arymami
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About

learning notes

Masyarakat Kapitalis dan Diri-Diri Rhizomic

5/13/2016

0 Comments

 
Perkembangan industri budaya di kehidupan global secara signifikan mengubah wajah peradaban. Budaya telah diproduksi dengan dalil-dalil kapitalisme dan dikonsumsi oleh masyarakat. Kehidupan manusia dipenuhi oleh budaya konsumerisme yang tidak hanya bersifat material namun materi komoditas yang bersifat kultural. Seluruh kehidupan manusia telah dipenetrasi oleh komodifikasi.
​
Berbagai kritik atas konsekuensi industri budaya muncul seperti Adorno dan Horkheimer (1979) yang memaparkan gelombang pembohongan massal, dimana industri budaya adalah suatu ilusi untuk ‘sesuatu yang disediakan bagi semua orang sehingga tak seorang pun bisa lari darinya’.
Debord (1979) di sisi lain mempersalahkan proses komodifikasi sebagai sesuatu hal yang telah membuat masyarakat hidup dalam kepalsuan tanpa batas. Sementara itu, menurut Marcuse dalam Featherstone (2001), proses semacam itu akan mengancam aspek vital keberadaan dan kreativitas manusia dengan tertransformasikannya sedemikian rupa nilai-nilai paling personal yang dimilikinya ke dalam artefak pertukaran yang mengandalkan nilai pasar. Hal ini menurut Baudrillard (1997) mengakibatkan suatu proses yang mestinya bisa memberinya makna nyata bagi kemanusiaan secara pelan tapi pasti justru kian kehilangan makna itu sama sekali. Bahkan, manusia kian sulit membedakan mana yang ‘nyata’ dan yang ‘maya’, mana yang ‘benar’ dan yang ‘salah’, mana yang ‘lampau’ dan yang ‘kini’.
​
Industri budaya global tidak semata soal ekonomi, namun juga persoalan makna yang terjerat dalam jaringan yang luas. Ada re-artikulasi kehidupan sosial dan budaya dimana benda-benda materi menggandakan diri sebagai tanda sosial (Hall, 1988). Featherstone (1991) menggambarkan gaya hidup yang terpusat pada konsumsi tanda estetis dimana masyarakat dapat menampilkan individualitas, mengadopsi maupun menyiptakan gaya hidup baru dengan ciri khas pengelompokan benda, pakaian, praktek, disposisi tubuh dan pengalaman. Pasar semakin terdiferensiasi secara sosial mengembangan suatu pluralisasi kehidupan sosial yang memperluas posisionalitas dan identitas yang melekat pada orang biasa (Hall 1988:129). Sebagai contoh iklan dan budaya konsumen yang mendukung identitas baru seperti “anak gaul”, “wanita karier”, lelaki maskulin”, dstnya. Konsumsi menjadi sebuah proses di mana individu menjadi pribadi-pribadi. Identitas merupakan konstruksi dan produk diskursif.

Identitas, subyektifitas, dan perilaku individu dibentuk oleh diskursus dan kekuasaan. Kondisi ini telah melahirkan berbagai kritik mengenai kerja wacana dan kekuatan ekonomi-politik dalam kehidupan manusia. Seperti paparan Foucault (1979) dimana subyek dipahami sebagai konstruksi diskursif dan produk dari kekuasaan, mengatur apa yang dikatakan orang pada kondisi sosial dan budaya tertentu. Persoalan wacana juga melingkupi persoalan ‘bahasa’ yang mendahului manusia sebagai sarana kesadaran diri. Bahasa memiliki peran essensial dalam menyiptakan dunia; It is through language that we constitute the world or put simply, how we talk about the world influences the society we create, the knowledge we celebrate and despise, the institutions we build (Fairclough, 2000).

Kritik atas signifikansi kekuatan wacana bagi perkembangan individu dan struktur sosial telah memberikan pendekatan lain dalam melihat persoalan sosial, namun sedikit yang menjabarkan pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa diskursus tertentu dijalankan oleh subyek tertentu dan tidak oleh yang lain.

Salah satu penjelasan universal mengenai subyektifitas merupakan psikoanalisis yang menadai proses psikis manusia sepanjang sejarah. Freud memaparkan konstruksi subyek merupakan proses sepanjang sejarah yang didapatkan dari hubungan dengan lingkungannya melalui pemikiran simbolis dengan elemen bawah sadar dan kesadaran manusia dimana logika dan nalar berfungsi berlawanan. Dengan kata lain lingkungan hidup manusia memiliki tatanan simbolis dan kebudayaan dimana individu meraih subyektifitasnya melalui narasi saat masuk ke dalam tatanan simbolis dan kebudayaan. Proses konsepsi manusia dalam paparan Freud berlangsung saat anak-anak melalui elemen bawah sadar dan kesadaran terdiri dari ego, super-ego, dan Id. Freud membangun teorinya melalui Oedipus Complex yang dirangkum untuk menjelaskan kehidupan manusia.

Pendekatan lain mengenai subyektifitas dengan memperhatikan proses psikis manusia adalah Deleuze dan Guattari yang secara langsung mengkritisi asumsi dari Oedipus Complex Freud.  Bagi Deleuze dan Guattari, Freud telah menjelaskan kehidupan manusia dengan membangun teori absurd berbasis pada fantasi.
Kelemahan dan kritik Deleuze dan Guattari atas pemikiran Freud dapat dirangkum menjadi dua poin. Pertama, basis fantasi dalam psikoanalisis tidak berdasar. Asumsi psikoanalisis adalah melihat segalanya bermula dari ‘anak’. Dimana padangan atas kondisi masa kecil (regression) merupakan hasil dari abstraksi yang tidak mampu dibangun ulang. Dari sisi regressi yang diberlakukan di psikoanalisis bersifat hipothetical, yaitu ayah adalah orang pertama yang berhubungan dengan anak. Dimana ‘rasa bersalah’ yang dialami ayah atas proses Oedipus Complex terproyeksikan kepada anaknya jauh sebelum anak memahaminya. Sehingga semua perlakuan ayah dan ibu atas anak tersebut berbasis pada fantasi atas anak.  Kedua, psikoanalisis mengasumsikan bahwa relasi anak berawal dengan relasi dengan ayah sebagai awal investasi sosial. Hal ini meletakan investasi familial sebagai konsep yang reduksionis dari investasi sosial. Dimana hanya dimungkinkan ayah sebagai relasi awal dengan anak (familial investment) berlangsung setelah social investment oleh ayah melalui familial investment, yang pada saat yang sama lebur antara ayah-ibu-anak. Anak tidak sebagai awal sebab, dan setiap manusia kemudian terlahir dengan beban “dosa” dalam kerangka familial. Hal pertama yang dilakukan oleh anak adalah represi atas ketidaksadaran ayah dan ibunya, dimana kegagalan atas represi tersebut mengakibatkan neurosis. Asumsi ini meletakan investasi hasrat sebagai prinsip utama kesamaan atas dunia sosial.

Persoalan dari paparan Freud ini adalah asumsi Oedipus Complex sebagai internalisasi sistem hirarkis atas makna dan kebenaran yang secara sosio-historis dipelihara dalam kehidupan sosial. Kesalahan psikoanalisis adalah keterperangkapan penyesalan familialism dalam pergerakan regressi dan progressi. Proses konsepsi manusia yang berlanjut dalam membangun asumsi atas masyarakat telah meletakan sebuah proses reproduksi generasi menjadi siklus absolut autogenerasi ketidaksadaran. Dalam hal ini, psikoanalisis menyatukan sejarah dan alam, dari Homo natura ke Homo Historia. Sehingga bukan seksualitas yang menjadi induk (asumsi Freud), namun generasi progresif atau regresif yang menjadi induk seksualitas yang bergerak dalam siklus dimana ketidaksadaran senantiasa menjadi subyek yang memproduksi dirinya.

Tawaran subyektifitas dengan memperhatikan proses psikis manusia dari Deleuze dan Gauttari mendorong lebih jauh psikoanalisis dengan konsep skizoanalisis. Deleuze dan Gauttari sepakat pada kesamaan umum bahwa setiap individu bergerak dalam ketidaksadaran investasi sosial. Masyarakat dan kehidupan sosial dipenuhi oleh ketidaksadaran investasi sosial yang - mereka sebut sebagai delirium - terbangun dari dasar konsepsi manusia. Namun Deleuze dan Guattari memaparkan ada dua jenis investasi sosial: segregative dan nomadic. Segregative seiring dengan pemikiran Freud yang merupakan romantisir atas familial dan oedipus sembari merefleksikan paranioa. Sedangkan nomadic bergantung pada arus dan rangkaian reproduksi.  Sehingga dua kutub delirium; paranoiaic fasisizing (belonging to the superior) atau schizorevolutionary (mengikuti arus eskapisme hasrat). Maka, oedipus bergantung penuh pada paranoiac territoriality sedangkan skizofrenik bergantung pada hal yang sepenuhnya berbeda (Deleuze dan Guattari, 1977: 278). Deleuze dan Guattari melihat bahwa sublimasi represi kejiwaan dapat melahirkan tidak hanya masyarakat paranoia namun dapat melahirkan masyarakat skizofrenik.

Lebih lanjut masyarakat skizofrenik berhubungan dengan kapitalisme. Masyakarat skizofrenik hadir dari kumpulan individu-individu yang rhizomic. Dimana ketidaksadaran investasi sosial tidak semata menjadi bagian dari konsepsi manusia namun dipengaruhi oleh konteks sosial. Dengan kata lain, masyarakat kapitalisme menyiptakan masyarakat skizofrenik.

Penjelasan mengenai diri yang rhizomic dan masyakarat skizofrenik hadir dari oposisi atas makna tunggal. Bahwa keutamaan ranah sosial merupakan determinan yang menentukan siklus dan sebuah kondisi yang dilalui oleh subyek didasarkan pada logika linier transmisi produksi pengetahuan yang memiliki struktur kestabilan makna.
Dominasi asumsi struktur pemahaman kehidupan semacam ini di gambarkan dalam konsep aboresence, oleh Delueze dan Guattari yang menggunakan pohon sebagai metaphor. Metahaphor ini menggambarkan bahwa ada sumber tunggal yang tidak tampak; akar. Sehingga daun, cabang, bunga merupakan struktur-struktur yang tampak dan dapat dilacak asal muasal dan kebenarannya hingga ke akar. Struktur hirarkis pemahaman sosial telah didominasi dengan metafor aboresence ini. Dimana kehidupan sosial memiliki struktur makna dan pengetahuan yang mengakar dalam sepanjang peradaban manusia. Sebagai contoh memahami fenomena dangdut dapat ditemukan melelui sosio-historis; memahami masalah  kepribadian dapat temukan melalui pohon keluarga orang tersebut; dstnya. Struktur hirarkis pemahaman sosial telah didominasi dengan metafor aboresence ini. Bahwa semua fenomena sosial memiliki sumber tunggal sebagai sumber makna kebenaran. Melalui struktur aboresence inilah, tidak hanya tiap bagian dan aspek kehidupan terkoordinasi satu sama lainnya, namun sebentuk hirarki makna dan adanya essensi kebenaran secara implisit terbangun (Mansfield, 2000:141).  Dalam kata-kata Deluze dan Guattari (1987); ‘aboresence systems are hierarhical systems with centers of significance and subjectification, central automata like organised memories. In the corresponding models, an element only recieves information from a higher unit and only receives a subjective affection along pre-established paths’ (Deleuze dan Guattari 1987:16). Dengan demikian, dominasi struktur pemahaman dalam kehidupan sosial, berpegang pada kebenaran dan nilai yang merupakan konsep abstrak yang terrepresentasi pada tiap realitas dan fenomena.

Deleuze dan Guattari memaparkan struktur lain yang bersifat rhizomik. Sifat rhizomic bertentangan dengan aboresence yang secara tunggal berbasis pada satu akar. Secara harafiah rhizome merupakan tipe perkembangan tumbuhan yang berkembang secara horisontal, seperti rumput yang dapat berkembang dan tumbuh secara jamak.  Rhizome dalam paparan Deleuze dan Guattari (1987) merupakan metafor atas heterogenitas yang tidak memiliki ketunggalan. Struktur rhizomic menawarkan sebuah diskoneksi dimana multisiplitas merupakan bagian dari hakikatnya.
Kehidupan manusia selalu menghindari struktur rhizomic. Seluruh pemikiran manusia telah berangkat pada akar kestabilan sistem sosial dan pemahaman tunggal dalam netralitas sistem representasi.  Struktur rhizomic yang ditawarkan Deleuze dan Guattari memaparkan sebuah rangkai fenomena impersonal dan trans-historikal yang selama ini ditutup dalam jejaring makna terstruktur. Lebih lanjut, kondisi ini bukan menjadi bagian dari konsepsi manusia semata, namun sebagai akibat dari masyarakat kapitalis.

Kehidupan manusia dijabarkan oleh Deleuze dan Guattari sebagai sistem mesin tubuh tanpa organ (Body Without Organs). Sebuah kondisi ketiadaan. Seluruh ranah kehidupan manusia bisa menjadi body without organs (BwO). Masyarakat kapitalis telah memungkinkan untuk menyiptakan BwO dalam kehidupan manusia, dimana segala bentuk materi dan non materi bisa tiada sekaligus mengada. Sebagai contoh, uang yang diciptakan dalam masyarakat kapitalis merupakan BwO. Uang dapat menjadi apapun yang meniadakan dan mengadakan di tengah masyarakat. Misalnya meniadakan nilai prisipil seperti kemanusiaan untuk membunuh, mengekang, menghambat, dstnya demi sejumlah uang. Atau uang dapat materialisasikan yang tidak ada, seperti cinta dengan representasi cincin berlian, kompetensi sumberdaya dengan ijazah pelatihan, dst.

Dinamika kehidupan masyarakat kapitalis dengan seluruh rangkai turunannya sebut diantaranya - individualisasi, industrialisasi, liberalisasi – telah mendorong terciptanya BwO. Termasuk di dalamnya manusia sebagai BwO. Maka individu menjadi subyek-subyek rhizomic yang dapat terberai dengan sifat multisiplitas. Diri-diri yang menjadi BwO merupakan individu yang terus menjadi tanpa identitas tunggal dan mendobrak struktur aboresence pemaknaan hidup.
Diri rhizomic merupakan subyek yang terus menjadi. Tidak ada sebuah struktur hirarkis pemahaman atas identitas, makna, dan kebenaran dalam kehidupan manusia ditengah perkembangan masyarakat kapitalis. Bergeraknya kapitalisme telah menyiptakan plane of immanance, ranah yang terdiri dari rajutan konsep kehidupan manusia yang tak terhingga, sehingga menggoyahkan stabilitas makna dan identitas yang selama ini digunakan peradaban. Pada tataran praktis psikologi sosial sehari-hari dapat mudah ditemukan, seperti individu yang ingin sehat namun tidak berolahraga, tidak mengikyti fashion trend tapi terus berbelanja, dstnya.

Paparan masyarakat skizofrenik Deluze dan Guattari (1977) merupakan kondisi yang tak terelakan dan tawaran diri yang rhizomic menjadi salah satu pendekatan dalam melihat fenomena sosial. Faktanya berbagai nilai dalam kehidupan sosial dewasa ini terpapar beragam dan setiap individu secara lentur dapat mengadopsi, meyakini, merepresentasikan maupun melepaskan. Subyektifitas yang diciptakan dalam masyarkat skizofrenik memiliki prinsip rhizomic. Subyektifitas semacam ini melekat dengan sifat individualis, differensi, dan distink antar individu. Namun, lebih lanjut Deleuze dan Guattari (1987) memaparkan tidak pernah ada subyektifitas sama sekali (Mansfield, 2000: 137). Subyektifitas hilang karena kehidupan itu juga menjadi BwO, dimana investasi sosial selalu bersifat kolektif dalam sebuah kehidupan masyarakat. Dengan kata lain Deleuze dan Gauttari melihat diri-diri yang rhizomic ini merupakan produk dari kondisi sosial yang melingkupinya.

Ketidaksadaran investasi sosial terbagun melalui interaksi ‘The Molecular dan Molar Unconciousness’[1], yang menjelaskan akan ada sikap individu yang paranoic yang dominan tersebar di masyarakat dan sikap individu yang skizo yang minoritas. Hal ini tidak memperbandingkan mengenai batas yang sosial atau yang personal, namun setiap individu hadir diantara molekular dan molar. Peru