Sayangku, saat kau paparkan kompleksitas ‘prinsip’ hidup dalam ‘logika’ menggunakan bingkai fitrah manusia, maka tidak mengherankan bila pertanyaan yang muncul adalah ‘buat apa?’. Argumentasi darwinian hingga deteritorialisasi-reteritorialisasi pasti hanya muncul sebagai ‘onani’ yang kehilangan makna. 'Buat apa?' Adalah pertanyaan tentang essensial tetang ‘apa’. Dalam filsafat, ini masuk dalam filsafat klasik/filsafat essensialism, yang berpusat dengan tanya “apa itu ada”. Landasan yang digunakan dalam filsafat klasik ini adalah logika penguraian essensi, penjabaran struktur metafisika. Fitrah tak lagi perlu diperdebatkan! Bicara tentang kehidupan, sudah jelas manusia hidup berujung dengan kematian. Maka buat apa? Hidup, berelasi, berkeluarga, belajar, dst-nya bila semua berujung pada kematian?. Kunci ‘prinsip’ logika ini yang kamu tandaskan. Kenyataan yang muncul dari sini sudah dapat disimpulkan. Titik nol, kehampaan. Sehingga buat apa kita mengada, bila ada itu sendiri tiada?. Kunci dalam logika struktur metafisika inilah yang ditentang oleh beberapa filsuf. Pertentangan dilakukan dengan menggeser telaah; pertanyaan “apa itu ada” digeser menjadi “bagaimana kemungkinan mengada”?, perspektif deleuzian merupakan satu dari sekian nama yang masuk disana. Maka bentang ‘ontologi dan metafisika’ dikatakan bersifat revolusioner, sebab |