arymami
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About

learning notes

Theory of Love

5/17/2015

0 Comments

 
​Love. Cinta. Ah.. masih juga membahasnya. Sudah dari jaman entah hingga saat ini, istilah paling absurd dan dipercayai masih terus coba dipahami. Terlalu banyak yang mengatakan ‘sudahlah’ (sebagai tanda menyerah) atas keterbatasan manusia untuk memahaminya – atau tepatnya berhenti disatu titik pemahaman. Lalu diletakan dalam satu kategori –unknown, misteri kehidupan. Membiarkannya disana, dan dianggap sebagai manis-pahitnya kehidupan. Tidak terlalu signifikan untuk dibahas, cukup dirasakan. Toh dia dapat dapat datang dan pergi, seakan menyatu dengan ekologi peradaban manusia, kau enyahkan atau kau raih, pun kondisinya masih sama. Dan bergulirnya satu dekade ke dekade selanjutnya, manusia beradaptasi berbagi ruang kehidupan dengannya. Karena dia mengada, tanpa diminta. Tak terlalu berbeda dengan istilah Tuhan yang juga kita letakan dikategori yang sama, masih terus dicoba pahami tanpa mampu menyentuhnya, tidak mampu diurai namun diyakini, dan mau jumpalitan kaya apapun juga dia meng-ada, dan kita berbagi ruang kehidupan denganNya. 
​Upaya untuk memahaminya tentu mengupas yang paling dekat dengannya. Karena hanya itu yang sampai ini baru bisa dilakukan. Kita mencoba untuk mengupas dari praktek relasi itu sendiri, serupa dengan bagaimana kita mengupas memahami agama, sebagai medium mendekati istilah ‘unknown’ ini. Sehingga kita berselencar dipermukaan kulitnya. Sebagai upaya rasionalisasi dan mendapatkan legitimasi pengakuan pengetahuan (kesepakatan bersama tak terbantah dalam mengetahui apa itu cinta) maka segala bentuk pendekatan obyektifikasi dilakukan. 

Tapi sebagaimana pembedahan obyek ‘sosial’, senantiasa ada deviasi X-factor yang dilibatkan, lalu kita menguncinya dengan menyepati eksistensi disclaimer namun pada tingkat yang lebih luas, perdebatan antara yang obyektif dan subyektif terpantik mencari ruang pengakuan “ini belum tuntas terpahami”. Ambil contoh dalam strukturasi, bang Giddens berupaya menutupi jurang teoritik dengan mengikutsertakan para agen, masih memiliki ‘celah’ perbaikan, Archer masuk mengupayakan menyatukan jurang kultural di para agen. 

Tidak pernah ada yang pasti di ilmu sosial, selain ketidakpastian itu sendiri. Dengan demikian, ilmu sosial adalah ilmu of the unknown (mulai dari rimba metafisiknya, ontologinya, epistemnya, dstnya). Semua menjadi hamblur, dan kembali pada kemampuan diri untuk menyampaikan apa yang ada di otak kita sama ditangkap oleh otak yang mendengarkan kita. Berserah penuh pada argumentasi, kemampuan persuasi, kemampuan mem-float-kan pikiran kita hinga diakui beragam sisi. Tidak kurang lebih lah demikian siklus paradigma yang kita pelajari di basis semua metode penelitian. Bisa jadi sepenuhnya validasi pembedahan obyek sosial sebagai pengetahuan sepenuhnya bergantung pada ‘komunikasi’. Ilmu di sosial adalah ilmu mungkin, hingga ‘the theory of everything’ sekedar menegaskan ‘mungkin’. Tapi.. bukankah ‘mungkin’ menjadi salah satu keyakinan essensial yang kita kejar dalam semua misteri? Ilmu pengetahuan jadi berfungsi membunuh kemungkinan (bayangkan Anda sekolah hingga doctoral sekedar melawan pembunuhan kemungkinan). Sebab menghidupkan kemungkinan hanya mampu dilakukan dengan menutup kemungkinan. Dan dalam proses yang sama, disisi lain menguatkan keyakinan. Dengan premis yang sama, seberapa banyak Anda telah menutup cinta untuk membiarkan cinta masuk? Sekedar menguatkan pada keyakinan anda sendiri. 

Perdebatan dan perkembangan mengenai cinta secara teoritik (sebagai upaya manusia mendapatkan paham sama atas makhluk ini) bersiklus serupa dengan dinamika ilmu sosial lainnya. Ia ditarik pada ranah obyektif, ranah subyektif, dan juga ranah diantaranya. Semua kembali berujung pada disclaimer dan x-faktor. Bahkan pendekatan neuro-psikologi, neuro sosiologi, neuroantropology, dan neuro-neuro yang lain, untuk mengobyektifkan semua hal sosial terpusat di otak kita, masih mendapatkan celah x-faktor yang tidak tersentuh. Ada dominasi asumsi – there’s something more and everything is political. Ada metadominasi asumsi –it is for the unknown we live for. Mungkin dalam tata kehidupan sosial kita memberikan ruang untuk ketidakjelasan ini, mengada dalam sebuah batas yang kita sebut sebagai ruang pendidikan. Agar ada satu paham untuk mampu kita prediksi dan mengaungkan yang disebut sebagai perkembangan (dia hadir dalam berbagai istilah,development, modernization, empowerment, dst) semua memiliki rentang nilai tukar yang sama. Demikian juga cinta. Kita bermain dalam rentang nilai tukar yang ada, demikian terlatih untuk menutup kemungkinan, disaat yang sama mengejarnya. 

Dari sekian banyak teori cinta, saya akan mengambil satu yang paling popular diantaranya.Triangle of love. Ia populer karena ia sederhana dan ‘generalis’. Semua teori yang generalis selalu ‘legendaris’ karena celahnya begitu luas.

Strenberg menjelaskan bahwa relasi cinta memiliki interkorelasi 3 unsur : komitmen, hasrat, dan keintiman. Demikian sederhana, hingga pada semua unsur dapat ditafsir dan disesuaikan secara kontekstual. Komitmen mewadahi ketentuan tataran praktis sosial berupa kesepakatan yang merentang secara personal hingga sosial (ambil contoh nilai sosial yang melekat dalam institusi pernikahan, hingga ritual ‘tidak disadari’ ngapel tiap malam minggu). Hasrat mewadahi ranah biologis, yang bergerak pada afeksi fisik (mulai dari jabatan tangan hinga pertukaran cairan kelamin). Dan keintiman, yang mewadahi ranah psikologis, yang bergerak pada ranah afeksi psikis (hal ini terkait erat dengan komunikasi ala kadarnya hingga ketersingkapan diri yang penuh). Tiga unsur ini dalam relasi cinta antar manusia, dinamis bergerak dalam kadar berbeda untuk menghasilkan beban yang sama. Setiap pergeseran kadar, akan menciptakan jenis relasi cinta yang berbeda pula. Apakah semua unsur harus ada untuk sebuah relasi cinta? Jawabannya ‘Iya’. Ambil contoh, sepasangan suami istri dapat menghidupi komitmen pernikahan tanpa sex bahkan bicara – disebut dalam teori ini sebagai ‘empty love’, dimana hasrat dan keintiman sudah mendekati 0 (dia tidak pernah sepenuhnya habis, karena komunikasi verbal dan nonverbal tidak terhindarkan). Atau sepasang kekasih yang tidak memiliki komitment (mendekati 0) dengan keintiman afeksi psikis yang minim, namun memiliki hubungan seks yang dasyat atau afeksi fisik lain yang kuat, disebut ‘pasionate love’. Semua relasi cinta dapat bertahan selama beban kadar masih memberikan bobot yang sama. Dengan kata lain, saat perpaduan kadar tiga unsur itu tidak memenuhi beban minimal, relasi itu akan kandas. Kurang lebih begitulah teorinya. Dan sebagai teori, jurang, celah, dan lubang diisi oleh berbagai pemikiran. Giddens sebagai contoh, mengeksplorasi ranah kadar dengan negosiasi nilai yang harus setara antar dua pihak (setara bukan berarti sama), pembedahan yang berupaya dilakukan untuk mengerti dinamika relasi dengan kadar batas – apakah dia menyintaiku atau tidak. 


Semua basis teori ini berpusat pada satu ranah relasi (berpusat secara individual dan sangat subyektif- alias dunia berputar di diri orang itu). Beban kadar yang tidak berkurang ditentukan secara subyektif. Ini tentu membuka celah baru untuk membedah bekerjanya teori ini, karena relasi tidak sendiri. Selama ini tentu beban yang kurang di ranah subyektif diasumsikan dipenuhi oleh relasi sosial lainnya (bukan relasi cinta). Tapi – iya kalo nilai beban itu memiliki bobot sama bagi satu pihak dan lainnya, iya kalau relasi sosial dapat memenuhi celah kadar relasional subyek. Kalau tidak? Prostitusi sebagai salah satu pemenuhan ‘hasrat’ misalnya merupakan rasionalisasi obyektif. Tapi bagaimana dengan dua unsur lainnya: komitmen dan keintiman? Bagaimana dengan relasi polyamory (cinta banyak orang) yang berjalan bersamaan? Relasi poly bekerja dengan memenuhi beban subyektif diri dan juga nilai beban relasi yang lain secara kolektif? Semua pertanyaan ini masih bergerak dari pusat individu namun bagaimana bila kita bergerak dari pusat sosial – kemungkinan kita bicara mengenai peradaban yang berbeda, dengan jembatan teoritik yang cukup panjang. Tapi untuk sementara, aku akhiri disini saja. 




Yogyakarta, belakangteras.karenakautakcukupmembohongiku.14052015.
0 Comments



Leave a Reply.

    Picture

    Note to remember

    Picture

    on this blog

    Learning is inevitable .. and as it is a process, what is knowledge if not shared? where would knowledge be without human dialectics

    Blog Contents
    Daftar Isi Tulisan Blog ini

    Archives

    January 2017
    November 2016
    June 2016
    May 2016
    February 2016
    January 2016
    June 2015
    May 2015
    November 2013
    May 2013
    March 2012

    Categories

    All
    Anti Oedipus
    Anti-oedipus
    Arymami
    Bahasa
    Balzac
    Baudrillard
    Book
    Buku
    Cinta
    Deleuze
    Deleuze And Guattari
    Derrida
    Dianarymami
    Dian Arymami
    English
    Foucault
    Gender
    Heteronormatifitas
    Heteronormativity
    Ilmu Sosial
    Intimacy Study
    Java
    Javanesse Woman
    Keintiman
    Konsepsi Manusia
    Learn
    Love
    Love Study
    Masyarakat Skizofrenik
    Perempuan
    Perkawinan
    Pernikahan
    Praktek Kultural
    Psikologi Sosial
    Relasi Keintiman
    Schizophrenic Society
    Sejarah
    Sejarah Pernikahan
    Seks
    Seksualitas
    Sexuality
    Studi Keintiman
    Teori Cinta
    Trust

    Discussions

    Picture
    Picture
    Picture

    RSS Feed

Photo used under Creative Commons from Dean Hochman
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About