arymami
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About

Confidential Minds
​daily notes, fiction, life

2020: Menatap Waktu

12/31/2020

Comments

 
Picture
'https://www.freepik.com/vectors/winter'>Winter vector created by starline - www.freepik.com
Akhir tahun, dan segenap gelombang budaya populer tentang refleksi diri menyapu jadgat bumi. Media sibuk membuat kladieoskop, organisasi penggerak pemberdayaan sibuk mengkolase peristiwa yang menyentuh humanism dan individu-individu tersungkur di sudut ruangan menanyakan: apa yang sudah ku dapatkan sepanjang 2020?

Aku tidak tahu sejak kapan gelombang romantisir masa lalu praktis masuk dalam peradaban dan memformasi budaya refleksi global di penghujung tahun. Refleksi perjalanan hidup adalah hal esensial bagi siapapun yang berniat menjadi manusia dan dalam hemat saya inheren dalam keseharian. Tapi.. menerima azab ditempa pendidikan KBM yang mengasah saklar suudzon pada apapun yang sudah ternormalisasi menjadi budaya, hari ini saya tidak habis pikir tentang budaya refleksi perjalanan hidup masal yang berlangsung. Tentu, melihat pola budaya sebagai senjata ideologi yang sempurna, pastinya tidak lepas dari media, maupun kepentingan pihak kuasa yang membutuhkan warganya menunduk dalam hening di tengah experimen sosial yang mengeruk keuntungan. 

Tapi ini sekedar status, bergambar, dan tidak berniat menulis paper tentang ideologi dibalik aksi refleksi global. Betapapun menarik itu buatku, pasti membutuhkan riset yang sungguh tak elok kulakukan di tengah tanggungan laporan riset yang bahkan belum kutuntaskan. Jadilah benakku berkeliaran membayangkan tentang ketidaksadaran kita memperlakukan waktu dan kebanalan kita menautkan makna pada tiap detiknya. 

Refleksi pergantian tahun adalah manifestasi paradox atas perubahan. Di tengah ketakutan manusia akan perubahan, di sana juga kita membutuhkan selebrasi atas perubahan. 

“Perubahan begitu dihindari, tapi jangan sampai kita berhenti statis dalam kehidupan! Itu celaka, karena bila statis berarti kita tidak berkembang dan melawan arus peradaban.” - kata kita. 

Maka, sibuklah kita merayakan perubahan dengan seolah-olah ada perubahan. Dan waktu adalah penanda yang sempurna. Jarang sekali kita melakukan selebrasi atas perubahan itu sendiri. Kita sibuk membalut perubahan dengan petanda representasi pertumbuhan, yang indikatornya sudah berselancar dalam ideologi perkembangan. 

Maka, banyak sekali perayaan pergantian tahun diiringi petanda atas pertumbuhan yang diharapkan peradaban; mulai dari yang tampak seperti mobil baru (sebagai petanda peningkatan ekonomi, misalnya) hingga yang tak tampak seperti semangat baru (sebagai petanda buat mengelabui diri kita sendiri bahwa kita tidak sama seperti dulu). Tapi disana, yang kita sibukan adalah pertumbuhan dan bukan perubahan. Waktu menjadi petanda yang dimanfaatkan untuk mengukur beragam pertumbuhan; waktu sendiri tidak pernah direngkuh dan dirayakan sebagai basis perubahan.  

Perspektif terstruktur semacam ini, memandang waktu sebagai hal yang konstan dan inheren di sudut ruangan. Dia ada sana sebagai hal yang hidup secara independen mengiringi kesibukan kita mengisi hari dengan indikator yang kita ada-adakan. Tapi waktu tidak pernah dipandang sebagai hal yang hidup dalam diri manusia. Dia hanya sebagai penanda, atas perubahan. Bayangkan saja, perayaan pernikahan perak, adalah perayaan atas keabadian relasi di mana waktu hadir saja sebagai penandanya. Kita tidak pernah benar-benar merefleksikan tentang perjalanan waktu, kita hanya sibuk memaknai beragam kejadian dan pongah diri dalam bingkai waktu. 

Dalam pikiran terstruktur atas waktu yang tersisih semacam ini, maka refleksi akhir tahun senantiasa dipenuhi dengan ulasan capaian yang sudah diraih, sesuai indikator pertumbuhan dan makna atas aktifitas yang kita lakukan. Merayakan perubahan dengan meniadakan perubahan itu sendiri. Menselebrasi imaji semu dan kestatisan diri dalam pergantian angka. Apa ada yang berubah sejak Pandemi memaksa kita menilik waktu secara berbeda? Apa struktur berpikir kita sudah bergeser untuk melihat waktu bukan sekedar petanda atas peristiwa? Atau kita masih juga mempertahankan harapan tentang kestatisan? dengan selesainya pandemi agar kita bisa kembali berkubang dalam zona nyaman untuk meniti pertumbuhan yang kita banggakan?

Tidak banyak manusia yang pernah saya jumpai yang bersedia merengkuh waktu dan perubahan sebagai bagian dari dirinya. Waktu bukanlah penentu perubahan dan petanda masa, namun sebagai hal yang tersedia untuk menggerakan perubahan. Bagi saya, orang-orang semacam ini adalah mereka yang berani untuk menghidupkan hidup. Hidup secara penuh, bukanlah menanti masa, tapi menjemput apa yang bisa dijemput di dalam masa yang ada.  

Biasanya, waktu senantiasa mampu untuk membuatku antusias, karena tidak habis bayangan segala keinginan untuk mengalami waktu ke depan dengan perubahan yang tak terbatas. Ada gairah untuk melangkah pada “the unkown” ; semacam hidup baru yang selalu menggantung di benak. Tapi dalam tiga tahun terakhir, diriku tidak berjumpa dengan perubahan; tetap saja terjebak dalam sebuah siklus yang sama. Turut merayakan pertumbuhan selayaknya manusia normal yang sudah memiliki status emblem dewasa; tapi diri, rasanya sekarat dan antusiasme akan waktu pun lenyap. Ada marah bahwa waktu tidak membawa perubahan, sebagaimana kebanyakan orang katakan. 

Tahun 2020 ini adalah petanda yang saya letakan sebagai gerbang (jauh sebelum pandemi melanda dunia), setelah sekian lama berharap waktu memiliki peran membawa perubahan gairah kehidupan. Tiga tahun terakhir bagi saya adalah masa yang dipenuhi kehilangan; beragam orang, rejeki, kesehatan, kepercayaan, dan harapan. Tapi kehilangan yang lebih besar, adalah kehilangan atas merengkuh waktu. Merengkuh hidup untuk dihidupkan dan bukan sekedar dijalankan. Menghardik diri dengan batas bermanja di zona nyaman dan mengikis topeng dari rasa malu tidak membuat perubahan.  

Aku tidak tahu sejauh mana, pasung pandemi telah menyuntikan pada kita, bahwa waktu bukanlah sebuah konsep tapi mindset yang menentukan hidup kita. Tapi saat tahun 2020, rasanya baru mulai dan mendadak terhenti; aku yakin kita semua terpaksa untuk berkenalan dengan sisi lain sang waktu.  

Selamat Tahun Baru. 
‘Wishing you the past makes us better and not bitter.‘



Yogyakarta, depan aquarium. 31.12.2020

-Theres is nothing such as the right time, there’s just time. And as Budha says ‘the trouble is, you think you have time’. -
Comments

Tour de Rumah Sakit, Tour de Penyakit: Paradox Asuransi - Urip Cen mung mampir ngalami

10/29/2020

Comments

 
Hari ke-lima. 

“Woalaah mbaaak priyayii.. kok ketemu meneh? udah kesakitan?”, sapa dokter internis yang sudah 6 tahun tidak aku temui (dengan sengaja). Ada ejekan di sapanya, yang kita sama-sama tahu. Sebagai pasien yang enggan kesakitan aku telah menolak berbagai solusi jangka panjangnya dan memilih obat-obat instan yang dapat segera dimasukan ke aliran darah saja. Dia memanggilku dengan priyayi karena keringkihan tubuhku yang memiliki threshold yang rendah dibanding manusia pada umumnya. Tubuh yang harus dimanja, disayang dan butuh kenyamanan yang sedikit berlebihan. Kondisi yang tentunya enggan aku terima; siapa sih yang tidak ingin dianggap sebagai manusia normal saja? 

“Iya doc.. udah muter-muter RS lain, tetap akhirnya semua dokter lain merujukku untuk kembali padamu”, balasku dengan menyerah. 

“okay.. masuk lab dan radiologi dulu baru kita ngobrol ya”
​--



Read More
Comments

Tour de Rumah Sakit: Yang Tak Punya Kata

8/27/2020

Comments

 
Picture

​Sore. Langit cerah dan mentari mulai terbenam dengan warna yang menawan. Aku sempat mengambil fotonya, untuk memastikan itu benar saat pandangan sudah jelas. Segala hal disekitarku masih kabur. Dan perasaan melayang masih mencengkram badan. Lemah dan lemas, dengan fisik yang rasa berat untuk bernafas. Berlahan nyetir menuju rumah. Memeluk anak yang menyambut cemas, menyampaikan semua baik2 saja dan meminta maaf bahwa kondisiku terus saja sakit, menyiapkan makan malam dan hal2 sekolahnya esok pagi, untuk kemudian ambruk di tempat tidur. ​


Read More
Comments

Tour de RS: Vagina, Nyeri dan Ruang Relasi

6/25/2020

Comments

 
​
Malam. Meringkik, memeluk diri dengan lemas berharap raga ini berhenti gemetar kedinginan.  Merapal mantra semua baik-baik saja, sembari memaksa logika bekerja meyakinkan ini psikosomatis semata. Dan aku yakin ini psikosomatis semata, namun mengalirnya darah segar dan gemertak gigi yang tak mau diam tak membantu prosesnya. Aku baik-baik saja... aku baik-baik saja..
-
Darah dan alat medis selalu saja membuatku ngeri. Selalu ada ketakutan yang mendadak menyergap sepanjang tulang belakang, membuat detak jantung tak karuan. 

Tentu semua kegugupan tak pernah ditampakan - buat apa? dan yang lebih nyata.. pada siapa?!. hahaha.. 

Selain itu, buat sosok yang sudah bolak balik menghadapi pisau bedah dan berbaring di meja dengan penerangan melebihi restoran padang, sejak umur 8 tahun.. perlakuan medis tak seharusnya menggoyah gentar.  Eh.. busyeeet mau di taruh di mana muka ini? Ada image yang harus di pertahankan! .. Bukan sok jagoan, tapi latihan psikologis  buat kami yang terlempar untuk hidup sendiri, adalah hal logis yang perlu diasah.  

Tindakan medis selalu memiliki cara untuk menghabisi bayangan bahwa manusia memiliki kuasa. Bukan hanya kuasa yang dikoarkan para pemikir sosial, tapi juga kuasa paling dekat dan riil atas raga. Tidak ada yang lebih canggih membuat orang merasa sendiri dan tak berdaya, selain tindakan medis. 

Berbaring dengan sorotan lampu dan sadar saat besi-besi tersterilisasi dan dingin itu yang  memasuki tubuhmu bukanlah hal yang menyenangkan. Ruang tindak medis itu akan selalu terasa lebih dingin, jam akan berdetak lebih lambat, dan kehadiran Illahi selalu terasa lebih nyata.

Tanganku terkulai lemas menahan nyeri.. menggerakan jemari mencari pegangan dan masih saja tetap berharap ada tangan yang akan menggenggam hangat tangan ini. Besi dingin samping tempat tidur pasien tidak pernah ingkar menyambut. Pada momen seperti itulah  genggaman tangan menjadi berlipat maknanya. Andai ada...

"Sudah ada dua dokter yang meninggal karena covid", kata dokter spesialis mengajakku bicara dan memecah perhatianku yang mulai larut pada kengerian.

Aku selalu salut dengan para tenaga medis yang berupaya untuk mencairkan ketegangan. Setiap spesialis dan tindak medis mereka selalu memiliki cara sendiri yang unik. Ada yang memutar house music ditengah pembedahan, ada yang bergosip mengenai berita selebriti untuk meringankan suasana, ada yang bertanya tanpa henti pada pasien untuk mengalihkan perhatian.. macam-macam. Dan itu sangat membantu.. meski semua memorinya buatku tetap saja melekat dengan ngeri. Buat saya yang tidak berhubungan dengan dunia medis sehari-hari, tentunya tidak dapat menilai apa yang biasa dan tidak.. melihat leher terburai dengan darah tanpa henti buat orang awam sepertiku secara otomatis memicu kepanikan. Tapi buat mereka tenaga medis mungkin seperti kita yang melihat pipa bocor di rumah.. ya ntar di lem selesai. Aku tidak pernah tahu... 

Nyeri. 
"Sakit?"

Ya... menurut nganaaaa??? - bersikap biasa aja. Menegaskan pada diri ga usah manja! ini prosedur biasa. Santai santai... santai... think of good things... comm'on.. think nice things... wait why am i doing this? .. oh God.. can i just ask it to stop... relax mon... relax... 

Ini bukan bermaksud dramatis. Tapi buat kalian yang membaca seri "tour de RS"...dari sedikit yang bisa kubagi, aku sendiri heran dengan segala kejadian yang selalu aja ada yang mendadak "salah". Alhasil semua prosedur kesehatan yang katanya normal, kecil dan biasa.. itu tetap membuatku curiga. Ya.. bayangin deh.. didorong ke ruang bedah untuk bedah area leher, yang di prep untuk dibedah adalah lambung.. karena salah bawa dokumen pasien. Gimana ga shock? Masuk ke ruang bedah buat ambil usus buntu (katanya operasi kecil yang biasa aja) mendadak menjadi operasi besar dengan bedah 13 cm karena usus tidak pada tempatnya. Belum lagi tindakan eksperimental karena bulu babi hidup dalam kakiku. Setelah 5 kali operasi dengan kondisi sadar melihat kakiku di cacah pisau bedah.. dan ga berhasil... maka eksperimen pembekuan kaki menjadi opsi agar tuh makhluk mati (sekarang anda tahu kenapa saya benci ama bulu babi). Belum lagi jenis penyakit yang tampaknya mencintai tubuhku: mulai dari menjadi induk buat larva lalat, flu burung, flu babi, dan oh ya... juga penyakit darah yang  kemungkinan dimiliki satu dari sepuluh juta populasi dunia (seorang dokter mengabariku itu seolah itu menjadi prestasi luar biasa.. dan kalau bisa letak emoticon saat dia mengabarkan itu..  wajahku flat!).  Intinya... banyak hal di luar "ordinary" yang membuatku terpaksa.. dihantui ngeri tiap kali masuk ke ruang dokter.   

Setiap jenis dokter memiliki kengerian yang khas tersendiri.. dan tidak terkecuali obsgen yang sedang menghadap bagian diantara kakiku yang ngangkang terbuka. Mengeksibisikan kemaluan bukan dalam kondisi intim selalu penuh dengan kecanggungan. Dan ini menjadi persoalan perempuan dan persoalan gender yang bisa lebih panjang. Artinya, secara terstruktur dan sistematis, kontrol atas vagina itu perlu dipertanyakan bersifat patriakis atau tidak. Tapi.. kembali pada fakta obyektif sederhana yang berlaku di depan mata - seorang perempuan perlu secara rutin menunjukan vaginanya untuk tindak medis, yang tidak dialami penis. Think about it? - Dan beragam pemikiran kritis meluncur di benak, sembari membayangkan andai semua lelaki memiliki anak perempuan dan terlibat dalam perkembangannya.. apakah mereka akan bisa melihat vagina sebagai ruang kesenangan semata? - Pikiranku buyar dengan rasa nyeri. Dan satu komentar yang mungkin tak terencana terucap dengan keras: "Duuuh... kok ini ga bisa ya?".

Whaaaaaaatttt theeee... nooo.... lagiii? Harus ya selalu ada kejadian macam ini. Pingin nangis.. pingin nangis.. tapi... tak banyak yang bisa kamu lakukan saat beragam alat tertancap ditubuhmu. "maaf ini saya tekan dulu ya... " ... hening... cepat berakhir.. cepat berakhir... kakiku sudah lemas...sakit... nyeri... segera berakhir... gw ngelakuin ini buat apa sih... - berakhir. tubuhku masih nyeri dan gemetar. Kalau aku seorang gadis di kelas SMP aku pasti sudah lari ke pelukan mama dan menangis. Tapi ini sudah berakhir. Lega, hingga.. "minggu depan kita perlu melalukan prosedur tambahan lagi ya.. dijadwalkan sekalian.. dilihat sebagai blessing in disguise.. memastikan saja.. paling juga ga ada apa-apa.. dan nanti kalau pendarahan.. itu gak papa"...

..hening.. memaksakan senyum dan mengucapkan terimakasih.. sebelum tertatih lemas.. menuju kasir, menggesek sekian juta dari rekening untuk sebuah pengalaman sukarela yang masih kupertanyakan. Kaki dan tanganku dingin tak karuan, masih dipenuhi sisa ketakutan. Meminta genggaman.. tapi harus menuju pulang di rumah sendirian. Bukan hal baru... dan biasa saja.. toh sudah pernah terlewati, yang kusebut hingga kini, pencapaian tertinggi pergi bedah mandiri: daftar, bedah, bayar, dan pulang. Harusku akui, menyetir mobil dengan tubuh masih di aliri anastesi adalah sensasi tersendiri. Jangan dicoba! 

Tapi mungkin semua sudah berasa usang. Ada lelah untuk berandai ada yang menggenggam tanganku kala semacam itu, atau sebuah pelukan dan kata-kata "semua akan baik2 saja". Sudah lelah untuk berdebat dan mengkritisi mimpi 'tak sendiri' sebagai utopia dan hegemoni yang mencengkram tanpa cela, atau tulus meneriakan kalimat satir bahwa "sakit bukanlah untuk yang sendiri" karena ketidakadilan sistem yang melihat entitas terkecil warganya bukan individu tapi komunal.. benar, tapi lalu apa?. Mimpi dalam perdebatan ideologis hanya milik elitis. Tapi sebagaimana ramal teori Deluezian, segala ketegangan kebenaran hanya akan menyisakan yang autentik dan nyata di depan mata - tempat kita perlu berjenak di sana.   

Aku menghubungi seorang teman. "Hai... bolehkah aku vcall? Sebentar saja... aku hanya perlu mendengarmu mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja". -aku tahu hati kecilku membutuhkan mendengar itu-

​Untuk kali pertama ini, kurasa aku akan sisihkan segala makna "kehidupan", karena mungkin memang benar; bahwa hanya pengalaman yang memberikan makna atas kehidupan kita, tapi yang pasti hanya relasi-relasilah yang menentukan kesan dan cara kita melaluinya. Hanya manusia yang dapat menjadi faktor pembeda: cara perawat menghibur kita, cara dokter yang menenangkan hati, atau siapapun yang di sana.. menjadi faktor penentunya. 

Yogyakarta, belakang teras, 25062020
Comments

Extramaritial “Relationships” & Makan Pagi

9/25/2019

Comments

 
Picture
“Ternyata this marriage thing lebih sulit dari yang kubayangkan. Setidaknya hubungan bahagia yang kubayangkan itu tuntas saat menikah, aku bahagia dalam keluargaku dan gak nyangka kalau ternyata perasaaan-perasaan tertarik dan dinamika hasrat dengan orang lain selain pasanganku. Jangan-jangan bayangan idealku atas diriku yang setia itu omong kosong. Aku tuh bahagia ama keluargaku dan tidak ada yang kurang, setiap kali aku melihat mereka, damn! Aku begitu mencintai mereka, dan aku tak pernah mau melukai mereka.. tapi itu ga berhubungan dg rasa-rasa yang muncul..”
.


Read More
Comments

Pengorbanan, Keberserahan, dan Penghargaan: Matinya Pertarungan Rasionalitas dan Hati

8/11/2019

Comments

 
Picture
Malam itu, takbir berkumandang. Memecahkan tembok pertahanan yang sudah seminggu lebih dipasang untuk menekan dalam-dalam lara, kehilangan, dan sedih tak berujung. Mendadak baru sadar, ini Idul Adha.    

Sedih itu tumpah. Di tengah seruan takbir yang tak terhindarkan bersenandung di tiap sudut kota. Bumi Mataram turut renta dan lindu. Sepi malam yang dingin digetarkan oleh seruan takbir, saat Ganesha menyapa lembut dari kejauhan; “tidak apa-apa”, memecahkan seluruh pertahanan air mata. Tepat di joglo sepi berhadapan dengan secangkir teh poci, dan mendadak semua tenaga untuk menghisap nikotin terhenti. Terisak kehabisan nafas.
​
Idul Adha, apa yang sudah kau korbankan sahabat? 

Read More
Comments

The Wedding: Untuk yang Berani Menghidupkan Cinta.

8/9/2019

Comments

 
Picture
How would you feel, if you can witness one of your dreams unfold and comes true?
​

Read More
Comments

Time, death, and imagination

7/8/2019

Comments

 


There are no death.- quoted.
Every since childhood, I had always wished for death. This may seem sick at all levels of rationals, psychology and science; but it was the only consistent wish that lasted to this point. My first memory of that thought was when I was about four years old. And no, there are no rational conditions that may possibly lead to this condition. I had a pretty cheerfull childhood, surrounded by a whole intact family, endless financial support, we were tight with stories shared, there was never one dinner left without sitting on the dinner table together, and all that grand family life usually depicted in the media of a happy healthy family lifestyle. This was really no condition where death would enter the mind of any normal child, none the less that of a four year old.
In my younger years I had at least five identical repeated dreams, with exact happenings and endings. Ones I can remember and narate perfectly. It was as if it came in waves for certain years. One exact dream lasted for 3 years, another for another 3 years, and so on. This made it really hard to not remember every detail of it. In first grade art classes,  when every child drew scenery or happy families, whilst I repeatedly drew the apocalypes of the world ending. It was basically a reflection and the exact picture of what i saw in my dreams.
Death was a wish that came without source. And dont get me wrong, I wasn’t depressed or anything of the such. It wasn’t something wished in sadness or in excitement. It was just there. Its like when someone asked if you’d like burgers or pizza for lunch, when you’re not all that hungry and lightly say without too much consideration a choice of the two. In the same notion, I would answer death. Yet I was a cheerful child, full of life.
I never really thought about it all back then. There was really nothing much to think of as a child. Teenage years was a different story. As moments unfold and begin to understand the world; stress, challenges, problems, and so on. The idea was thought in a more comphrehensive state. It continued as a young adult, adult, and to the obvious to this moment as I’m basically writting about it. The death wish was basically consistent among the years. But, no. I am NOT suicidal, if that question crossed your mind as you are reading this. Not that there were moments where I didn’t wish it so badly that I didn’t try once, twice or trice, but I was and am not suicidal.
Death wasn’t something you could pick up everytime you wish to. It would be a waste of time and absolutely useless trying to do so. A few NDE (near death experince or in bahasa mati suri) that I had experienced basically firmed that sense. If its not your time, it just isn’t. And we dont get to choose our time (this applies in all sense of human experience).
The living and the dead are not endings and beginings. May be this was the underlying believe that never gave me the suicidal state. Death doesnot end any agony or any problems you endure. I know this seems quite off from many references, but seriously, have you ever imagined that when in death your soul endure the same undesired complexities as when you were living, just that you wont be in a body? That would really be bomber dont you think?. The body in many senses are gifts of heaven as you endure your soul journey. A journey in which you cannot accelerate, cut, speed, or drop. You just have to go through it until it’s dued, even if it takes a million lifetime. And this is not a biased religious based argument, isnt all religion states where in a certain intrepretation we were given a chance to live again and again.
So why does death constantly cross my mind? Its not that I’m excited to die or something. Its not something I look forward to, as I feel that it’d just be another agony in a different dimension. The death wish is not a wish to not live. The thing is, I do not see life and death as opposing conditions. Being alive doesnot merely state are not dead, nor is dead stating you are not alive. Dead or alive just refers to the kind of medium in a journey you like or not have to finish. And I guess, it came to concious and awareness at an early age that the journey is getting too weary. I was just tired of being alive or dead. Tired of embracing it all. And embracing is not even a choice. We have to embrace all conditions to the fullest, or this journey just never ends. Living and death are both equally rejoiced. Timeless infinity only seems blissfull to those who hasnt yet endured them.
Having thoughts of death, does not mean that I do not mourn of death. Loss will always be detested and an agony, of the living. Its not something we could skip, erase or deny. Loosing someone dear is encruiciating in every aspect. And it is an agony, we all share and emphatize.
It is death that gives life meaning, and as the opposite also applies, it is living that gives death meaning. It’s all very scary in many ways, because the thing is.. its not about life or death.. it is always about between the two continums. The walk, the journey between the two points. The challenges we choose to take, and the patience we merely need to embrace.
 
 Sleepless, belakangteras, 09.07.19
 


Picture
Comments

Kelamin dan Kemanusian: Dua Cangkir Kopi, Sepotong Cinta, Satu Senja

5/23/2019

Comments

 
..gw bener-bener gak paham, baru aja dia itu bareng ceweknya, lalu pergi pijet plus ama bo cewek lain. I dont get it. Ada gitu orang yang memperlakukan pacarnya kaya gitu ?”

.. aku meliriknya. terdiam. ekspresi datar. Meneguk dalam kopi yang tersaji.

“lu diem aja. Buat gw ga masuk akal. Comm’on man... what kinda human does that? It’s disrespectful. Lu yang expert relasi..  menurut lu gimana?”.
--
Aku menghela nafas panjang. Mendadak kelelahan. Relasi adalah topik yang sudah kuhindari sejak ujian terbuka dan sekian tahun babak belur meresapi kisah percintaan, perselingkuhan dan asmara.  Sebagai “pengamat”, ada sesak yang luar biasa, mendapati segala pengetahuan tidak cukup untuk membawa perubahan untuk memanusiakan manusia dan  berujung frustrasi yang berlebihan. Sebagai “personal”, ada sesak yang luar biasa, memahami perlakuan serupa, tidak hanya saat berjauhan tapi juga tepat lepas pertemuan. Paham penuh rasanya, mengalami dampak kompleksitas psikis dan sakitnya diperlakukan demikian, berulang.

Hening. Berharap topik bergeser. “harusnya kamu lebih bisa menjawab itu, lu yang cowok”, sanggahku sambil lalu. Dia hanya menatapku tajam, menanti jawaban. Aku menghela nafas panjang. Menanti rasa yang mendadak bergerak tak karuan menata diri. Menghimpun tenaga untuk menyampaikan yang immaterial, tanpa ekspektasi dipahami.
Tanpa tanda-tanda berubahnya topic, aku meresponnya.
--
 “..kau tahu.. ada hal-hal yang tidak dapat diterima otak manusia dan secara otomatis mengarahkan perilaku kita? Semacam basic operating system yg alamiah. Misalnya, sulit buat kita menerima kalau anak kecil dianiaya, atau pembully-an, atau sulitnya menerima tindakan genocide ras dan etnis. Secara alamiah otak manusia tidak dapat menerima dan terganggu dengan ketidakadilan. Itu alamiah dan terbukti secara ilmiah. Manusia akan menghindari semua perilaku yang menyalahi keadilan manusia lain. Buku The Moral Gene, memaparkannya dg sangat manis, bila kau pernah membacanya”.

“Kau mau menggunakan argumentasi moralitas untuk mendasari kalimat sederhana atas..  you don't do things like that to people you love?".

“Engga, bukan moralitas, tapi kerja logika. Meski moralitas adalah kata kunci yang menegaskan hubungan seks dan manusia. Sebagaimana dipaparkan oleh Darwin dalam The Decents of Man (1871). Aktifitas seks buat manusia adalah pilihan. Bukan kehilafan, bukan kebosanan, bukan juga berbagai argumentasi berbasis kebutuhan psikologis dan biologis. Semua aktifitas seks bagi manusia adalah pilihan, bersama dengan rasionalitas dan konsekuensi yg menjadi bagian dari pilihan itu. Tapi aku tidak membicarakan moralitas. Ini tentang struktur logika yang putus terhadap keadilan yang bermuara dari penyalahgunaan kuasa. Sedangkan kalimat “you dont do things like that yo people you love”.. ya.. ada benarnya... bila kau percaya cinta hanya hidup di ruang tanpa kuasa, ala Giddens. Hanya saja kalimat itu, terlampau abstraktif dan serat kultur. Pertama kita perlu membedakan tiga hal spesifik yang dipaparkan disini: cinta, seks, dan relasi cinta. Saling berkelindan sekaligus terpisah.  

Berapa sering kau dengar cowok bilang cinta dan seks adalah dua hal yang terpisah? Bukan dalam upaya membenarkan apapun, tapi.. itu memang dua hal yang terpisah. Love is.. something that can just be out there not connected to daily things we do. Seks adalah aktifitas kebutuhan biologis semua orang. Dalam konteks industri rekreasi berhubungan dengan seks, itu juga sepenuhnya berbeda. Sebagaimana bisnis, ada pasar hasrat, ada profesi, ada kebutuhan. Dalam sudut pandang industri hasrat manusia, kita mendapatkan pasar dengan berbagai profesi gigolo, prostitutes, dan beragam bentuk tempat rekreasinya. Itu semua hal yang dapat dilihat secara atomistik. Tapi, kalau bicara kita adalah relasi, sebagai mana tadi temen lu pacaran dan lalu cari bo atau pergi ke industri rekreasi seks, maka basisnya adalah relasi. Cinta, sebagaimana orang sering menggunakannya sebagai dasar perilaku, sebenarnya tidak berhubungan. Bicara data saja, alasan terjadinya perselingkuhan itu, bukan karena seorang dalam ikatan relasi itu tidak mencintai pasangannya. Perilaku tidak setia terhadap pasangan, dalam bentuk apapun – keintiman seksual, keintiman wacana, keintiman psikis, apapun – tidak pernah karena orang itu tidak mencintai pasangannya. Bukan itu. Perilaku itu ada karena orang itu tidak menghargai pasangannya. Di sinilah ia menjadi serta kultural. Lebih lanjut sebenarnya, bukan sekedar tidak menghargai pasangannya, tapi tidak menghargai relasinya. Andai mau dihubungkan dengan cinta, jalurnya masih panjang; urutan rasionalitasnya dapat diawali dari tidak menghargai, melahirkan tidak ada percaya, mengakibatkan berhentinya keterbukaan, melahirkan hambatan komunikasi,  dan sampai pada titik hilangnya ruang emosi cinta untuk bisa berkembang, dan... well... secara menyesatkan banyak orang merangkumnya dengan berkata kalau cinta tidak akan begitu. Karena itu pula sangat berbeda bentuk relasi yang umumnya kita tahu, dengan konsep polyamori yang memastikan ruang dialogis itu ada. Jadi sulit untuk untuk bilang itu masalah cinta, bisa jadi temen lu ngomong ama ceweknya kalo dia mau ngent*t cewek lain, dan itu berarti bukan soal cinta karena masih membuka ruang dialogis itu”

“So this is about respect?”

“Well.. you said it your self in the begining. Its disrepectful. Tapi.. di sinilah sebetulnya menjadi kompleks. Kembali pada tesis awal bahwa secara natural, otak manusia otomatis tidak menerima perilaku yang melanggar keadilan. Hanya saja di dalam masyarakat, kita fasih membagi manusia dalam beragam kategori, dan dalam kategori-kategori inilah relasi kuasa bermain untuk membenarkan apa yang adil dan tidak adil. Dalam relasi cinta heteronormatif ekslusif sebagaimana konteks yang kita bicarakan saat ini, maka makna superstruktur masyarakat yang patriakal, memberikan ruang kuasa lebih pada laki-laki daripada perempuan. Ini merupakan privilase yang dimiliki lelaki, namun sejauh mana lelaki itu menggunakan privilase dari relasi kuasa itu meletakan elemen penghargaan atas manusia lain. Hanya saja, terlalu banyak privilase yang dikuatkan dengan beragam normalisasi, bahkan disalahgunakan untuk menciptakan identitas maskulinitas. Normal untuk lelaki tidur dengan banyak perempuan, atau normal untuk lelaki bermain tangan, hingga keharusan untuk mencapai indikator-indikator itu semata untuk menjadi lelaki... you know.. things like that. Dan dipandang sangat tidak normal bila kebalikannya. Normalisasi yang sering hadir juga muncul dalam argumentasi kebutuhan dan sudut pandang atas seks bagi lelaki berbeda, atau praktik ini ok sepanjang pasangan tidak tahu. Tidak banyak lelaki yang bisa keluar dari stereotype itu. Dan tidak banyak orang yang bisa menahan untuk tidak menyalahgunakan kuasa privilasenya. Dan sayang menurutku, yang seharusnya menjadi hal yang normal, masyarakat kita malah sibuk memuji karakter yang bisa, tidak menyalahgunakan privilasenya. You know... kaya pejabat yang bisa potong antrian tapi memilih ngantri, kita anggap sebagai hal yang wow banget padahal.. thats basically how ‘adil’ works dengan tidak menyalahgunakan kuasa.  Jadi.. dalam kompleksitas ini, faktanya sederhana, ini masalah penyalahgunaan privilase relasi kuasa dan sejauh mana orang tersebut menghargai pasangannya setara atau tidak setara sebagai manusia atau jatuh dalam obyektifikasi dan meletakan perempuan sebagai second sex secara harafiah. Ini, bila bicara relasi; karena bagaimanapun relasi memiliki elemen saling menghargai. Bila mau tetap ‘adil’ sederhananya jangan masuk dalam relasi, sehingga tidak perlu ada penyalahgunaan kuasa. Mungkin hal ini tidak dia sadari, mungkin dia sadari. Tapi bicara tentang struktur makna begitu rumit, karena itu masalah keseluruhan sudut pandang realitas yang dibangun oleh masyarakat, dan akan kembali pada dua elemen penting, pertama karakter orang tersebut keluar dari stereotipe dan yang kedua, bila percaya dengan otomatisnya otak kemanusian, itu masalah logika makna dan sangat berkaitan dengan tingkat kecerdasan orang tersebut. Komentar terakhir cuma sarkas.. tapi begitulah.. itu komentarku”.

Aku meneguk sisa kopi di cangkir yang tersaji, sembari memperhatikan sahabat lelakiku mengangguk-angguk. Ia membiarkanku menikmati jeda dari gejolak kemuakan, sebelum kemudian memecah hening sembari menatapku tajam.
“Hmm... bila semua otak manusia tidak menerima ketidakadilan, maka, kenapa kamu.. atau perempuan pada umumnya di sini, menerima segala ketidakadilan itu. Relasi cinta macam apa yang dibangun?”

Aku menatapnya nanar. Entah tertangkap sebagai lelah, marah atau sebagai mana yang kurasa sedih yang mendadak menyeruak di hati. “Well... “ menghela nafas panjang. “to be honest... i am wondering the same thing.. tapi aku hidup di masyarakat ini.” Dia memincingkan mata.  “Sebentar, sebelum lu protes.. jawaban buat pertanyaanmu panjang bro dan kopiku sudah habis. Tapi soal relasi cinta macam apa.. singkatnya, sebuah relasi, iya.. tapi cinta.. mungkin bukan di situ tempatnya”.

Senja menyambut kita, dan percakapan itu luruh dalam langkah kesibukan ibu kota.
 
 
Jakarta, Februari 2019
​
Comments

Catatan Melawan Kanker

4/23/2019

Comments

 
Seharusnya, aku bergegas mengetik kisah Kinara-kinari yang sudah mendekati tenggat waktu pekerjaan. Tapi seperti biasa, semakin banyaknya tumpukan pekerjaan yang dekat dengan tenggat waktu pekerjaan, malah tidak disentuh dan beralih mengerjakan hal lain. Hahaha... aku tidak tahu apa ini juga terjadi pada orang lain. Kinara-Kinari, adalah simbol cinta dan kebersamaan, dan dalam perenungan itu.. aku terbawa pada gambaran ayah-ibuku. Sepasang suami-istri yang bisa dibilang memberikan contoh kebersamaan yang terlampau tinggi dan ideal untuk diwujudkan. Ayahku masih saja memberikan ibuku bunga ditengah umur anak-anaknya sudah mendekati angka 4! Bersama asam-garamnya, mereka mewujudkan kebersamaan, romantisme dan cinta yang sulit untuk tertandingi. Semacam Kinara-Kinari dalam wujud manusia.  Ya.. alih-alih mengerjakan yang seharusnya kukerjakan.. pikiranku terbawa pada ayah-ibuku yang kini sedang berada di IGD.. sembari melihat satu draft buku disamping laptop... buku tulisan ayahku “Esok Matahari Bersinar: Catatan Melawan Kanker”.

Dalam jangka waktu dua setengah tahun lepas pensiun dini, sudah tiga buku dihasilkan; “Nandur Ngunduh: Dari Pemikiran ke Aksi Perubahan” (2017), “Di Penghujung Lorong Kehidupan” (2018), dan “Esok Matahari Bersinar: Catatan Perjuangan Melawan Kanker” (2019).

Ayahku memang sosok yang selalu produktif, idealis, dan karakternya penuh dengan integritas dengan semboyan yang tampaknya sudah melekat berbunyi “kontribusi publik”.

Buku pertamanya berbagi mengenai pemikiran dan aksi pemberdayaan masyarakat, yang mewarnai hampir seluruh karirnya di lembaga internasional dalam wilayah kerja Afrika dan Asia. Buku tekstual ini mudah dicerna dan aplikatif untuk digunakan publik dalam hal pemberdayaan masyarakat. Buku kedua dan buku ke-tiga bersifat lebih personal yang berpusat pada perjalanan kehidupan dengan belahan jiwanya melawan kanker. Mama, telah bebas kanker payudara sekian dekade lalu, kini kali kedua ia berjuang melawan kanker kedua kalinya di tulang dan deretan organ lainnya.  

Permintaan untuk memberikan catatan maupun testimoni pada draft buku ke dua maupun ketiga, hingga kini belum mampu kusanggupi. Mungkin karena diriku menjadi bagian dari cerita, mungkin karena terlalu dekat, mungkin karena terlampau emosional; catatan akan terasa terlampau sempit sedangkan testimoni akan terasa terlalu dangkal. Selain, tentunya kita (anak-anaknya) memiliki subyektifitas dan kisah pengelaman sendiri dari peristiwa yang saling mengikat; yang mungkin suatu ketika akan kami tuliskan.

Kelahiran buku-buku ini memiliki sejarah, motivasi dan harapan tersendiri. Aku tidak akan menceritakan semuanya, khusus untuk yang terakhir.. aku tahu bahwa “Catatan Melawan Kanker” bukan sekedar berbagi pengalaman, namun hadir dari sebuah kegelisahan atas minimnya referensi mengenai orang-orang terdekat, keluarga, dan lingkar dalam orang yang melawan kanker dan berjuang bersama melawan kanker. Semangat mengetik papa diawal telah diwarnai oleh kegelisahan itu, dan dalam banyak jalan yang mungkin tak tampak aku selalu mengagumi semangatnya.  Meski aku belum benar-benar tuntas membacanya, mungkin buat teman-teman disana yang mengalami hal serupa, semoga buku ini dapat memberi semangat bahwa anda tidak sendiri.

Masih dalam bayangan Kinara-Kinari.. tampaknya aku harus bergegas mengerjakan tangungan.
 

​Belakang teras, 23.04.2019
 
Bila Anda tertarik, buku-buku tersebut dapat diperoleh dari penerbitnya di Yayasan Peneleh, atau bisa pesan saja disini. Dengan harga.. yang nanti saya akan tanyakan ke penerbit. Namun, khusus untuk buku ke-dua, sayangnya masih menjadi dokumen keluarga yang dipertimbangkan akses publiknya.  
 
 
Picture
Comments
<<Previous
    Picture

    on this blog

    ​Just ordinary day to day notes.. But as we know.. there is nothing normal in this world.

    I'm a dreamer, for life offers only thus. I'm a wanderer, for i believe all possibilities

    ​I'm single, though I'm rarely available. I'm a fiction in the reality of the mind.

    RSS Feed

    Archives

    December 2020
    October 2020
    August 2020
    June 2020
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    January 2019
    July 2017
    June 2017
    March 2017
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    April 2016
    August 2015
    February 2015
    July 2014
    April 2012
    December 2010

    Categories

    All
    Abuse
    Arymami
    Bahagia
    Berserah
    Birthday
    Borneo
    Buku Sejarah
    Camus
    Catatan
    Catatnan
    Cinta
    Coffee
    Death
    Delusi
    Dianarymami
    Eglish
    Extramaritial
    Gender
    Happiness
    Happy
    Heartbreak
    Humanity
    Jingga
    Kalimantan
    Kekerasan
    Kekerasan Seksual
    Kesehatan
    Keterputusan
    Kurban
    Lebaran
    Lelaki Tua
    Life
    Love
    Maaf
    Makna
    Marriage
    Medis
    Melepaskan
    Menghargai
    Menulis
    Mudik
    Note
    Notes
    Operasi
    OR
    Parenting
    Penyakit
    Percakapan
    Pulang
    Rasa
    Relasi
    Relasi Keintiman
    RS
    Sakit
    Sejarah
    Seks
    Single Mum
    Single Parent
    Sisifus
    Sukamara
    Takut
    Tour De RS
    Valentine
    Violence
    Waktu
    Wedding

  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About