![]() Kematian adalah hal yang menyakitkan. Buat mereka yang di tinggalkan. Aku menyaksikannya dalam kematianku sendiri. Tepat sebelum aku di’lempar’ kembali. Dimana waktu tidak lagi mengada dan semua terlipat sempurna. “Tidak. Belum saatnya”, ujarnya dengan senyum indah sembari melemparkanku kembali di tengah kehidupan fana. Tepat di dinginnya meja operasi UGD, penuh dengan lampu sorot yang menghantam wajahku. Mataku terbelalak. Tidak tepat kuingat berapa suster berbaju putih mengelilingiku. Bersorak. Monitor detak jantung telah kembali berdenyut tepat di dinding ujung kakiku. Semua tampak hablur. Tentu, selain mataku yang hanya mampu menatap disela-sela sorot yang menyengat. Semua sibuk. Giduh ruang UGD dipenuhi erangan manusia kesakitan kian membuatku kebingungan. Di mana semua tadi? Kenapa aku di sini? ‘Di mana aku?’ merupakan tanya puluhan kali berulang. “Adek di Yogya. Panti Rapih. Yogyakarta”. Tidak ada yang dapat aku cerna. “aku di mana?”. “Adek di Panti Rapih. Kota Yogya. Ingat apa yg terjadi?”. “Aku di mana?”. “Di Panti Rapih. Adik kecelakaan.”. “Apa? Di mana?”. “Adik kecelakaan. Adik namanya siapa?”. Hening. “Aku tidak tahu. Aku di mana? Namaku siapa?”. “Adik namanya Dian”. “siapa namaku?”. “Dian”. “Aku tidak tahu. Siapa namaku?”. “Dian. Tahu nama orangtua?”. “Tidak tahu”. “Ok. Diam dulu ya.. ini biar bisa dijahit..”. Aku diam dalam kebingungan. Berlahan mengamati genangan darah yang membasahi dada dan punggungku. Jarum dan selang masuk dalam berbagai vena. Kabel menjulur dari kaki dan dada. Aku melihat berbagai potongan kaca di palet samping meja operasi. “Iya.. Hallo Bapak.. Ibu.. Iya.. Ini di UGD. Tidak apa-apa. Tidak usah khawatir. Dian akan baik-baik saja. Ini saya sedang menjahit wajahnya...”. Baru menyadari bahwa wajahku memang tengah disulam seorang ahli bedah. Aku menyaksikan gerakan tangan dan benang panjang yang keluar masuk daging tanpa terasa dengan kengerian. Aku mengamatinya. Tidak dapat kusaksikan wajahnya dengan masker yang tertutup. Aku mencoba meraihnya. Tubuhku tidak dapat bergerak. Hanya jemariku yang akhirnya mampu meraih sedikit bajunya. Dia berhenti sejenak, menatapku. “Dokter namanya siapa?”. “Dian akan baik-baik saja”. “Dokter namanya siapa?” aku memperkuat genggamanku. “Terimakasih... terimakasih”. Ingin kupastikan ia paham rasa syukur yang deras mengaliri tubuhku. Ia tampaknya memberikan kode pada beberapa asisten yang segera menggenggam tanganku dengan senyum hangat. “Terimakasih... dokter namanya siapa?”. Dia memintaku diam sekali lagi dan mulai memaparkan penjelasan.. “Ini bibir Dian hilang, jadi harus saya tarik kulit dari dalam untuk membuat bibir ya. Untungnya lidah tidak terluka. Coba di buka lagi mulutnya, saya sobek dulu dagingnya ya. Jahitan dagu nanti akan cukup berbekas, karena potongan kaca yang masuk terlalu banyak. Rahang nanti akan nyeri, karena tadi baru kami sambungkan...” Penjelasannya kian samar. Benakku hanya dipenuhi tanya kenapa alam jadi berbeda. Dadaku mulai nyeri tak terkira. Nafas kian sulit terhirup. Dan kalimat terakhir yang kuingat di ruang UGD itu hanya “Pompa dadanya. Kasih Oxygen lagi...”. Rasa dinginnya luar biasa, aku menggigil. Hilang. Aku kembali terbangun kala semua tubuh dibalut perban. Dengan seorang suster yang sedang menggunting sobek baju dan celana yang kukenakan. Membersihkan dan membuang semua bukti darah yang berlimpah di sana. Sisa-sisa minggu di rumah sakit, hanya memori tentang lelap dan perjalanan dari satu mesin pemeriksaan ke mesin lainnya. Tidak pernah kuceritakan, dalam hari-hari itu, aku berulang bemikirkan ‘kemana dunia yang pernah kusinggahi?’. Tanpa benar mampu tuntas mengingatnya, direnggut kenikmatan morfin yang menjadikan segala hal bagai delusi. -- Diriku belum pernah cerita tentang apa yang terjadi dalam ‘kematianku’. Aku bisa saja cerita tentang alam yang baru, tentang memasukinya dengan tubuh yang kedinginan, tentang bagaimana aku terbangun disana, tentang apa yang kutemukan di ruang pertama, tentang sosok-sosok yang kutemui, tapi untuk berkisah tentang apa yang terjadi di perjalanan alam itu.. hmmph... *nafas panjang*... mungkin tak ada kata. Aku juga tidak hendak bercerita tentangnya saat ini. Ada alasan yang rasional dan irrasional disana. Pertama, aku tidak berani. Tidak ada yang benar-benar bisa berkisah tentang pengalaman mati, atau dunia kematian. Itu misteri. Titik. Kedua, aku tidak cukup yakin apa itu kematian. Dalam keseharian kita, kita mengenal mati suri. Tapi mati suri juga belum tentu kematian. Bukankah itu hanya tubuh yang berhenti beroperasi? sedangkan dunia kematian itu sendiri.. entah apa yang disaji. Ketiga, peristiwa yang berlangsung di ruang operasi jauh lebih dramatis dikisahkan. Kita makhluk dramaturgi dan naratif. Dan juga lebih mudah mencerna apa yang dapat di pandang mata. Ke-empat, alasan irrasional yang mungkin paling benar; aku belum mampu menceritakannya. Kematian (suri)ku tidak lama. Setidaknya dalam hitungan waktu dunia yang rasional.Tidak tahu tepat berapa lama waktu aku ‘hilang’, namun nafas dan detak jantungku sudah tiada saat aku dibawa ke UGD pagi itu. Validasi atas kematianku terbenarkan dengan sendirinya; di tengah keriuhan sorak ruang operasi UGD: kabel terhubung monitor detak jantung dan oksigen yang tidak henti dipompa. Satu kalimat menegaskannya: “Tolong hubungi orang-tua-nya, sudah dapat terselamatkan dan hidup”. Singkat, padat, jelas. Aku sempat mati. Mati suri istilah kita. Konon katanya, bagi orang yang pernah mati suri, hidup akan mendadak ‘berbeda’. Sungguh kala itu memang aku masih terlalu muda untuk menganalisanya. Stereotipe yang ada juga menghentikanku memikirkannya secara mendalam atau menceritakannya. Entah kenapa ada stereotipe yang melekat bahwa mereka yang pernah mengalami mati suri akan mendadak religius. Di tengah gamblangnya diriku yang jauh dari definisi religius yang diamini, aku jelas tidak berani merusak stereotipe yang terbangun ini. Perjalanan ‘hidup’ orang berbeda-beda, tidak ada rumus pakem di sana. Kuanggap saja itu pengalaman sekilas, meski secara diam-diam menjadi senang menyelami cara sudut pandang orang lain atas hidupnya. Mungkin semacam katarsis dari kekaguman atas keberagamannya. Sebuah diversitas kehendak bebas dalam ‘garis perjalanannya’ (fate). Aku sengaja tidak menggunakan kata ‘nasib’, karena ada kecenderungan kita untuk melihat nasib sebagai hal yang statis. Bingkai definisi ‘nasib’ tidaklah yang seperti kita bayangkan. Setidaknya dalam kesempatan ‘ketercerabutanku’, aku cukup yakin mengatakan ‘hidup bisa menjadi banyak hal, tapi yang jelas ia tidak statis!’ Bahkan bila itu menyangkut garis nasib dalam definisi kita yang terbatas. Dalam kematianku, aku merupakan kelompok yang ‘beruntung’ mengalami mati suri yang menyenangkan. Di beberapa literatur tentang mati suri, banyak yang mengalami sebaliknya. Pengalamanku secara garis besar dipenuhi kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian. Beruntung? Hm... entahlah. Beruntung dan sial hanya dikotomi kita. Yang jelas, aku tidak paham kenapa aku perlu menyaksikan dan mengalaminya.. sebab.. yaah.. kurasa memang kotak pandora tidak sebaiknya dibuka. Yang jelas... lepas itu.. hidup memang tidak pernah sama. Hidup jadi berat cuiiiyy!! Yang bisa kukatakan dengan pasti. Hidup (di dunia fana ini) adalah garis waktu, yang sangat singkat. Aku bisa mengatakan bahwa setiap manusia ‘diturunkan’ untuk sebuah alasan. Dan kita diberi waktu untuk mencari agar ‘siap’. Lepas itu... entahlah.. dalam pemaknaan yang terlempar padaku, menegaskan sekali lagi: pemaknaan yang terlempar padaku; aku hendak bertutur tentang garis waktu batas kematian dan konjungsinya... mencoba bercerita tentang apa yang ‘berbeda’ pada kesempatan hidup yang ke-dua. Kesempatan hidup ke-dua, andai anda punya, adakah yang akan kau lakukan berbeda? ---berlanjut--- Yogya.sleepless.170108. |
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
December 2020
Categories
All
|