Pernikahan dapat berarti banyak hal yang berbeda sesuai dengan waktu, tempat budaya dan orang-orang yang terlibat. Nilai, ide, dan ritual terkait pernikahan dapat secara bertentangan, berlainan dan secara distinktif berbeda dari satu kultur, sub-kultur, komunitas, etnik, atau negara dengan lainnya. Banyak bentuk pernikahan yang bagi orang diasumsikan jelas, bagi orang lain tidak terbayangkan. Demikian dapat ditemukan bahwa ada yang percaya pada pernikahan dengan lebih dari satu pasangan, pernikahan dengan sesama atau lain jenis kelamin, maupun berbagai batasan; seperti batasan umur, kesehatan. Tidak ada kebenaran tunggal di sini, selain bentuk dan konsep pernikahan yang berbeda. Di tengah kehidupan global yang membuka arus budaya, persoalan kontestasi pernikahan dan relasi keintiman banyak mengemuka. Tidak sedikit perdebatan yang muncul dari orang korban-budaya atas nama moralitas dan kemanusian mengatur pernikahan/perkawinan orang di korban-budaya yang lain. Sulit ada kesepakatan yang dihasilkan, sebab perdebatan mengenai pernikahan/perkawinan sebenarnya merupakan perdebatan tentang hal-hal yang sama sekali berbeda. Dalam budaya yang berbeda, pernikahan berarti hal yang berbeda. Saat ini asumsi nilai cinta dan romantika dalam relasi pernikahan cukup dominan bekerja dalam kehidupan global. Meski demikian praktek dan makna cinta romantis dalam pernikahan termanifestasi dalam kultur secara beragam, sebagaimana ditegaskan oleh Myers (2010:423-426); “We assume [...] that love is a precondition for marriage. But this assumption is not shared in cultures that practice arranged marriages. [...] Cultures vary in the importance they place upon romantic love”. Dalam perkembangan sejarah, pernikahan sebagai bentuk praktek kultural berkembang sesuai dengan fungsi dan konsep relasi. Dominasi pernikahan yang menekankan pada sifat fungsional kuat ditemukan di masa lalu. Hal ini tidak berarti cinta tidak ada di masa itu, hanya saja cinta tidak selalu dipercaya hadir dalam institusi pernikahan. Bahkan dalam masa kini, praktek pernikahan berlandas fungsi dan tidak berpijak pada emosi cinta banyak ditemukan di seputaran kita. Pernikahan dipandang melalui tataran fungsional mendapatkan fungsinya secara kontekstual. Pada masa awal, pernikahan merupakan cara terbaik untuk memastikan keselamatan keluarga, penguatan dan perluasan jaringan ekonomi, politik, pangan, keyakinan, dan ras/suku/etnik/kultur. Pernikahan mendapatkan tempat terhormat karena fungsinya yang mulia ‘mengamankan’ kehidupan banyak orang. Bahkan begitu lazimnya para suami memiliki hubungan romantis dengan perempuan/lelaki lain dalam pernikahan. Memiliki keturunan, membesarkan anak dan membentuk keluarga tidak berhubungan dengan persoalan cinta dan romantika. Kita lazim menemukan bentuk-bentuk pernikahan semacam ini dalam era kerajaan dan pernikahan yang diatur. Meski banyak yang melihat bentuk pernikahan berbasis fungsi sebagai hal yang usang. Nilai-nilai fungsional yang sama masih kuat mengakar dalam praktek pernikahan saat ini. Faktanya begitu banyak pernikahan tetap dipertahankan untuk tujuan membesarkan anak. Peran agama dalam pernikahan, atau interkoneksi pernikahan dengan nilai transedental keTuhanan diperkirakan mulai menguat pada abad ke-12 dalam kehidupan masyarakat. Pernikahan disaksikan oleh ‘Tuhan’ dan menjadi bagian dari ‘ibadah’ melegitimasi kontinuitas dan perkembangan nilai-nilai agama. Negara pun mendapatkan dan memiliki kepentingan dalam persoalan pernikahan/ perkawinan dengan berkembangnya ide tentang modernisasi. Perkembangan ini tidak terelakan sebab dalam relasi pernikahan tercipta jejaring dan arus ekonomi, politik, serta kekuasaan di tengah masyarakat. Berbagai undang-undang pernikahan pun tercipta, terlebih untuk legalitas yang memperjelas persoalan keturunan dan harta. Semakin kompleksnya masyarakat, pernikahan menjadi legitimasi pengaturan yang rigit khususnya terkait dengan perlindungan harta (Farndon, 2010). Signifikansi institusi pernikahan merupakan bagian dari konstruksi peradaban modern yang essensial dalam kontrol pembangunan negara dan masyarakat secara global. Perkembangan praktek relasi keintiman yang dikenal dengan masa pacaran atau pengenalan, merupakan praktek yang cukup muda dalam kancah dunia pernikahan. Menguatnya era victorian dalam mengenalkan masa-masa pacaran ini secara kultural meresap dan termodifikasi bersama waktu. Hingga kini, tradisi dan ritual pengenalan, pacaran, dan bahkan deretan prosesi pertunangan dapat ditemukan. Kini, isu-isu dan persoalan pernikahan banyak menguat dalam kehidupan sosial. Perkembangan lembaga pernikahan telah dikuatkan dengan batas-batas legalitas, nilai hukum, dan spesifikasi aturan tertentu pada tiap wilayah. Ada standarisasi yang dinyatakan sah dan bentuk lain sebagai ilegal. Persoalan yang menguat kini dalam praktek pernikahan adalah standarisasi pernikahan yang stagnan dari perubahan masyarakat. Budaya telah dibingkai dan disahkan secara ‘modern’ dan ‘legal’ membekukan satu set norma dan mengasingkan bentuk lain sebagai tabu, salah, dan rendah. Dinamika perubahan nilai di tengah masyarakat dinafikan dari bingkai-bingkai dominan yang divalidasi secara struktural. Kompleksitas ini makin meningkat dengan perpaduan arus budaya dan nilai-nilai universal yang diakui secara global. Sebut saja, Hak Asasi Manusia, yang menjamin kebebasan, keselamatan, serta ‘kebaikan’ setiap insan di dunia. Perkembangan nilai, konsep, dan praktek relasi keintiman bisa jadi berlawanan dengan bingkai legalitas pernikahan yang berlaku. Dengan tingginya arus dan transaksi informasi maupun budaya, tak elak kini pernikahan terus mendapatkan tantangan dari konsep relasi keintiman dimata sosial maupun pada tataran personal. Pernikahan sebagai salah satu bentuk praktek kultural relasi keintiman saat ini dapat dirangkum dalam beberapa titik tolak signifikan perkembangan peradaban yang bergeser dari basis pertahanan hidup (survival), penguatan kesepakatan kerjasama hubungan politik dan ekonomi, perluasan peran agama, dan pergeseran melampaui batas prokreasi. Konsep penyatuan dua orang dalam pernikahan dewasa ini telah melampaui batas-patas prokreasi yang selama ini kuat terjalin dalam kehidupan masyarakat. Pernikahan sebagai bagian dari melanjutkan keturunan, memiliki anak, membangun berkeluarga telah bergeser. Konsep hidup bersama dengan tujuan dan motivasi ‘bersama’ menguat dengan kultur penguatan individual. Tidak mengherankan jumlah perceraian meningkat tajam secara global. Di Indonesia saja, perceraian meningkat lebih dari 100% pada tahun 2013. Nilai dan konsep relasi keintiman sedang mengalami transformasi yang belum dapat diperkirakan. Praktek kultural relasi keintiman di dunia digital pun telah memunculkan berbagai fenomena baru yang menggaet pasar dan ekonomi melalui perkencanan online, aplikasi gratis pertemuan, perkenalan, dan hubungan seks satu malam. Fenomena ini dapat dilihat secara terpisah dari praktek penyatuan dua individu, namun secara faktual konsep dan praktek kultural relasi keintiman ini memiliki korelasi kuat dengan pergeseran institusi ‘pernikahan’. Bila begini, bagaimana Anda meyakinkan makna saat ajakan 'maukah kamu menikahiku' memiliki basis fondasi nilai praktek kultural yang sama? Zizekcorner dua, Yogyakarta, 27 April 2016
0 Comments
Leave a Reply. |
Note to rememberon this blogLearning is inevitable .. and as it is a process, what is knowledge if not shared? where would knowledge be without human dialectics Archives
January 2017
Categories
All
Discussions |