![]() “besok pagi di kampus?... aku baru kelar operasi. Ingin sekali menangis dalam pelukan seseorang. Can I?” 19:11 - 26.09.2016 - Tanganku berupaya menggapai tubuhnya, namun gagal. Mencoba meraih siapa pun yang mungkin bersedia menggenggam tanganku. Tanpa hasil, kugenggam erat lipatan kain hijau pada ujung bidang meja setengah meter itu. Baru kali ini aku berada di atas meja operasi dengan sadar berteriak kesakitan dengan lantang tiga kali. Aku bayangkan bila ada orang diluar ruang operasi itu, pastinya akan bertanya-tanya macam penjaggalan apa yang sedang terjadi di dalam. Tubuhku sudah gemetar lemas dan kedinginan dengan darah yang bercucuran dari belakang kepala. Aku hanya membayangkan ini menjadi pembedahan ala militer di medan perang. Aku hanya mampu melihat detik jam yang kian melambat berharap semua segera tuntas. Berharap mereka segera menutup dan menjahit bedahan; membayangkan mereka berkata “maaf, kita akan mengulanginya dengan bius total kali ini”. Tapi itu tidak terjadi.. kurasa ada benarnya para ahli bedah dilatih tidak mempedulikan erangan, tangis dan teriakan ‘obyek’ bedah. Mereka diharuskan tenang melakukan apapun yang harus mereka lakukan; sebagaimana mereka jelaskan pula “darurat” dalam dunia kedokteran adalah bila membicarakan detik atau menit menuju kematian. Sepanjang tanda-tanda kematian itu belum dekat, tidak jadi soal bila organ atau syaraf apa terluka - toh nanti bisa dibenerin.
|
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
December 2020
Categories
All
|