arymami
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About

learning notes

resah diantara : Deleuze, Derrida, Foucault

11/3/2013

0 Comments

 
L​ewat setengah semester dalam perbincangan dg 7 mahasiswa seperguruan, bersama dengan para pembimbing proses pembelajaran, aku kembali resah atas sebuah tanya yg tersusun dlm proposal penelitian saya. Resah karena kian terbuka atas kemungkinan saya terjebak dalam sebuah paradigma keilmuan yg terbatasi demi identitas keilmuan itu sendiri. Resah tanya saya tak dapat tertampung dalam batas keilmuan yg saya tekuni. 

Saya hendak berbicara mengenai masyarakat skizofrenic dalam membentuk keintiman. Asumsi besarnya adalah tanpa kita sadari, masyarakat telah masuk dalam proses kultur kegilaan. Skizofrenik yg saya maksud, diambil dari konsep Deleuze. 
​Membaca Deleuze seperti masuk dalam dunia lain. Karena kebaruan dan logikanya yg tak umum, kita seakan dibawa dalam delirium tanpa batas. Saya menyukainya, dan bukankah kita lelah melihat kehidupan semacam ini? 

Saya menulis ini untuk memaparkan keresahan saya, sekaligus mempertanyakan tentang batas keilmuan paradigma cultural studies, sebuah ruang dg semangat non-essentialism yg sudah lama saya cintai. Sebuah paparan dg harapan masukan dari teman-teman untuk memberi "pencerahan". 

Dalam resah ini, saya ingin mengawali dg membicarakan Deleuze, Derrida, dan Foucault. 
Pemikiran-pemikiran Deleuze mempertanyakan kemungkinan yg terbuka untuk kehidupan manusia, secara spesifik bagaimana kita berfikir mengenai segala hal yang dapat membuka ranah lain kehidupan. 

Sebelum masuk ketiga tokoh ini. Perjalanan filsafat dalam memahami kehidupan manusia mengalami perkembangan yg signifikan. Secara singkat, ada 3 tahap perkembangan. 

Tahap pertama (ancient philosophy) diwarnai dg tanya: how should one live? Ini pertanyaan yg dpt ditelusuri dari Socrates. Sebuah tanya yg mencoba menelaah bagaimana mendekati hidup. Dia memandang bahwa hidup memiliki bentuk. Dan manusia mencari cara untuk menemukan peran manusia dlm semesta. 

Tahap kedua, adalah Modern Philosophy yg menggeser tanya: how should one act? Tanya yg hadir bersama munculnya Immanuel Kant dan Jeremy Bentham pada akhir abad 18. Pada tahap ini pula kebangkitan individualism muncul. 

Pada permukaan kedua pertanyaan itu tampak serupa, sebab bukankah berperilaku dlm kehidupan sama dengan menjalani kehidupan?. Namun, ada hal mendasar yg berbeda. Pada tanya yg pertama, kehidupan dilihat sebagai kesatuan kosmologi, dengan kata lain kehidupan manusia berkonformasi dlm konteks keteraturan kosmologi. Disini juga muncul hirarki dalam kosmologi, dimana setiap mahluk memiliki tempat dan status dalam keteraturan kosmologi. 

Pada tanya kedua, keteraturan kosmologi dibongkar. Manusia tidak menjadi bagian dari satu kesatuan, tapi dinilai atas tindakannya sendiri. Disini pula hirarki atas dominan-submissi dibongkar. Individualism bukan semata melepaskan dari kosmologi, tapi juga melepaskan status dalam peran kosmologi. 

Kedua perkembangan filsafat ini, telah membuat jaman modern sedikit melepaskan perhatian akan keseluruhan bentuk kehidupan manusia. Perkembangan filsafat pengetahuan ini memunculkan beragam persoalan dan tanya. Perdebatan antara ancient dan modern philosophy. Bila menekankan perilaku manusia, maka persoalan Alienasi muncul, manusia akan memisahkan diri dari keseluruhan kosmologi, sehingga keberadaan kita lepas dari eksistensi kita lainnya. Namun disisi lain, penekanan pada perilaku membebaskan makna filsafat itu sendiri, dimana filsafat tidak menentukan kehidupan orang lain. Meletakkan kebebasan hidup ditentukan oleh manusia sendiri. 

Perdebatan ini melahirkan pertanyaan baru. Sebuah tahap dan tanya ketiga, yang hingga kini masih kita geluti : How might one live? 

Tahap ini hadir dengan munculnya Nietzsche. Yg ditawarkan Nietzsche adalah tidak ada keteraturan kosmologi yang perlu di'pasti'kan untuk memberikan makna kehidupan manusia, maupun tidak ada standar yg perlu di'tentu'kan untuk mengarahkan perilaku manusia. 

Pertanyaan dasar Nietzsche ini telah menggiring pemikiran hingga abad 20. Tidak ada tanya mengenai bagaimana kita harusnya hidup, ataupun tanya tentang bagaimana kita menjalani hidup. Namun; bagaimana kita mungkin hidup. 

Tanya ini melahirkan beragam kekhawatiran dan pemikiran. Satre misalnya menyadari bagaimana kehidupan telah memaksa kita berjarak dari kehidupan itu sendiri. Saya kutip: "the structure of society, the weight of history, the legacy of our language all conspire to keep the question from us, and to keep us from it. Our conformity is not solely a result of individual cowardice; it is built into the world we inhabit". 

Para pemikir-pemikir yg menghiasi buku di kelas-kelas pembelajaran kita memberikan gambaran atas struktur-struktur dunia ini dan memberikan jalan untuk melepaskan diri dari struktur. 

Mereka menekankan, bahwa ada kaitan antara cara kita memikirkan dunia dan cara kita mengkonstruksi kehidupan. Untuk membuka ruang pemikiran meraih kemungkinan kehidupan. 

Disinilah Foucault, Derrida, dan Deleuze hadir, mencoba membongkar struktur-struktur itu untuk membuka kemungkinan lain menyikapi kehidupan. Namun ada perbedaan yg jelas antara ke 3 sosok ini, terlebih antara Foucault-Derrida dan Deleuze. 

Foucault memaparkan bagaimana secara historis batas-batas ini lahir dari relasi politik. Baginya atas-batas ini menghilangkan eksistensi kemanusiaan. Ambil contoh abnormalitas yg disematkan pada homoseksual. Abnormalitas ini akan menghabisi eksistensi lain dari diri karena label homoseksual. Dengan demikian, Foucault merasa perlu intervensi atas batas-batas ini, meletakkan kembali ruang eksistensi manusia dalam kehidupan. 

Derrida memberikan perhatian yg serupa dengan Foucault, bagaimana batas-batas ini mengungkung manusia. Seperti foucault beliau melihat batas-batas ini memaksa lahir dari cara kita mengkonsepkan kehidupan. Namun Derrida menemukan ini dalam struktur bahasa. Derrida ingin membuka cara baru untuk memikirkan diri kita, cara-cara yg tak lagi mengkonformasi struktur kehidupan manusia. 

Keduanya mencoba membangunkan tanya : how one might live - dengan Foucault menunjukan yg tampak harus membatasi kehidupan manusia secara faktual hanya merupakan konstruksi historis, dan Derrida dengan memaparkan pengalaman yg tampak tunggal secara nyata adalah cair dan interkoneksi. 

Kedua pemikiran ini pada tahap yg lain masuk dalam kerangka besar ontologis.Ontology merupakan telah akan ada (being/Being). Sebuah pendekatan yang dapat ditelusuri dair Heidegger. 

Foucault menolak ontologi manusia. Abnormalitas misalnya adalah penolakan atas eksistensi manusia. Disini foucault menolak mengkonformasi syarat ontologis dalam rangkaian sejarah. Derrida menolak ontologi pada level istilah yg digunakan untuk memastikan ontologi. Perhatian utamanya pada bahasa yg mengartikulasikan ontologi. Untuk mempertanyakan apa yang ada akan membatasi manusia dalam perilaku konformasi yang menjauhkan tanya akan bagaimana kita mungkin hidup. 

Disinilah Deleuze muncul dg warna berbeda. Dia mendekatkan diri dengan pertanyaan How might one live, dengan tidak melepaskan ontologi namum menyesapnya. 

Bila foucault dan derrida membongkar ontologi, deleuze mencoba untuk membentuk dan menganalisis. Upayanya sederhana datang dari tanya: kenapa selalu saja ontologi diasumsikan perlu ditemukan? Sepanjang hidup kita mencari 'ada' seperti itu bisa ditemukan, kenapa bukan diciptakan? Apa ada aturan atas ontologi? Maka dia menawarkan, mari hapus perbedaan antara kreasi dan penemuan. Keduanya tidak relevan! Deleuze menyarakan, bagaimana bila kita menciptakan ontologi yang dapat menjawab tanya: how one might live, ketimbang menemukan dan menunjukan batas-batas yg ada. 

Disini Delueze menegaskan, bila masih meletakan ontologi sbgmana tradisi yg kita pahami, maka tak ada pembaruan dalam relasi kreasi dan penemuan. Tak akan ada pembaruan dalam identitas dan differiensasi. Oedipus Complex yg ditawarkan Freud, hanya memberikan kestabilan, dan tak ada identitas disana sebab identifikasi itu telah menjauhkan kita bersentuhan dengan ontologi. 

Deleuze menekan, kerangka yang memberikan cara memandang kehidupan bukanlah maksud dari filsafat. Filsafat tidak settle things - it disturbs them. Saya bisa paparkan lebih jauh, tapi sampai disini dulu, resah saya muncul! 

Yg diajarkan oleh Foucault dan Derrida adalah andai kita lihat hidup sebagaimana muncul dihadapan kita, dan bila yg tampak ini sudah melelahkan untuk mencari kemungkinan. Maka kita telah dengan sendiri comitted to conformism. Mereka meminta kita berhenti berpikir tentang ontologi, karena itu tampak natural dan tak terelakan. Deleuze sepakat dg analasis mereka namun tidak sepakat dengan solusi mereka. Delueze mengajak, jangan berhenti berpikir ontologi, tapi cari pendekatan ontologis yg berbeda, yg memberikan kemungkinan lain. Yang intinya adalah difference dan actualization. Dia hidup. Dan dinamis. 

Sampai disini, saya ingin menyampaikan resah saya, meminta pendapat, dan tepat lagi bantuan.. Bagaimana mungkin saya menulis sebuah persoalan perkembangan perilaku keintiman masyarakat era media baru menggunakan kerangka skizofrenic Deleuze, bila tidak ada ontologi yg ditetapkan disana? Menetapkan ontologi, berarti menggeser konsep Deleuze sendiri. Dan bila bereksplorasi dengan ontologi, sebagaimana Deleuze, maka persoalan keintiman ini menjadi studi filsafat atau dilain sisi menjauhkan diri dari fenomena keseharian, yang ingin ditelaah pada awalnya. 

Apa Anda punya saran? 


Yogya.kianresah.2nov2013
0 Comments



Leave a Reply.

    Picture

    Note to remember

    Picture

    on this blog

    Learning is inevitable .. and as it is a process, what is knowledge if not shared? where would knowledge be without human dialectics

    Blog Contents
    Daftar Isi Tulisan Blog ini

    Archives

    January 2017
    November 2016
    June 2016
    May 2016
    February 2016
    January 2016
    June 2015
    May 2015
    November 2013
    May 2013
    March 2012

    Categories

    All
    Anti Oedipus
    Anti-oedipus
    Arymami
    Bahasa
    Balzac
    Baudrillard
    Book
    Buku
    Cinta
    Deleuze
    Deleuze And Guattari
    Derrida
    Dianarymami
    Dian Arymami
    English
    Foucault
    Gender
    Heteronormatifitas
    Heteronormativity
    Ilmu Sosial
    Intimacy Study
    Java
    Javanesse Woman
    Keintiman
    Konsepsi Manusia
    Learn
    Love
    Love Study
    Masyarakat Skizofrenik
    Perempuan
    Perkawinan
    Pernikahan
    Praktek Kultural
    Psikologi Sosial
    Relasi Keintiman
    Schizophrenic Society
    Sejarah
    Sejarah Pernikahan
    Seks
    Seksualitas
    Sexuality
    Studi Keintiman
    Teori Cinta
    Trust

    Discussions

    Picture
    Picture
    Picture

    RSS Feed

Photo used under Creative Commons from Dean Hochman
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About