Sayangnya itu tidak bertahan lama. Saat seorang kawan menghubungi untuk berpartisipasi dalam diskusi mengenai kekerasan seksual yang marak, saya terpaksa memikirkannya. Saya tak mampu menolak permintaan kawan satu ini (dan kalau Anda mengenalnya, Anda pun akan merasakan hal yang sama.. sebut saja dia memiliki aura persuasi yang tidak biasa). Yang terlintas di kepala saya, hanya.. kebingungan dengan segala keterputusan yang ada. Ditengah tumpukan refrensi tema ini yang terpaksa menggeser buku-buku tentang keintiman, nama Deleuze dan Gauttari (D&G) mengintip di sudut meja. Dan yang memukau tentang D&G adalah cara memandang fenomena sebagaimana adanya (as is). Seolah memberikan tanda.. Terinspirasi oleh karyanya yang sebagaimana adanya, saya memulai dengan ‘as is’: Kebingungan.
Ketidaksadaran: Feminisme sebagai Keseharian Kekerasan seksual tidak pernah sekedar aksi kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan ekspresi politik seksual - dimana ada dominasi gender yang difungsikan untuk mempertahankan status quo. Kekerasan seksual tidak pernah semata kekerasan, namun tindakan seksual dimana seksualitas itu sendiri merupakan bentuk kekuasaan. Maka membicarakan konsep kekerasan seksual tidak dapat lepas dari membicarakan rangkaian tema politik seksualitas, konstruksi seksual, relasi kuasa, dan ketimpangan relasi gender. Saya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memikirkan bagaimana persoalan yang seluas dan sekompleks itu dapat dipaparkan secara sederhana dalam waktu yang demikian singkat. Permintaan kawan persuasif saya adalah membahas konsep (berarti membicarakan ranah teoritik!) dengan tujuan diskusi adalah mencari akar persoalannya! Whuiiiihhhh.. beraaaaatnyaaa! Belum lagi saya diapit oleh dua narasumber (Komisioner Komnas Perempuan & Aktifis gender) yang jelas memiliki limpahan data, jam terbang, dan luasnya wawasan mengenai topik yang hendak didiskusikan. Apa pula yang bisa saya sampaikan untuk memberikan kontribusi dalam persoalan ini? Apapun itu, saya paham intinya sesederhana gabungan tiga kata ‘relasi-kuasa-gender’. Namun tidak ada yang sederhana dari perkembangan inter-relasi kerja tiga konsep itu (baca:feminisme). Rasanya tak sanggup. Seseorang yang seumur hidupnya belajar mengenai feminisme pun tidak akan benar-benar katam berbagai aliran pemikiran feminisme dari radikal hingga postmo, apa lagi saya? Mengamini (baca: merasa mengalami hal yang sama) seperti yang dikatakan mbak Dewi, (dengan bahasa saya sendiri) membaca Simone de Beauvoir (sosok pemikir feminisme eksistensialis) aja gak tuntas-tuntas, nih MacRobie (sosok pemikir post-feminisme) dah bikin buku baru aja. Lagian memaparkan pemikiran memaparkan pemikiran, teori, konsep-konsep megah yang ada didalam buku-buku babon itu, rasanya percuma. Saya yakin semua juga sudah paham gender itu apa dan relasi kuasa gender apa. Faktanya.. Kita mudah dan fasih bicara tentang kekerasan, tentang seks, tentang seksualitas, bahkan gender... meski aksi-reaksi di tengah masyarakat jadi tidak masuk akal. Semua konsep dan teori yang saya bayangkan perlu untuk dipaparkan, tampak tidak tepat untuk disampaikan. Saya benar-benar kebingungan dan merasa tak memiliki kata untuk dapat memaparkan bekerjanya ketimpangan relasi kuasa gender secara kontekstual dalam menanggapi kekerasan seksual. Mayoritas fasih bicara tentang kekerasan, tentang seks, tentang seksualitas, bahkan gender, namun senantiasa gagal saat harus meletakannya dalam lanskap hubungan kuasa dan relasi sosial. Bahkan nuansa enggan akan muncul saat bicara relasi kuasa gender. Jujur deh... siapa tidak enggan, saat bicara interkoneksi relasi kuasa dengan fenomena sosial? Terlepas dari segala jenis ketimpangan (berbasis gender) yang mengemuka, terasa, dan berkelanjutan, ada sebentuk normalisasi untuk menghindar, mengabaikan, dan bungkam saat bicara relasi kuasa gender. Fakta normalisasi ini telah membuat mayoritas dari kita kesulitan untuk meletakan fenomena sosial dalam persepsi ketubuhan berbasis gender dalam dinamika relasi kuasa kehidupan sosial. Jujur (penuh malu) saya pun merasa enggan membedah relasi kuasa gender. Tidak hanya enggan tapi merasa begitu tak berdaya mengurai berlahan kompleksitasnya. Merenung, merefleksi, mengkritisi dan mencaci diri atas ketidak berdayaan ini... saya menyadari.. Seluruh kebingungan dan ke-enggan-an itu sendiri adalah bukti konkrit opresi hasil dari politik seksualitas! Kita semua sudah di’arah’kan untuk terbungkam merasionalisasikan kondisi terkait gender kita. Frustrasi tak memiliki kata (dan juga logika) adalah realitas yang faktual. Hasil dari proses panjang politik seks. Contoh paling sederhana, adalah penggunaan kata ‘saya’ dan ‘aku’ yang dihilangkan dalam keseharian kita. Kita tidak pernah diajarkan melihat identitas orang sebagai orang itu sendiri – ‘dia anaknya si A, dia itu suami dari si B,’ dst. Dalam proses ini pula subyektifitas dihilangkan. Disini sebenarnya tidak perlu memahami rangkaian konsep dan sejarah pemikiran panjang tentang bekerjanya ketimpangan relasi gender. Intisari feminisme adalah pada penyadaran atas ketimpangan. Anda tidak perlu katam pemikiran untuk menyadari ketimpangan. Faktanya tidak ada feminisme yang tidak kontekstual pada era dan kondisi sosial dimana ia dilahirkan. Mengetahui ketimpangan, tidak membutuhkan wawasan teoritik bak disertasi. Anda bisa berupaya menghindarinya, mengabaikannya, menafikannya, tapi anda tidak mampu menghilangkannya, sebab anda pasti akan merasakanya. Tidak ada yang tuna rasa pada ketimpangan. Namun fakta bahwa ketimpangan tersebut tidak tampak berhubungan dengan seksualitas dan gender, adalah bukti konkrit bekerjanya politik seks. Ada persoalan mendasar ketika semua orang sudah paham tentang gender, namun seolah tidak terhubung sama sekali dengan praktek keseharian kehidupan sosial. Alfa bahwa feminisme merupakan bagian keseharian yang erat dengan identitas diri sendiri. Darurat Kekerasan Seksual Belum lama ini kita masuk dalam kondisi “Darurat Kekerasan Seksual!” – secara kontekstual, publik dan negara bereaksi karena dipantik oleh kekerasan. Kejahatan. Pembunuhan. Kasus Eno menjadi puncaknya (tidak perlu saya paparkan kembali apa yg terjadi disini). Dan kita melihat seluruh pihak terlibat secara emosional dan menyerukan kemarahan dan tuntutan atas keadilan! Keadilan. Kita bereaksi atas kejahatan, pembunuhan, aksi ‘biadab’ kemanusiaan. Semua bereaksi atas kekerasan dan kejahatan. Tapi andai pembunuhan dan aksi ketidakmanusiaan tersebut tidak terjadi.. dan kita ditinggalkan dengan aksi kekerasan seksual. Akankah ditanggapi? Faktanya kekerasan seksual tidak pernah jadi masalah! Kasus semacam itu selalu lenyap dan tidak dianggap penting. Apa perlu bukti? Kasus YY itu sempat hilang lho dari masyarakat kalau tidak dipaksa kembali masuk media. Kasus kekerasan di JIS tahun 2014? Pemerkosaan masal pada Mei 98? Apa kasus budak seksual 65? Kejahatan dan kekerasan seksual hanya mengalami peningkatan, tanpa ada upaya untuk menumpasnya. Jadi darurat kekerasan seksual?! Darurat kekerasan apa bener darurat kekerasan seksual? Makna darurat ini apa bagi siapa? Darurat! yang diserukan para feminis (penggerak keseteraan seksualitas dan gender) karena negara tidak hadir menanggapi kerja kekerasan berbasis prasangka gender, etnisitas, suku, ras, agama, aliran politik yang dapat termanifestasi kekerasan dan kejahatan seksual. Darurat! yang diserukan publik adalah untuk kejahatan, pemerkosaan dan pembunuhan. Kontekstual, negara bereaksi menanggapi tuntutan efek jera dan keadilan. Kontekstual hanya terpantik karena terlibatnya ‘anak-anak’ (ada konstruksi berbeda untuk status ‘anak’, ‘anak perempuan’, dan ‘anak lelaki). Tapi darurat kekerasan seksual? Andai memang ini bicara tentang darurat kekerasan seksual, andai masyarakat memang begitu tergerak dan terhubung dengan persoalan kekerasan seksual...Bagaimana mungkin ada viral meme yang bermain dengan kata “Masih banyak cangkul”! Kekerasan seksual tidak pernah dianggap penting! Pada tataran hukum kita sekalipun kekerasan seksual selalu kesulitan naik keranah hukum (contoh: pemerkosaan dalam pernikahan, pelecehan lelaki kepada lelaki, kekerasan seksual tanpa penetrasi, atau penetrasi tanpa ketubuhan). Seksual – Seks – Seksualitas itu tidak pernah dipahami sebagai hal yang signifikan. Seksualitas dan gender selalu diabaikan. Dan disepelekan. Subyektifitas dan identitas telah lenyap dalam praktek keseharian. Seluruh pengetahuan, pemahaman tentang relasi gender tidak berkaitan dengan praktik dan implementasi keseharian. Mengendap dalam budaya. Dan satu hal tentang budaya adalah normalisasi dan ketidaksadaran dalam menyiptakan cara pandang. Masyarakat tidak memiliki kesadaran (lelaki dan perempuan) berperan dalam politik seks dan memproduksi kekerasan seksual itu sendiri. Cara pandang mengenai seks berinti pada dua hal: essensialisme (melihat seks itu sebagai bagian kodrati dengan demikian ajeg) dan konstruksi (melihat seks itu sebagai bagian dari ciptaan masyarakat dengan demikian dinamis). Saat seks dilihat sebagai hal alamiah, maka pemerkosaan itu terjadi karena lelaki memiliki penis (yang dapat tegang) dan perempuan memiliki vagina (berlubang). Seks sebagai hal alamiah dilihat secara heteroseksual (lelaki dan perempuan), dimana lelaki senantiasa ngaceng saat memiliki hasrat pada ke-elokan perempuan (yang memiliki lubang). Maka cara pandang seks sebagai hal yang alamiah ini menghasilkan ‘pemerkosaan sebagai hal yang wajar’, sudut pandang ‘tutupi tubuh kalian wahai para perempuan’, ‘jangan biarkan anak-anak perempuan sendirian’, dan kebiri untuk sebuah proses biologis tidak terjadi pe-ngaceng-an (yang sebenarnya tidak ada hubungannya). Kekerasan seksual dilihat dari sudut pandang alamiah adalah Mitos! Seluruh sejarah modern telah memaparkan kekerasan seksual tidak pernah sekedar persoalan tubuh dan seks. Saat seks dipandang sebagai konstruksi, maka seks dipercaya sebagai operasionalisasi hal yang alamiah. Operasionalisasi ini menjadi bagian dari konstruksi budaya. Sebagai contoh bagaimana maskulinitas dilekatkan pada sosok laki-laki dan feminitas dilekatkan pada sosok perempuan. Bahwa mengoperasikan kelaki-lakian maupun keperempuanan mengikuti bentukan budaya yang diciptakan. Maka cara pandang konstruksi, identitas ‘alamiah’ diwujudkan melalui simbol-simbol kultural. Misalnya lelaki itu maskulin tidak boleh menangis, harus kaya dan sukses secara ekonomi, maka ketidakmampuan/ketidakberhasilan untuk mengambil simbolisasi akan termanifestasi melalui kekerasan. Saat di India terjadi gerakan perempuan bekerja, maskulinitas lelaki ‘terganggu’ dan menghasilkan pemerkosaan masal sebagai bagian dari mengambil nilai maskulinitasnya kembali. Tidak berbeda dengan kasus YY di Bengkulu. Sebagai konstruksi maka seksualitas selalu berubah sesuai jaman. Seks menjadi dinamis sesuai konteksnya. Bila jaman dulu perempuan memiliki feminitas yang sempurna dengan diselir oleh raja, itu pun memiliki konteksnya. Kekerasan seksual dilihat dari sudut padang konstruksi menyesuaikan dengan dinamika perkembangan masyarakat. Bila maskulinitas dan feminitas dibekukan, maka kekerasan seksual semakin terduplikasi jenis dan jumlahnya karena dinamika seksualitas yang berlangsung di peradaban. Hasil pembekuan adalah keterputusan logika sebagai bagian dari konstruksi budaya yang menjadi hal mendasar dalam berlangsungnya fenomena kekerasan seksual. Seks sebagai konstruksi sosial inilah yang memenuhi sosialisasi pemahaman tentang gender. Saat gender mainstreaming dijadikan MDG, yang diharapkan masuk dalam tataran pemahaman dan sistem sosial. Kita mendapatkan kesetaraan gender hanya sebagai wacana. Kondisi kebingungan perempuan menikah atau mengejar karir membuktikan ini. Faktanya tataran praktis dunia karir menghilangkan kebutuhan ‘menjadi perempuan’ – menyediakan ruang menyusui sebagai ‘ibu’ misalnya (ibu saya tekankan sebagai konstruksi sosial juga) atau bagaimana laki-laki yang merawat anak disepelekan oleh publik. Cara pandang alamiah dan pembekuan seksualitas terus berlangsung, tanpa menyadari menghidupkan budaya relasi gender penuh ketimpangan. Persoalan tentang ‘cara pandang’ adalah hal yang kompleks. Proses berpikir dan konstruksi realitas tidak mampu lepas dari kekuatan bekerjanya budaya. Prostitusi merupakan contoh yang menarik mengenai cara pandang alamiah yang dipertahankan. Bahwa konstruksi maskulinitas adalah dapat ‘tidur dengan banyak perempuan’ (cara pandang alamiah ‘ngaceng’) banyak lelaki yang terus berdatangan pada prostitusi (atau sekarang lebih populer dengan selubung karaoke, pijat, dan spa). Seks dipandang terpisah sebagai kebutuhan ‘alamiah lelaki’ yang tidak berhubungan dengan konstruksi relasi kuasa. Konstruksi itu pun bergerak di para perempuan, bahwa perempuan penjaja seks itu berbeda dengan perempuan bukan penjaja seks, kemudian menormalisasi bahwa “lelaki memang begitu”. 'Pembelian' seks adalah bagian dari penguatan relasi kuasa gender dilepaskan dengan rasionalisasi seks sebagai kebutuhan dan penyedia seks sebagai profesional yang dibayar. Seksualitas bukan sesuatu yang diperjual-belikan! Semua seksualitas yang dikomoditi-kan merupakan intervensi identitas dan hak asasi manusia. Pembelian seks setara dengan perdagangan seksualitas yang mengintervensi hak menjadi manusia yang hakiki. Tidak pahamkah kita bahwa terus menghidupkan ketimpangan dan memupuk kekerasan? Kekerasan yang diserukan sebagai ‘hal yang terlalu menyakitkan buat kita semua’. Seluruh proses bekerjanya relasi ketimpangan gender bisa terputus. Bahwa dengan beberapa ratus ribu orang yang menikmati seks menghidupkan kekerasan seksual, dan membunuh ‘identitas’ tidak saling terkait. Tidak menyadari politik seks bekerja. Sama terputusnya dengan orang yang sibuk bicara kesetaraan sembari membuat meme mendiskriminasi dan menstereotype seksualitas. Atau anak yang mengenakan baju “mantanmu bekas kimcilku” sembari menyerukan hentikan kekerasan seksual. Disini, sedih mengetahui bahwa gender dipahami sebagai pembedaan dan bukan perbedaan. Keterputusan sebagai Konstruksi Budaya Ada keterputusan pemahaman mengenai gender dan politik seks dalam implementasi keseharian masyarakat. Secara faktual semua orang enggan bicara gender (yang makin tidak jelas), kita bisa mudah menemukannya dalam candaan orang dalam mendiskriminasi dan membingkai seksualitas –perempuan, gay, lesbian, ayah feminis, dstnya. Terlalu banyak yang malas berkomentar, menghindari, atau mengabaikan dengan bercanda mengenai persoalan ini. Bahkan perempuan! Andai anda masih mengira bahwa feminisme berarti sama dengan perempuan dan bukan ketimpangan. Pergerakan kesetaraan gender telah hancur dengan proses industrialisasi budaya, yang membutuhkan differensiasi sebagai alat untuk dia hidup ditengah masyarakat. Backlash, yang sempat diutarakan Faludi telah sempurna saat ini. Backlash yang sebenarnya sempat muncul pada 1920, untuk menekan posisi perempuan di ruang publik (konteks politik saat itu) ketika melihat posisi perempuan membahayakan (baca:menggoyahkan sistem dengan perubahan). Kini melemahkan ideologi persamaan gender dikuatkan untuk membedakan seksualitas melalui budaya. Bayangkan saja berapa banyak film yang sudah bicara mengenai ‘sedihnya perempuan tidak bahagia saat berada dipuncak karir saat tak memiliki lelaki disampingnya’! Seluruh nilai telah dipaparkan dengan menyiptakan differensiasi untuk kebingungan memilih feminitas dan maskulinitas, sekaligus menghilangkan nilai itu sama sekali. McRobie menyebutkan ‘dis-artikulasi’, dimana tidak lagi ada nilai yang diperjuangkan identitas seksual tertentu. Alhasil masyarakat masuk dalam kegamangan dan stress tingkat akut (faktual sih semua anak muda kita mengalami gelombang kegalauan). Hasil dari kegamangan? – Kekerasan. Ditengah era digital, kita masuk dalam sebuah tantangan baru. Kita terus mendorong realitas tanda sebagai opresi diversitas ketimpangan gender ada, dan terus mengada. Dimana budaya telah menggulirkan ketidaksadaran atas keterputusan logika dan fenomena. Kekerasan dan kekerasan seksual telah menjadi pola pikir, perilaku, dan budaya dalam keseharian kita. Ditengah ketidaksadaran ini, atau tepatnya ditengah bergulirnya budaya tidak sadar yang normalisasi kekerasan dan diskriminasi seksual, hanya sedih yang membayangi. Sudah dapat dipastikan.. jenis dan jumlah kekerasan seksual akan terus terduplikasi. Kesedihan yang sama dengan perppu kebiri (bukan pada jenis tindak hukumnya) namun legetimasi negara dalam menghidupkan logical fallacy -‘sesat pikir’ mengenai cara pandang seks pada masayrakat. Yogya. 10 Juni 2016. |
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
December 2020
Categories
All
|