Hari ke-lima.
“Woalaah mbaaak priyayii.. kok ketemu meneh? udah kesakitan?”, sapa dokter internis yang sudah 6 tahun tidak aku temui (dengan sengaja). Ada ejekan di sapanya, yang kita sama-sama tahu. Sebagai pasien yang enggan kesakitan aku telah menolak berbagai solusi jangka panjangnya dan memilih obat-obat instan yang dapat segera dimasukan ke aliran darah saja. Dia memanggilku dengan priyayi karena keringkihan tubuhku yang memiliki threshold yang rendah dibanding manusia pada umumnya. Tubuh yang harus dimanja, disayang dan butuh kenyamanan yang sedikit berlebihan. Kondisi yang tentunya enggan aku terima; siapa sih yang tidak ingin dianggap sebagai manusia normal saja? “Iya doc.. udah muter-muter RS lain, tetap akhirnya semua dokter lain merujukku untuk kembali padamu”, balasku dengan menyerah. “okay.. masuk lab dan radiologi dulu baru kita ngobrol ya” -- ![]() Sore. Langit cerah dan mentari mulai terbenam dengan warna yang menawan. Aku sempat mengambil fotonya, untuk memastikan itu benar saat pandangan sudah jelas. Segala hal disekitarku masih kabur. Dan perasaan melayang masih mencengkram badan. Lemah dan lemas, dengan fisik yang rasa berat untuk bernafas. Berlahan nyetir menuju rumah. Memeluk anak yang menyambut cemas, menyampaikan semua baik2 saja dan meminta maaf bahwa kondisiku terus saja sakit, menyiapkan makan malam dan hal2 sekolahnya esok pagi, untuk kemudian ambruk di tempat tidur. |
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
December 2020
Categories
All
|