“Damn! I really really miss him. Damn! F@$^! #%@$!(#&%@#%!!”. Segala umpatan lainnya mengikuti bersama sesak hampa yang tidak tertahankan, dan kenangan yang menusuk di depan mata. Menghela nafas, hampir putus asa. “Ngapain sih gw putus segala?!. Pleeeease remind me again” “You want a future and he cannot give that”, ungkapnya lempeng. “Hm.. Ya true.” Future? Future apaan? Hidup gak punya struktur kok membutuhkan masa depan. I really miss him. “Okay.. Still not working. Give me another reason.” “He deceived you all this time, feeding dreams he apparently won't do. He just want to stay this way, his comfort zone, while you want more. ” “Lied. True. Broken promises. True.”. Jeda. Menghela dalam rasionalisasi. “Still not working. Hit me again.” “You want to put an end to their pain.” -hening- “You cannot accept the reality that you will be hurting someone else forever!” “Yup. Binggo!” “Did I do good?” “Yeah. That does it. Hope it last... for a bit.” (percakapan dini hari, bulan Juni) ---
Juni. Dan patah hati! Duh ironi. Ini bulan Juni lho. JUNI. J-u-n-i. Juni. Dan ya... All great things happen in June. And need I not say: all queens are born in June! Juni. Bulan yang selalu membawa semacam nuansa riang. Bulan penuh keajaiban. Bulan perubahan. Pesta dan Liburan. Bulan dengan langit paling sempurna. Dimana musim panas mulai menyapa dan dingin malam mulai bertamu. Juni. Aih, Juni yang istimewa. Sapardi saja melantunkan ‘tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni.. tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni.. tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni”. Yah! Ini Juni. Dan Juniku yang ajaib tersisip dengan perihnya kekosongan di rongga dada dan lelehan airmata. Ada rindu yang memilih pergi.. tanpa kata (ah... sedih deh jadinya). Sejujurnya aku lantak tanpa aksara. (lalu ini nulis apa coba?). Demikian lantaknya, aku tak bisa berkisah, tak bisa tidur, tak juga bisa makan. Yah untungnya bulan puasa, jadi tidak harus berhubungan dengan pertanyaan kenapa bisa menghilangkan 3kg dalam satu minggu berjalan. Aku tidak punya daya. Seolah jiwaku telah mati dan tak mampu diresusitasi. Disjuncture realitas nyata dengan realitas psikis telah mengakibatkan semua menjadi sebaran ontis yang tidak mampu mengontologis. Aku hanya bisa mengutip kalimat Sapardi; “tak ada yang lebih tajam dari seru jam dinding itu!”. Aku jarang menemukan cinta. Dan dengan umurku yang hampir menginjak 40 (mayday mayday mayday.. ship is going down!!!), aku baru jatuh cinta dua kali. Ini bukan berarti aku tidak memiliki relasi keintiman. Aku jarang jatuh cinta tapi kerap jatuh hati. Dengan demikian juga memiliki “wall of fame: the man I loved before”, yah.. namanya juga Gemini, mau gimana lagi?. Bagiku jatuh cinta sangat berbeda dengan jatuh hati. Jatuh hati merupakan sejenis entitas infatious love maupun entitas passionate love kata Strenberg. (harus banget ya mengutip konsep? Cerita kaya orang normal aja bisa gak sih?). Putus dari relasi semacam ini tidak pernah mengakibatkan patah hati, sebab ia hanya bersifat partikular. Maknaya hanya hadir dalam peristiwa. Ia hanya mengakibatkan sakit hati. Putusnya relasi infatious love atau passionate love hanya membutuhkan substitusi. Ada sedih pasti.. dan segala ketidaknyamanan sebagai bagian dari transisi dan perubahan. Siapa sih manusia yang nyaman dengan perubahan? Keberadaan sang kekasih mudah lenyap dan hilang begitu saja. Menyisakan kenangan (bila ada) yang lucu-lucu. Paling lama tujuh hari juga udah gandeng lelaki lainnya (OhmaihGod... perempuan macam apa aku ini?!). Tapi .. itu bukan love. Love yang tanpa embel-embel istilah di depannya. Dalam definisi subyektifku; aku baru berani mengatakan cinta saat ada kebertautan jiwa. Semacam indera ke-6 yang terpantik hidup begitu saja; merasa dan tahu saat dia sedang mengalami apa, sedih, bingung, bahkan nakal. Perlu dicatat ini tidak lalu bersifat resiprokal. Ya normal-lah... tidak semua rasa itu resiprokal. Tapi saat indera ke-6 ini sudah bekerja, aku tahu aku sudah jatuh cinta, terlepas dia mencintaiku atau tidak. Dan saat aku jatuh cinta, aku jatuh hati setiap harinya. When I fall, I fall deep. Sudah. Gitu aja. Sulit bicara tentang fabrikasi pengalaman patah hati dan kelindan rasa. Bahkan sekedar upaya katarsis implisit sebagaimana ciri khas para akademisi yang berbalut dengan puluhan teori pun tak mampu kujalani.. (duh mbak... sadarkan kalo disertasi anda ini tentang cinta?? Hellooo...?). Pendekatan untuk patah hati (ya ellah... “pendekatan”, harus banget gitu teoritik?!) yang dominan diberlakukan di masyarakat senantiasa bersifat behavioural. Strategi “normal” putus asmara biasanya diwarnai dengan sejenis permusuhan untuk tidak bicara, tidak bertemu, dan tidak saling peduli. Mungkin itu juga kenapa ia disebut “putus” karena praktik keintimannya dihilangkan begitu saja. Semacam perayaan ketunggalan ego yang dipertontonkan. Lalu membawa simpulan: “waktu yang akan menyembuhkanmu”. Pendekatan ini cenderung manjur untuk mayoritas orang. Ini hanya perkara statistika yang menciptakan kurva normal cara “move-on”. Tapi tidak untuk sebagian kecil lainnya. Struktur kejiwaan yang mempengaruhi kecenderungan untuk melihat realitas, bagaimanapun menjadi pintu dan berpengaruh pada subyektifitas cinta. Struktur kejiwaan manusia yang berbeda-beda (lihat footnote 1) bertalian dengan pengalaman patah hati (lihat footnote 2). Dominasi populasi atas struktur kejiwaan juga secara general membingkai cara orang memperlakukan cinta (lihat footnote 3). Sebagai orang yang terhimpun hanya dalam 0,08% dari jenis struktur kejiwaan spesifik di populasi dunia (data 2014), diriku telah terjun dalam labirin neraka, yang akan berhadapan dengan rasa sakit hati sepanjang sisa hidupnya.. (yaelaah mbaknya... please deh!). Tentu setiap relasi keintiman cinta memiliki keunikan makna dan pengalaman tersendiri, sehingga definisi cinta menjadi elusif, subyektif dan menciptakan kompleksitas relasi rasa. Kutukan bagi struktur kejiwaan manusia yang didominasi oleh realitas konseptual alih-alih perseptual dalam menjalankan praktik keintiman relasi cinta. Makna jadi tidak pernah hadir secara kontekstual dengan apa yang di depan mata namun harus melalui konsepsi yang sudah tersusun rapi di kepala. Mungkin itu yang membuatku jarang sekali jatuh cinta. Satu buket bunga tidak akan membuatku melihat itu cinta, kecuali datang dari orang yang sudah masuk secara konseptual di kepala. Sulit mungkin dibayangkan bahwa relasi keintiman pertamaku kandas karena benturan konsepsi tentang kewarganegaraan (Gila cyiin... lu putus karena Pancasila??!). Aku tidak terlalu fasih menghadapi patah hati. Imbas dari putusnya relasi cinta. Mungkin karena aku jarang jatuh cinta. Bahkan bisa dikata diriku demikian perawan dengan hal terkait cinta (wooo yaa... wajar saja kalo skripsi-thesis-disertasi tentang asmara jadi lama banget garapnya!. Saranku kalimat ini dihilangkan saja sebelum para penguji membaca dan kau menggali kuburmu sendiri tak memiliki kompetensi bab relasi cinta. Pertimbangkan!). Bagiku patah hati tidak masuk akal untuk ada dalam relasi cinta. Yang ada.. paling sakit hati, tapi itu persoalan yang sangat berbeda. Cinta untuk seseorang tidak pernah putus, patah, atau mati. Yang dapat putus hanya relasinya: the practice, the act of loving, the particular. Bagiku, cinta merupakan hal universal. Menyatu dengan Semesta. Yang universal selalu menyatu. Tunggal (lihat footnote 4). Saling mencintai tidak dapat tidak berkembang menuju sifat universal itu. Itu berlawanan dengan sifat entitas cinta itu sendiri. Partikularitas praktik relasi hadir untuk memenuhi sifatnya yang universal. Mengembangkan cinta yang memang tidak dapat statis. Sepanjang partikularitas itu tercipta, cinta akan menemukan jalannya. Tapi tidak sebaliknya. Partikularitas adalah prasyarat atasnya. Menciptakan makna khas relasi cinta bagi tiap pasangan. Yang universal tak pernah hilang, tak mampu dibunuh, tak pernah statis, tidak pernah takut dan tak juga mampu menyakiti (baik orang yang terlibat dalam relasi maupun yang tidak). Sebagai hal yang universal cinta lepas dari “diri”, lebih besar dari diri, tidak dapat berkontestasi dengan entitas universal lainnya. Hal ini yang mungkin juga dapat menjelaskan kenapa relasi polyamori jauh lebih kuat bertahan dibanding jenis relasi extradyadic lainnya, karena tidak ada nilai universal yang tercederai. Bila cinta menyapa, ia menetap selamanya untuk berkembang sesuai sifatnya. Kehadirannya dapat melampaui hal-hal yang bersifat partikular (praktis tataran); intinya sosok yang dicinta mau membunuh kek, mukulin kek, selingkuh kek, atau apapun, itu gak sama sekali tidak pernah mengubah cinta. Mau kaya apa juga ujungnya “I love you anyway”, sepanjang cinta tidak statis dan partikularitasnya mengada. Cinta selalu menemukan cara berkembang menuju universalitas melalui partikularitas yang tercipta. Tidak masuk akal menghilangkan partikularitas bila cinta memang ada. Kecuali terjadi semacam force majoure (ini ngomongin cinta lho kak... bukan perjanjian) yang memaksa praktiknya hilang. Tetapi tidak kemudian putus cinta, sebab yang universal masih mengada dan akan beralih menuju lainnya. Relasi cinta hanya ditangguhkan dan sakit hati hadir karena lenyapnya partikularitas itu. Patah hati atau putusnya relasi cinta hanya terjadi saat cinta tidak dapat memenuhi sifat universalitas, yang silogismenya sama dengan tidak adanya cinta. Enggan untuk mengatakan bahwa aku patah hati kali ini. Terlebih setelah fabrikasi kelindan jiwa setelah 246 tempat baru dan 2500 hari bersama. Meski semua makna mengerucut pada hilangnya cinta yang dipaksa statis melawan sifat entitasnya. Memandangnya menghilangkan syarat utama berlangsungnya relasi cinta; menghapus upaya bersama untuk tidak pernah menyerah. Melihatnya melangkah pergi jauh dalam diam sebelum kata “sudah” tereja. Menyaksikannya memilih bahasa yang lebih lantang dari kata-kata. Juni yang lantak tanpa jiwa. Tapi ini bulan Juni dengan langit yang paling sempurna. Bulan para Gemini yang ceria. Dan aku tak punya aksara mengutarakan perih di dada. Selain betapa aku merindumu, cinta. Yogyakarta, 100617. --- 1] Dari sudut pandang struktur kejiwaan; ada ragam konsepsi psikis, yang kemudian menciptakan hanya 16 jenis spektrum karakter struktur olah data manusia yang mempengaruhi keberfungsian diri melalui cara hidup, cara padang, dan olah rasa individu tersebut (sebut saja konsepsi kejiwaan). Subyektifitas, imbas dan cara mengatasi patah hati pun jadi beragam: ada diri yang belum putus saja sudah bersedih dan tidak lagi berfungsi (tampak kaya orang mau mati), ada yang putus tetapi sama sekali tidak sedih dan tetap tidak dapat berfungsi (kaya orang gila), ada yang sama sekali tidak bersedih dan terus berfungsi seolah tidak terpengaruhi (seolah bukan manusia), ada yang sedih banget tapi dapat berfungsi seolah tidak terjadi apa-apa (kaya orang tanpa hati), dan probablititas seterusnya dari 16 struktur spektrum kognisi. 2] Pendekatan “perayaan ego” dalam patah asmara biasanya manjur untuk banyak orang. Ini sepenuhnya karena dominasi dari populasi jenis struktur kejiwaan di dunia. Kurva normalnya itu: orang patah hati, bersedih sejenak dan berfungsi kembali untuk “move-on”. Sisanya defiansi yang terlalu kecil untuk dipehitungkan dalam dunia yang fasih dengan diskriminasi, memuja statistika, dan dikategorikan saja pada jiwa-jiwa “sakit” yang perlu direhabilitasi di bangsal psikis. 3] Banyak asumsi bahwa saat putus relasi cinta, cinta akan dan perlu dibunuh. Dan banyak orang bisa membunuh cinta. Sebab mayoritas orang tenggelam penuh pada hal yang partikular. Hidup ini memang partikular, dan pengalaman perasaan cinta disejajarkan hadir (ada dan mempengaruhi individu tersebut) dari praktik ekspresi cinta yang partikular. Cara pandang dan laku dominan hidup memang demikian. Tidak terelakan kita dicengkram partikularitas, karena ia yang ada dihadapan mata. Ya.. sesederhana realitas dan makna dalam pertalian ekspresi, memeluk tanda sayang, mencium tanda cinta, dstnya itu. Sehingga fasih kita bilang: “friends dont do that” atau wajar bahwa hal yang paling sakit dari sebuah proses patah asmara adalah hilangnya partikularitas ini. Sebagai contoh; makna-makna partikular di”cintai” yang muncul dari praktik kebiasaan. Kebiasaan ada yang memeluk dan hilang. Kebiasaan mendapat dering telpon darinya yang lenyap. Dan deret kebiasaan lain yang muncul secara partikular menciptakan bahasa “intagable” yang partikular pula, menyisip nyaman dari baunya, hangat tubuhnya, bahagia dg tingkah lakunya, dstnya. Cinta hidup dalam partikularitas itu. Banyak yang shock mengalami patah asmara karena cinta dan partikularitas menjadi satu paket. Seolah cinta itu mati. Dan ini akan menciptakan “suwung” kejiwaan yang berangsur hilang dengan substitusi aktifitas partikular. Cinta akan bersemi sekali lagi saat ia menemukan partikularitas yang lain. Namun... sebuah kutukan bagi mereka yang memiliki kecenderungan dominasi realitas konseptual alih-alih perseptual yang dominan. Mereka tidak dapat keluar dari partikularitas yang lenyap. Sakit hati berkepanjangan. Biasanya akan menghilang dari kehidupan. Mengalami “suwung” kejiwaan yang berangsur hilang dengan dua probabilitas hasil ekstrim. Pertama, kuatnya realitas konseptual akan melindas habis yang bersifat partikular. Mereka lepas dari kondisi “patah hati” karena masuk dalam labirin konseptual tanpa mampu menciptakan partikularitas baru untuk kembali menikmati “cinta”. Jomblo seumur hidup karena terjebak asmara yang sebenarnya sudah terlupa. Kedua, realitas konseptual tidak dapat menguat untuk menghilangkan partikularitas. Sungguh sebuah kutukan derita hidup di antara. Mereka masuk dalam labirin gegar realitas berkepanjangan konseptual dan partikular yang tidak pernah berhenti menyakiti. Spektrum diantaranya muncul dengan perilaku manusia yang bisa menjalin relasi cinta tapi kaya zombie (kosong tanpa rasa), atau merayakan beragam partikularitas cinta tanpa sadar (penuh tanpa makna), dstnya. 4] Ya aku tahu pasti Anda berpikir ini essensialis platonik sekali.. padahal di cultural studies selalu membongkar yang essensialis. Tapi sebagai argumen, yang anti-essensial pun essensialis, bukankah ketiadaan ujungnya bersifat tunggal? Bisa di cek pada semua pemikir anti-essensialisme yang ujungnya terjebak dalam paradoks tersebut. Simpelnya, se-posmo Deleuze pun, ujungnya “The Machine” ya cuma satu. Tetapi perlu diingat bahwa terapan filsafat dan terapan paralogisme adalah dua entitas yang berbeda. |
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
December 2020
Categories
All
|