:11 - 26.09.2016 - Tanganku berupaya menggapai tubuhnya, namun gagal. Mencoba meraih siapa pun yang mungkin bersedia menggenggam tanganku. Tanpa hasil, kugenggam erat lipatan kain hijau pada ujung bidang meja setengah meter itu. Baru kali ini aku berada di atas meja operasi dengan sadar berteriak kesakitan dengan lantang tiga kali. Aku bayangkan bila ada orang diluar ruang operasi itu, pastinya akan bertanya-tanya macam penjaggalan apa yang sedang terjadi di dalam. Tubuhku sudah gemetar lemas dan kedinginan dengan darah yang bercucuran dari belakang kepala. Aku hanya membayangkan ini menjadi pembedahan ala militer di medan perang. Aku hanya mampu melihat detik jam yang kian melambat berharap semua segera tuntas. Berharap mereka segera menutup dan menjahit bedahan; membayangkan mereka berkata “maaf, kita akan mengulanginya dengan bius total kali ini”. Tapi itu tidak terjadi.. kurasa ada benarnya para ahli bedah dilatih tidak mempedulikan erangan, tangis dan teriakan ‘obyek’ bedah. Mereka diharuskan tenang melakukan apapun yang harus mereka lakukan; sebagaimana mereka jelaskan pula “darurat” dalam dunia kedokteran adalah bila membicarakan detik atau menit menuju kematian. Sepanjang tanda-tanda kematian itu belum dekat, tidak jadi soal bila organ atau syaraf apa terluka - toh nanti bisa dibenerin.
Terlalu mudah berkata dan menemukan pernyataan: 'bila dalam hubungan saya mengalami kekerasan, saya akan meninggalkan relasi itu'. Faktanya tidak pernah sesederhana itu. Statistik menunjukan bagaimana tinggi angka kekerasan dalam relasi. Bahkan di Indonesia, bisa digeneralisir bahwa hampir semua orang mengalami kekerasan dalam relasi. Kenyataan yang hadir adalah: Pelaku relasi bertahan di tengah kekerasan. Kekerasan hanya terus berulang. Apapun bentuknya, frekuensinya, maupun alasannya.
![]() I couldn't treat this, like any usual forum. Speaking about shifting intimacies intertwined with schizophrenic society were things I could once only dream about. Over a decade of trying to understand love and intimacy, I felt like it was put to the test. To add to that, this was still an ongoing research - abundance of results of which coined more questions than answers. Honestly have shred me weary, to the point where I question why and what this journey is about. I was insanely nervous; I don't know wether it was because I had to present it in English or wether I had to speak about something I had been so passionate about, or maybe a mixture of both. I was concerned that I wouldn't be able to transfer my understanding on schizophrenic society; how to give out deleuze without being deleuzian, without using terms like body without organs as his main foundation of reality, or terms such as lines of flight, delirium, and molar-unmolecular dynamics in society. Concerned about our sense and tendencies of categorizing and dissecting love to reduction denying the shades of intimacy. Afraid I wasn't able to give voice to the voiceless (no matter how the paradox it may be, still remembering spivak) to those who had shared their love journeys and lives with me. To my surprise the room was filled, and each person at some point took words out of me. And to my surprise the topics I was anxious about were not the ones I should be worried about. Discussions have triggered new areas in advancing this research, critics and questions enlighten me to what I should be working on. And most of all.. I was overwhelmed to so many opportunities, forums, people, and individuals who constantly thrust this study and letting me learn even more and more. And today, my heart was overflowing with gratitude for those who willingly came and immersed to what I passionately study, *your presence meant the world for me* and even more had made me fall in love with love once again, blessed by this doctoral journey, a journey that felt like a dread for quiet sometime, just halted to see rainbows and flowers on a green field. #overwhelmed #thankyou #thankyou4yoursupport#thankyou4coming #thankyou4teachingme#skizofrenicsociety #schizosubjects #multiplerealities #doctoral #doctoraljourney
|
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
December 2020
Categories
All
|