Malam itu, takbir berkumandang. Memecahkan tembok pertahanan yang sudah seminggu lebih dipasang untuk menekan dalam-dalam lara, kehilangan, dan sedih tak berujung. Mendadak baru sadar, ini Idul Adha.
Sedih itu tumpah. Di tengah seruan takbir yang tak terhindarkan bersenandung di tiap sudut kota. Bumi Mataram turut renta dan lindu. Sepi malam yang dingin digetarkan oleh seruan takbir, saat Ganesha menyapa lembut dari kejauhan; “tidak apa-apa”, memecahkan seluruh pertahanan air mata. Tepat di joglo sepi berhadapan dengan secangkir teh poci, dan mendadak semua tenaga untuk menghisap nikotin terhenti. Terisak kehabisan nafas. Idul Adha, apa yang sudah kau korbankan sahabat? ![]() enjelang ramadhan. Keriuhan mudik meniupkan kebekuan sepi.Semua kehidupan seakan bergerak cepat dihadapan mata. Ritual, tradisi,kebiasaan, seluruh manifestasi budaya yang merajut essensi makna. Roh kehidupan. Realitas yang dipilih mencipta dunia. Tak sedikit yang menggerutu bosan, malas, berkelekar angan tak perlu mengikutinya, bahkan terkadang terdengar begitu tersiksa. Cukup manusiawi kurasa, berkontestasi dalam tekanan rasa diri dan yang diluar sana. Mulai dari sekedar arisan, mengantar keluarga ke acara, menemani anaknya berulangtahun, kerja bakti di hari minggu,dan jutaan ritual lainnya yang menyusupkan makna menjadi “manusia”. Sedikit yang berani membuangnya. Lebih sedikit yang berani menjalaninya. Di kacamata sosial dia anomali, istilah Deleuze 'skizofreni'. Mayoritas orang akan berdiri ditengah-tengah, berupaya mengakomodasi, menjalani yang dia rasa siksa, mencari eskapisme setelahnya, dan mengatakan bahwa itulah manis pahit kehidupan. Meletakan semua harap sekedar angan. Karena kegilaan selalu butuh lebih dari satu orang- sebab bagi mereka yang telah menjalaninya, hanya satu substansi disana: kehampaan. |
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
December 2020
Categories
All
|