![]() “besok pagi di kampus?... aku baru kelar operasi. Ingin sekali menangis dalam pelukan seseorang. Can I?” 19:11 - 26.09.2016 - Tanganku berupaya menggapai tubuhnya, namun gagal. Mencoba meraih siapa pun yang mungkin bersedia menggenggam tanganku. Tanpa hasil, kugenggam erat lipatan kain hijau pada ujung bidang meja setengah meter itu. Baru kali ini aku berada di atas meja operasi dengan sadar berteriak kesakitan dengan lantang tiga kali. Aku bayangkan bila ada orang diluar ruang operasi itu, pastinya akan bertanya-tanya macam penjaggalan apa yang sedang terjadi di dalam. Tubuhku sudah gemetar lemas dan kedinginan dengan darah yang bercucuran dari belakang kepala. Aku hanya membayangkan ini menjadi pembedahan ala militer di medan perang. Aku hanya mampu melihat detik jam yang kian melambat berharap semua segera tuntas. Berharap mereka segera menutup dan menjahit bedahan; membayangkan mereka berkata “maaf, kita akan mengulanginya dengan bius total kali ini”. Tapi itu tidak terjadi.. kurasa ada benarnya para ahli bedah dilatih tidak mempedulikan erangan, tangis dan teriakan ‘obyek’ bedah. Mereka diharuskan tenang melakukan apapun yang harus mereka lakukan; sebagaimana mereka jelaskan pula “darurat” dalam dunia kedokteran adalah bila membicarakan detik atau menit menuju kematian. Sepanjang tanda-tanda kematian itu belum dekat, tidak jadi soal bila organ atau syaraf apa terluka - toh nanti bisa dibenerin.
Terlalu mudah berkata dan menemukan pernyataan: 'bila dalam hubungan saya mengalami kekerasan, saya akan meninggalkan relasi itu'. Faktanya tidak pernah sesederhana itu. Statistik menunjukan bagaimana tinggi angka kekerasan dalam relasi. Bahkan di Indonesia, bisa digeneralisir bahwa hampir semua orang mengalami kekerasan dalam relasi. Kenyataan yang hadir adalah: Pelaku relasi bertahan di tengah kekerasan. Kekerasan hanya terus berulang. Apapun bentuknya, frekuensinya, maupun alasannya.
![]() enjelang ramadhan. Keriuhan mudik meniupkan kebekuan sepi.Semua kehidupan seakan bergerak cepat dihadapan mata. Ritual, tradisi,kebiasaan, seluruh manifestasi budaya yang merajut essensi makna. Roh kehidupan. Realitas yang dipilih mencipta dunia. Tak sedikit yang menggerutu bosan, malas, berkelekar angan tak perlu mengikutinya, bahkan terkadang terdengar begitu tersiksa. Cukup manusiawi kurasa, berkontestasi dalam tekanan rasa diri dan yang diluar sana. Mulai dari sekedar arisan, mengantar keluarga ke acara, menemani anaknya berulangtahun, kerja bakti di hari minggu,dan jutaan ritual lainnya yang menyusupkan makna menjadi “manusia”. Sedikit yang berani membuangnya. Lebih sedikit yang berani menjalaninya. Di kacamata sosial dia anomali, istilah Deleuze 'skizofreni'. Mayoritas orang akan berdiri ditengah-tengah, berupaya mengakomodasi, menjalani yang dia rasa siksa, mencari eskapisme setelahnya, dan mengatakan bahwa itulah manis pahit kehidupan. Meletakan semua harap sekedar angan. Karena kegilaan selalu butuh lebih dari satu orang- sebab bagi mereka yang telah menjalaninya, hanya satu substansi disana: kehampaan. |
on this blogJust ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world. Archives
July 2017
Categories
All
|