Akhir tahun, dan segenap gelombang budaya populer tentang refleksi diri menyapu jadgat bumi. Media sibuk membuat kladieoskop, organisasi penggerak pemberdayaan sibuk mengkolase peristiwa yang menyentuh humanism dan individu-individu tersungkur di sudut ruangan menanyakan: apa yang sudah ku dapatkan sepanjang 2020?
Aku tidak tahu sejak kapan gelombang romantisir masa lalu praktis masuk dalam peradaban dan memformasi budaya refleksi global di penghujung tahun. Refleksi perjalanan hidup adalah hal esensial bagi siapapun yang berniat menjadi manusia dan dalam hemat saya inheren dalam keseharian. Tapi.. menerima azab ditempa pendidikan KBM yang mengasah saklar suudzon pada apapun yang sudah ternormalisasi menjadi budaya, hari ini saya tidak habis pikir tentang budaya refleksi perjalanan hidup masal yang berlangsung. Tentu, melihat pola budaya sebagai senjata ideologi yang sempurna, pastinya tidak lepas dari media, maupun kepentingan pihak kuasa yang membutuhkan warganya menunduk dalam hening di tengah experimen sosial yang mengeruk keuntungan. Tapi ini sekedar status, bergambar, dan tidak berniat menulis paper tentang ideologi dibalik aksi refleksi global. Betapapun menarik itu buatku, pasti membutuhkan riset yang sungguh tak elok kulakukan di tengah tanggungan laporan riset yang bahkan belum kutuntaskan. Jadilah benakku berkeliaran membayangkan tentang ketidaksadaran kita memperlakukan waktu dan kebanalan kita menautkan makna pada tiap detiknya. Refleksi pergantian tahun adalah manifestasi paradox atas perubahan. Di tengah ketakutan manusia akan perubahan, di sana juga kita membutuhkan selebrasi atas perubahan. “Perubahan begitu dihindari, tapi jangan sampai kita berhenti statis dalam kehidupan! Itu celaka, karena bila statis berarti kita tidak berkembang dan melawan arus peradaban.” - kata kita. Maka, sibuklah kita merayakan perubahan dengan seolah-olah ada perubahan. Dan waktu adalah penanda yang sempurna. Jarang sekali kita melakukan selebrasi atas perubahan itu sendiri. Kita sibuk membalut perubahan dengan petanda representasi pertumbuhan, yang indikatornya sudah berselancar dalam ideologi perkembangan. Maka, banyak sekali perayaan pergantian tahun diiringi petanda atas pertumbuhan yang diharapkan peradaban; mulai dari yang tampak seperti mobil baru (sebagai petanda peningkatan ekonomi, misalnya) hingga yang tak tampak seperti semangat baru (sebagai petanda buat mengelabui diri kita sendiri bahwa kita tidak sama seperti dulu). Tapi disana, yang kita sibukan adalah pertumbuhan dan bukan perubahan. Waktu menjadi petanda yang dimanfaatkan untuk mengukur beragam pertumbuhan; waktu sendiri tidak pernah direngkuh dan dirayakan sebagai basis perubahan. Perspektif terstruktur semacam ini, memandang waktu sebagai hal yang konstan dan inheren di sudut ruangan. Dia ada sana sebagai hal yang hidup secara independen mengiringi kesibukan kita mengisi hari dengan indikator yang kita ada-adakan. Tapi waktu tidak pernah dipandang sebagai hal yang hidup dalam diri manusia. Dia hanya sebagai penanda, atas perubahan. Bayangkan saja, perayaan pernikahan perak, adalah perayaan atas keabadian relasi di mana waktu hadir saja sebagai penandanya. Kita tidak pernah benar-benar merefleksikan tentang perjalanan waktu, kita hanya sibuk memaknai beragam kejadian dan pongah diri dalam bingkai waktu. Dalam pikiran terstruktur atas waktu yang tersisih semacam ini, maka refleksi akhir tahun senantiasa dipenuhi dengan ulasan capaian yang sudah diraih, sesuai indikator pertumbuhan dan makna atas aktifitas yang kita lakukan. Merayakan perubahan dengan meniadakan perubahan itu sendiri. Menselebrasi imaji semu dan kestatisan diri dalam pergantian angka. Apa ada yang berubah sejak Pandemi memaksa kita menilik waktu secara berbeda? Apa struktur berpikir kita sudah bergeser untuk melihat waktu bukan sekedar petanda atas peristiwa? Atau kita masih juga mempertahankan harapan tentang kestatisan? dengan selesainya pandemi agar kita bisa kembali berkubang dalam zona nyaman untuk meniti pertumbuhan yang kita banggakan? Tidak banyak manusia yang pernah saya jumpai yang bersedia merengkuh waktu dan perubahan sebagai bagian dari dirinya. Waktu bukanlah penentu perubahan dan petanda masa, namun sebagai hal yang tersedia untuk menggerakan perubahan. Bagi saya, orang-orang semacam ini adalah mereka yang berani untuk menghidupkan hidup. Hidup secara penuh, bukanlah menanti masa, tapi menjemput apa yang bisa dijemput di dalam masa yang ada. Biasanya, waktu senantiasa mampu untuk membuatku antusias, karena tidak habis bayangan segala keinginan untuk mengalami waktu ke depan dengan perubahan yang tak terbatas. Ada gairah untuk melangkah pada “the unkown” ; semacam hidup baru yang selalu menggantung di benak. Tapi dalam tiga tahun terakhir, diriku tidak berjumpa dengan perubahan; tetap saja terjebak dalam sebuah siklus yang sama. Turut merayakan pertumbuhan selayaknya manusia normal yang sudah memiliki status emblem dewasa; tapi diri, rasanya sekarat dan antusiasme akan waktu pun lenyap. Ada marah bahwa waktu tidak membawa perubahan, sebagaimana kebanyakan orang katakan. Tahun 2020 ini adalah petanda yang saya letakan sebagai gerbang (jauh sebelum pandemi melanda dunia), setelah sekian lama berharap waktu memiliki peran membawa perubahan gairah kehidupan. Tiga tahun terakhir bagi saya adalah masa yang dipenuhi kehilangan; beragam orang, rejeki, kesehatan, kepercayaan, dan harapan. Tapi kehilangan yang lebih besar, adalah kehilangan atas merengkuh waktu. Merengkuh hidup untuk dihidupkan dan bukan sekedar dijalankan. Menghardik diri dengan batas bermanja di zona nyaman dan mengikis topeng dari rasa malu tidak membuat perubahan. Aku tidak tahu sejauh mana, pasung pandemi telah menyuntikan pada kita, bahwa waktu bukanlah sebuah konsep tapi mindset yang menentukan hidup kita. Tapi saat tahun 2020, rasanya baru mulai dan mendadak terhenti; aku yakin kita semua terpaksa untuk berkenalan dengan sisi lain sang waktu. Selamat Tahun Baru. ‘Wishing you the past makes us better and not bitter.‘ Yogyakarta, depan aquarium. 31.12.2020 -Theres is nothing such as the right time, there’s just time. And as Budha says ‘the trouble is, you think you have time’. - Tahun Baru. Sudah hampir 3 tahun tanpa kreasi. Tidak lagi ada catatan pendek yang terlempar dan tersimpan di alam maya. Tidak ada lagi wacana yang terpantik dalam ruang-ruang imajiner yang menggoda. Dalam perbandingan kala dulu, ada perbedaan yang drastis. Dulu, hampir setiap minggu ada sebuah catatan. Lalu berhenti begitu saja. Kata, wacana, atau mungkin juga sebagian jiwa lenyap entah kemana. Aku mengalami masa di mana bahkan diam pun kehilangan makna.
Aku pernah bertanya 5 tahun yang lalu mengenai diamnya para manusia diumur “tanggung” (tak tua tak muda itu). Bingung membayangkan apa mereka terlalu sibuk, terlalu larut dalam keseharian, terlalu lelah, atau sudah selesai dengan berbagai hal yang perlu diperbincangkan. Sampai pada titik ini, aku sendiri tidak bisa memastikan; tapi aku memiliki satu tesis; yang ijinkan aku paparkan melalui refleksi diri. Padaku:
|
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
December 2020
Categories
All
|