arymami
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About

learning notes

Rhizomic Jatuh Hati : Thesis-Antithesis-Sinthesis

5/26/2016

0 Comments

 
Ada diversiftas praktek relasi keintiman di tengah masyarakat. Berbagai praktek relasi keintiman yang dipandang ‘normal’ oleh masyarakat karena sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dominan, maupun berbagai praktek relasi yang tampak ‘anomali’ karena tidak sejajar dengan nilai-nilai dominan di tengah masyarakat.  Dalam kaitannya dengan interkoneksi psikis manusia dan kehidupan sosial, Deleuze dan Guattari (1977) menawarkan dua alternatif manifestasi perilaku di tengah masyarakat: yang berinti pada oedipal/aboresence dan perilaku yang berinti revolutionary/rhizomic. Secara prinsipil kedua bentuk ini berbasis pada struktur hirarkis pemahaman atas identitas, makna dan kebenaran yang dianggap ada dan tidak ada.

Diversitas praktek relasi keintiman di tengah masyakarat dapat dipandang dengan dua bentuk kemungkinan valensi melalui dasar pemikiran Anti-Oedipus Deleuze dan Guattari. Yaitu, oedipal yang mengikuti struktur hirarkis pemahaman atas makna, identitas dan kebenaran dan revolusioner yang lepas dari struktur hirarkis pemahaman atas makna, identitas dan kebenaran. Dalam pemaparan Deleuze dan Guattari, penting untuk menegaskan bahwa seluruh praktek merupakan proses. Sebagaimana paparan Patton dan Protevi (2002); “For the historical-libidinal materialist Deleuze... the sense of the expérience of love is captured by the English "experiment": that which one does in order to provoke a novel occurrence, to elicit a new event, to produce a new body”. Tidak ada entitas tunggal atas yang oedipal maupun revolutionary. Sehingga praktek relasi keintiman merupakan proses dimana subyek bergerak ke arah paranoia berinti oedipal atau ke arah skizofrenik yang berinti rhizomic. Subyek yang bergerak ke arah revolusioner atau skizofrenik merupakan subyek skizo. Sebagai sebuah proses, subyek skizo adalah hasil dari kegagalan subyek paranoia.

 Selama ini seluruh pemikiran manusia telah berangkat pada akar kestabilan sistem sosial dan pemahaman tunggal. Praktek-praktek relasi keintiman pun bersandar pada kestabilan sistem dan makna. Namun saat kapitalisme dan industri budaya menangkap hasrat relasi keintiman, maka ia menunggangi nilai dan makna yang telah mengakar, sekaligus menyiptakan differensiasi melalui komodifikasi. Menyiptakan dan memperluas dan nilai materi. Kapitalisme secara terus menerus memaksa masyarakat konsumen melakukan refleksi dan identifikasi. Masyarakat dan subyek-subyek yang berkelimpahan diversitas makna serta identitas dan berulangkali menyesuaikan formasi ego (diri sosial) yang ideal. Dengan demikian kapitalisme senantiasa membutuhkan skizofrenia sekaligus menyiptakannya.

Relasi keintiman yang berdasar pada dominasi nilai-nilai sosial bersifat oedipal.  Saat industri budaya mereproduksi relasi keintiman sebagai komoditas ia mengambil bentuk oedipal, yang menawarkan lima paralogisme (Patton dan Protevi, 2002). Nilai-nilai relasi cinta dalam sifat oedipal yang ditemukan adalah personal, bermakna tetap, ekslusif, bersalah dan familial/kekeluargaan. Dalam Deleuze dan Guattari hasrat relasi semacam ini disebut sebagai hasrat yang sakit; “a desire to be loved and worse, a snivelling desire to have been loved...” (1977:334). Sedangkan relasi cinta dalam bentuk revolutionary memiliki tiga karakter dasar secara praktis: cinta sebagai materi (bukan representasi), cinta bersifat sosial (bukan familial) dan bersifat multisiplitas (tidak personal).  

Relasi cinta revolutionary berdasar pada struktur rhizomic, sebagaimana tawaran Deleuze dan Guattari berupa rangkai fenomena impersonal dan trans-historikal yang selama ini ditutup dalam jejaring makna terstruktur. Prinsip bahwa segala hal di kehidupan merupakan proses yang bergerak, maka relasi cinta pun dilihat sebagai arus (flow).
​
Relasi cinta revolutionary dilihat sebagai hal-hal nyata (material) yang mengalir; baik badaniah maupun arus politik tubuh. Relasi cinta merupakan bagian dari hasrat nyata yang tidak dipaksakan tapi menyiptakan pengalaman experimental bagi tubuh (Deleuze dan Guattari, 1977:333). Dalam tataran praktis, relasi keintiman dilihat sebagai hasrat alamiah yang dialami manusia. Menyintai tidak pernah terencanakan, tidak pula dipaksakan, dan tidak diatur. Menyintai menjadi bagian dari eksperimen untuk dialami dan pengalaman manusia.
            Relasi cinta revolutionary mengambil sifat sosial bukan kekeluargaan. Yang dipaparkan Deleuze dan Guattari mengenai cinta yang sosial adalah segala bentuk relasi cinta merupakan symptom yang tidak disadari atas investasi hasrat yang telah diciptakan masyarakat. Satu-satunya investasi sosial dari hasrat hanya mewujud pada pilihan seksual pasangan kita. Segala bentuk ‘pilihan’ praktek relasi cinta merupakan hasil  dari titik temu ‘arus’ dalam masyarakat. Dengan kata lain praktek relasi cinta mengungkapkan “koneksi, disjunksi dan konjungsi arus yang melintasi suatu masyarakat” (Deleuze dan Guattari, 1977:352). Praktek relasi keintiman dengan demikian  merupakan manisfestasi kemungkinan dari dinamika ‘arus’ di masyarakat. Cinta tidak bersifat reaksioner atau pun revolusionary, namun daftar dari kemungkinan karakter reaksi dan revolusi investasi hasrat di tengah masyarakat. Praktek relasi cinta hanya terwujud karena dorongan dan bentukan masyarakat.
            Relasi cinta revolutionary memiliki sifat multisiplitas atau tidak personal. Bagi Deleuze dan Guattari sifat multisiplitas dari relasi cinta harus mempertimbangkan tingkat molekular. Praktek relasi cinta tidak dapat dipandang sebagai obyek relasi pada ranah sosial atau relasi bertujuan pada keseluruhan obyek. Sekaligus, praktek relasi juga tidak dapat dipandang sebagai persoalan personal. Namun relasi cinta perlu dipandang dengan memperhatikan yang sosial dan personal (molekular dan molar). Dimana molekularitas sebagai analisis dari interaksi kontekstual diperlukan. Sehingga praktek relasi cinta senantiasa memiliki sifat multisiplitas, yang dapat menghasilkan beragam sintesis. Sebagai contoh, dapat hadir (sintesis) seorang homoseksual yang oedipal; dimana seoarang homoseksual di tengah masyarakat heteroseksual dapat melaksanakan praktek relasi keintiman di tengah masyarakat tanpa sadar sebagai transseksual pada tataran personal. Dalam kata-kata Deleuze dan Guattari (1977:70); "we are statistically or molarly heterosexual, but personally homosexual, without knowing it or being fully aware of it, and finally we are transsexual in an elemental, molecular sense". Contoh yang lain adalah relasi extradyadic atau keterlibatan extradyadic (EDI). Sebuah relasi (fisik maupun romatis) yang mengacu pada berbagai perilaku yang terjadi di luar hubungan berkomitmen. Dalam EDI, khususnya emosional, kerap ditemukan sintesis antara hubungan yang terbuka yang oedipal. Relasi tanpa komitmen namun berpegang pada nilai ekslusifitas. Sehingga EDI yang kerap di labeli perselingkuhan, juga memberlakukan norma batas perselingkuhan. Relasi polyamorous juga dapat dilihat sebagai sintesis kemungkinan dari ‘arus’ kehidupan masyarakat. Praktek relasi keintiman di subyek skizo senantiasa memiliki sifat multisiplitas yang terbangun dari kombinasi elemen perlintasan hubungan antara obyek dan ‘arus’ dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, senantiasa ada kontestasi nilai yang mewujud secara praktis dalam relasi cinta revolutionary. Dimana diri-diri menjadi subyek yang rhizomic.
            Dalam tiga karakteristik relasi cinta dari subyek rhizomic diatas, maka relasi extradyadic yang dijalankan oleh subyek rhizomic akan memiliki kecenderungan bentuk dan karakteristik rhizomic. Dalam pemaparan praktis maka, pertama relasi extradyadic bagi subyek skizo akan melibatkan sifat material dimana relasi dilihat dan dipraktekkan secara kontekstual. Kedua, relasi extradyadic bagi subyek skizo merupakan sebuah proses yang melibatkan dan diarahkan oleh ‘arus’ sosial dan personal dengan identifikasi diri yang terus menjadi. Dan ketiga, relasi extradyadic memiliki multisiplitas yang mewujud dalam keterlimpahan kontestasi personal (molekular) dalam praktek keintimannya.  
Kondisi skizofrenik dalam relasi keintiman tidak dapat lepas dari konteks sosiokultural masyarakat. Kondisi masyakarat merupakan faktor signifikan dalam kehidupan sehari-hari tiap individu. Saat ini, dinamika industri budaya di tengah masyarakat menjadi konteks yang terjalin erat dalam praktek relasi keintiman. Fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah bergulirnya komodifikasi yang berdampak pada seluruh ranah kehidupan sosial, tidak terlepas relasi keintiman manusia. Relasi keintiman menjadi bagian dari perwujudan ranah libidinal material-historis.

Praktek relasi keintiman individu rhizomic tidak dapat lepas dari konteks sosial saat ini. Diri-diri rhizomic telah tercipta dan didorong oleh kondisi masyarakat kapitalis. Kemungkinan sintesa dari berbagai nilai dan ‘arus’ kehidupan tak elak melahirkan praktek relasi yang tampak ‘tercerabut’ dari sistem dan nilai sosial menjadi sebuah fenomena sosial.
Kapitalisme telah menyiptakan skizofrenia, dan sekaligus membutuhkannya. Hasrat-hasrat revolusionary senantiasa menjadi bagian dan mencari peningkatan ‘arus’ tubuh tanpa organ. Praktek relasi keintiman yang bersifat rhizomic dengan demikian tidak pernah lepas dari menyipatakan pola-pola dominan relasi rhizomic di tengah masyarkat. 
0 Comments



Leave a Reply.

    Picture

    Note to remember