arymami
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About

learning notes

trust, seks, keintiman, dan sakralitas

5/29/2013

0 Comments

 
​Setialah pada satu pasangan! 

Rasanya terlalu sering kita mendengar slogan itu. Tapi dalam era saat ini?? Rasanya naif. Terlepas dari semua pengetahuan terhadap realitas ini, ada kepercayaan dan mitos yang mengakar tentang kekuatan “Cinta”. Bila kau cinta, pasti kau akan setia. Bukankah sedemikian sederhana? Setidaknya, demikian kita percaya. Apakah Anda percaya? Bila iya.. Anda tentu adalah satu dari sekian juta lainnya. 
​Nilai universal cinta, telah mengakar kuat menjadi mitos yang bergerak dalam struktur budaya (elemen-elemen budaya) dan budaya (kekhasan satu wilayah dengan lainnya) pada setiap wilayah secara global. Mitos ini pun telah diafirmasi dan direproduksi oleh beragam produk media. Cinta, keintiman, kepercayaan, adalah satu rangkai nilai yang tak terputus. Nilai-nilai inilah yang mewarnai hampir semua ekspresi keintiman : seks, pernikahan, dan pacaran. 

Apakah ada yang salah dengan rangkaian itu? Saya tidak berani menjawabnya. Ruang-ruang nilai dan kepercayaan demikian subyektif dan tidak mungkin untuk diintervensi.. dengan demikian tak perlu diperdebatkan. Namun, beberapa hari ini, beragam hasil penelitian memaksa untuk menilik kembali ruang-ruang keintiman berkaitan dengan epidemi HIV/AIDS di Indonesia. 

Berbicara mengenai HIV/AIDS, pastinya memahami bahwa penyebarannya mayoritas melalui jarum suntik dan hubungan seks tanpa proteksi. Fokus utama dari penyebaran ini selalu distigma melalui prostitusi. Angka statistik pun akan mendukung evidensi, terhadap populasi kunci. Hal ini mengakibatkan banyak sekali orang merasa “bersih” sepanjang mereka tidak bersentuhan dengan aktivitas dalam kelompok kunci. Asumsi ini pun yang digenggam para pemegang kebijakan dalam melayani dan mencari data terhadap penyebaran HIV/AIDS. Ambil contoh saja: anggaran negara banyak digelontorkan untuk tes dan perawatan HIV/AIDS pada lingkar satu dan lingkar dua kelompok kunci. Sedangkan, pengidap HIV/AIDS kini meningkat dan banyak ditemukan pada ibu rumah tangga, yang tidak mendapatkan fasilitas yang sama untuk cek kesehatan. Dengan demikian, bisa dibayangkan berapa banyak bayi yang akan terlahir sebagai ODHA. Persoalan ini memang menyisakan begitu banyak variable lain yang terjalin kompleks dalam keseluruhan sistem dan struktur sosial-budaya . 

Misalnya saja: variable ekonomi. Pada tahun 2009, angka HIV/AIDS meningkat tajam seiring dengan pembelian seks komersial. Menelusuri lebih lanjut, ada peningkatan gaji dan sertifikasi pada PNS seluruh Indonesia kala itu. Seks tanpa proteksi pada pekerja seks juga lebih mahal dari seks berproteksi, dengan sejumlah hutang yang perlu dibayar, banyak pilihan untuk melayani seks tanpa kondom. Atau variable negosiasi: mayoritas pekerja seks gagal mengajak pelanggan menggunakan kondom karena tidak memiliki kemampuan argumentasi. Atau variable budaya: seks berkondom menyalahi budaya yang telah mengakar di Papua, hingga isu-nya meluas pada persoalan ras, dimana asumsi yang berkembang adalah keinginan ras Jawa membunuh ras Papua. 

Tapi saya tidak ingin berbicara mengenai populasi kunci, namun tentang relasi-relasi keintiman diruang sosial dan budaya saat ini. Dimana relasi-relasi tersebut menjadi penggerak utama penyebaran epidemi tanpa deteksi. 

Fenomena-fenomena relasi keintiman pada era ini dapat disebutkan beberapa : 1. Peningkatan seks dengan pasangan seks non-komersial (perselingkuhan), 2. Peningkatan seks dengan WPS tidak langsung (pekerja seks yang tidak tercatat/part-time), 3. Peningkatan difusi keintiman (menjadi dampak dari perkembangan media baru), 4. Peningkatan seks sebagai rekreasi (seneng-seneng aja, sama teman, sama orang baru, dst-nya). 

Fenomena-fenomena keintiman diatas ini tidak bias pengetahuan (perbedaan level pendidikan), tidak bias ekonomi, tidak bias status (menikah atau lajang), dan tidak bias gender, alias perempuan dan lelaki sama saja, meski trend-nya masih menunjukan lelaki sebagai penyebar utama. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor psikologis; seperti kebutuhan akan ’kuasa’, ’tantangan’, dan ’eksistensi’, hingga lelaki lajang dan mayoritas lelaki bersuami akan berhubungan seks dengan pasangan lain (baik dibeli maupun selingkuh). Meningkatnya HIV/AIDS dikalangan ibu rumah tangga, juga tidak menutup kemungkinan atas tingginya angka perselingkuan dan seks gigolo dikalangan wanita. Tapi dari semua ini ada satu variable yang berbeda, yaitu ’pengalaman’. Individu yang berpengalaman (atau pernah mengalami seks dengan pasangan berbeda) akan cenderung mengulangi dan meningkatkan jumlah pasangan. 

Data penelitian melalui metode rantai relasional memberikan gambaran yang cukup mencenangkan. Hal ini sama dengan melihat jaringan teman di twitter dan facebook. Ruwet dan saling berhungan, tak terbatas waktu atau tempat. Kita semua connected! Pacar anda mungkin pernah berhubungan dengan A, A berhubungan dengan B, B-C,C-D, D-B, E-C, F-A, dst. Kota A, B, C, D, dst tidak berpengaruh. Terlepas pernah berhubungan seks dengan 2 orang yang berbeda hingga 140 orang yang berbeda (rerata angka beda pasangan berbasis penelitian). 

Lalu apa hubungannya dengan cinta? Kata kuncinya adalah percaya. Keintiman tertinggi berada pada kata percaya. Hal ini begitu menyulitkan (untuk persoalan epidemi HIV/AIDS), sebab kita pahami bahwa ini berlangsung dalam relasi-relasi sehari-hari setiap individu. Beragam hasil penelitian pun menunjukan seks tanpa proteksi selalu berbasis pada kata ”percaya”. Dan kata ini tidak dapat diganggu gugat, sebab ia akan mengguggat cinta. Belum lagi konsekuensi setelahnya, apa Anda akan rela berhubungan seks dengan pasangan Anda saat ia jujur telah berhubungan seks dengan orang lain? Maka, sakralitas relasi cinta (yang tidak selalu harus satu relasi) harus selalu dijaga, atas nama percaya. 

Hal ini menjadi rumit karena kuatnya paradigma bahwa seks sebagai ekspresi keintiman tertinggi begitu eratnya terjalin dengan ”cinta”. Hal ini juga diperkuat oleh jejaring struktur sosial-budaya seperti pernikahan (monogami), norma, agama, dstnya. Kedua, mengenai resiko ganda; kejujuran tidak akan menjadi pilihan bila meletakkan individu dalam resiko lain (seperti kehilangan relasi). Kedua hal ini telah menciptakan struktur budaya mikro berbasis perilaku yang terus berkembang pada struktur makro sosial; seperti yang paling umum adalah perilaku preventif dengan asumsi sehat bahwa hanya dengan pasangan maka saya tidak berkondom (lepas dari itu saya selalu menggunakan kondom), konsumsi antibiotik berkala untuk menghindarkan diri dari penyakit menular seksual, maupun pasangan seks tetap pada satu waktu. 

Dengan demikian fenomena relasi-relasi keintiman yang kita temui/terlibat sehari-hari dalam harmony dan aman? Setidaknya banyak yang berasumsi demikian. Tidak ada satu individu pun yang tidak merasa bahwa dirinya ”bersih”. Kita masih terlalu fasih menstigma persoalan penyakit seksual ada pada kelompok-kelompok kunci. Namun, epidemi memang tidak pernah menyentuh ranah ’kesadaran’. Pada titik ini, kian essensial untuk menyimak kembali relung keintiman, kepercayaan, dan cinta. 

Kata-kata bila cinta maka akan setia, dalam konteks ini tampaknya perlu direkonstruksi. Tentu dengan memisahkan persoalan seks dengan keintiman cinta; lalu menggesernya dengan bila cinta maka aku akan cerita semua kegiatan seks dan perilaku seks anda dengan pasangan Anda. Entah apa itu dapat terlaksana, menilik diri tentunya. Dapatkah kita menerima maupun jujur berkata tentang seks komersial, seks perselingkuhan, onani, masturbasi, oral seks, maupun ciuman; karena masih terlalu banyak yang memprioritaskan perilaku beresiko hanya pada hubungan intim (memang yang paling mudah), dan jarang memahami pertukaran cairan tubuh seperti melalui lubang gigi (emang kita ngecek pasangan kita giginya berlubang?), maupun luka (seberapapun kecilnya). 

Tampaknya ditengah fenomena relasi keintiman kini, dimana relasi berantai tak terelakan, paradigma akan cinta demikian essensial untuk digeser. Bukan hal yang mudah tentunya, hampir kurang lebih setara dengan perdebatan akan penjualan kondom secara publik yang kontroversial berbasis agama, maupun norma. Apakah Anda sepakat kondom perlu mampu diakses semua orang? Bila iya.. apa Anda sepakat dapat memisahkan persoalan Cinta dalam relasi (berserta nilai-nilai terkandung didalamnya) dengan perilaku personal sex pasangan Anda? 

Entah... bagaimana pendapat Anda? 


Yogya.sleepless.29mei2013
0 Comments



Leave a Reply.

    Picture

    Note to remember

    Picture

    on this blog

    Learning is inevitable .. and as it is a process, what is knowledge if not shared? where would knowledge be without human dialectics

    Blog Contents
    Daftar Isi Tulisan Blog ini

    Archives

    January 2017
    November 2016
    June 2016
    May 2016
    February 2016
    January 2016
    June 2015
    May 2015
    November 2013
    May 2013
    March 2012

    Categories

    All
    Anti Oedipus
    Anti-oedipus
    Arymami
    Bahasa
    Balzac
    Baudrillard
    Book
    Buku
    Cinta
    Deleuze
    Deleuze And Guattari
    Derrida
    Dianarymami
    Dian Arymami
    English
    Foucault
    Gender
    Heteronormatifitas
    Heteronormativity
    Ilmu Sosial
    Intimacy Study
    Java
    Javanesse Woman
    Keintiman
    Konsepsi Manusia
    Learn
    Love
    Love Study
    Masyarakat Skizofrenik
    Perempuan
    Perkawinan
    Pernikahan
    Praktek Kultural
    Psikologi Sosial
    Relasi Keintiman
    Schizophrenic Society
    Sejarah
    Sejarah Pernikahan
    Seks
    Seksualitas
    Sexuality
    Studi Keintiman
    Teori Cinta
    Trust

    Discussions

    Picture
    Picture
    Picture

    RSS Feed

Photo used under Creative Commons from Dean Hochman
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About