arymami
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About

learning notes

Indonesia: Gender, Seksualitas dan Praktek Keintiman

2/15/2016

0 Comments

 
Tatanan nilai partriakal dapat dikatakan berlaku general di Indonesia. Atmosfir keislaman yang kuat di tanah Indonesia secara umum juga telah mendorong sistem tatanan patriaki dan menempatkan posisi yang lemah bagi perempuan dan seksualitas lainnya. Dari masalah kekerasan dalam rumah tangga, masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang sering menjadi korban kekerasan, hingga isu RUU Anti Pornografi-Pornoaksi (RUU APP) yang konon mendiskreditkan kaum perempuan, semuanya cukup melukiskan gambaran hegemoni kaum laki-laki.
​Lemahnya posisi perempuan di Indonesia menjadikan nilai kesetaraan sebatas bungkus formalitas kehidupan sosial. Di mata hukum, posisi perempuan tampak semu. Berbagai badan perlindungan perempuan menjadi bukti atas lemahnya posisi perempuan di mata hukum. Tidak terkecuali UU Perkawinan yang diwacanakan sebagai alat perlindungan terhadap perempuan, tidak mampu menyentuh persoalan substantif yang berlangsung secara praktis dalam keseharian. Diskriminasi posisi perempuan di Indonesia berlangsung secara terstruktur pada ranah sosial dan kultural.  Nilai kesetaraan, konsensusus dan hukum perlindungan terhadap perempuan di Indonesia kerap menjadi piala tanpa makna di etalase ‘hak asasi manusia’. Kekerasan terhadap perempuan pun kerap disembunyikan dan tidak diakui. Dalam narasi sejarah awal Indonesia sebagai contoh, kekerasan terhadap perempuan samar muncul dipermukaan. Bahkan pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, tidak adanya penghitungan maupun penjabaran atas peristiwa pemerkosaan massal (mass rape) terhadap etnis Tionghoa di Jakarta (Mariana, 2015), bahkan persitiwa ini pada awalnya tidak mau diakui oleh Negara (Kompas, 15 Mei 2008). Kekerasan demi kekerasan yang dialami perempuan pada masa transisi kekuasaan tampaknya memang tidak dimasukan ke dalam narasi historis resmi Negara (Mariana 2015:7). Menjadi sulit untuk menegakan hukum tanpa pengakuan Negara. Hal ini tidak lebih kurang menjadi tindak kekerasan yang dilakukan Negara terhadap warganya. Kealfaan atas tindak kekerasan terhadap perempuan dengan sendirinya memicu bergulirnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan diskriminasi terhadap perempuan menjadi mitos alih-alih kebenaran.

Lemahnya posisi perempuan dimata hukum formal berjalan seiring dengan lemahnya kesadaran atas diskriminasi posisi perempuan. Hal ini menjadi sulit untuk dibongkar dikarenakan struktur makna gender yang telah mengakar secara kultural di tengah masyarakat. Kesetaraan gender dalam praktis keseharian masyarakat masih digiring oleh kesadaran perempuan yang disepelekan. Kondisi ini akan bersifat masif dan bertahan lama karena produksi dan reproduksi makna berlangsung sebagai elemen konstruksi sosial (Louw, 2001).

Posisi perempuan dalam bingkai pernikahan kian rentan dengan berlakunya struktur makna gender yang timpang di tengah masyarakat. Hal ini mengakibatkan perilaku diskriminatif terhadap perempuan yang tidak tersadari oleh anggota masyarakat. Berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga tampak jelas menegaskan kondisi ini. Begitu banyak istri (atau suami) yang tidak menyadari mengalami kekerasan dalam rumah tangga (bahkan bila melibatkan kekerasan fisik), demikian sebaliknya pada suami (atau istri) sebagai pelaku tindak kekerasan. Kekerasan emosional maupun fisik dilihat sebagai bagian dari proses relasi pernikahan. Diskriminasi menjadi bagian dari budaya dan tampak normal dalam keseharian masyarakat, atau bahkan tidak disadari sebagai bentuk diskriminasi.

Normalisasi diskriminasi berlangsung dengan bergeraknya makna atas gender. Berlimpahnya ragam argumentasi dan nilai atas perilaku telah berperan dalam melangsungkan disonansi kognitif, sebuah upaya untuk menghilangkan ketidaknyamanan akibat perilaku, pemikiran, maupun sikap. Sebagai contoh, tingginya wacana menjadi istri saleha yang mendahulukan kepuasan dan kesukaan suami diatas kepuasaan dan kesukaan istri (lihat Munti 2005:141), atau wacana tingginya syahwat lelaki yang dibenarkan menggauli banyak perempuan (lihat Baswardono, 2003; Munti, 2005; El-Hakim, 2014), terlepas dari hasil penelitian yang menunjukan dorongan biologis laki-laki lebih besar dari perempuan adalah mitos (Kompas, 10 Mei 2001). Singkat kata bergeraknya ideologi gender dan budaya patriaki dalam berbabagi balutan baik agama, adat, tradisi, dstnya sangat kuat mengakar dalam struktur makna kehidupan sosial. Dalam Serat Centhini sebagai naskah nilai peran gender budaya jawa yang dominan di Indonesia digambarkan sebagai 5 jari tangan yang merepresentasikan pengabdian total kepada suami (Haryanto, 2009:425). Dokumen-dokumen kultural tidak semata mencerminkan norma-norma, tetapi juga membentuknya (Reinharz, 1992).

Kuatnya cengkraman ideologi gender dan budaya patriakal ini pun merasuk secara formal dalam UU Perkawinan sebagaimana telah dipaparkan di atas. Pasal 31 ayat 34 sebagai contoh spesifik dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,  menyatakan : “Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga” dan “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, semetara istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”. Undang-undang sebagai hukum formal Negara turut mengabsahkan budaya patriakal dengan memetakan istri sebagai penanggung jawab domestik dan suami sebagai penyedia dalam keluarga.

Dalam bingkai patriakal, tubuh dengan sendirinya menjadi arena kontestasi seksualitas dengan berbagai nilai sosial. Basis seksualitas yang berlaku dengan nilai ini, membedakan secara tegas antara laki-laki dan yang bukan laki-laki. Pada tataran kovensional dan konsensus sosial, seksualitas disini hanya terbagi menjadi dua; laki-laki dan perempuan. Pembagian dikotomi seksualitas ini, telah melahirkan berbagai nilai yang menginduk pada heteronormatifitas, yang disokong dan dikontrol secara sistematis oleh struktur sosial. Disini seksualitas merupakan suatu area dimana sebagai perilaku sosial dan kultural menjadi subyek regulasi dan kontrol negara. Interaksi dan relasi antar personal pun, termasuk didalamnya tidak lepas dari bangunan nilai heteronormatifitas tersebut.

Heteronormativitas dapat dipahami sebagai konstruksi ideologi yang mengharuskan individu tunduk pada aturan heteroseksualitas yang berinti pada keharusan fungsi prokreasi seksualitas. Dominasi ini melekat pada identitas dan interaksi relasi ‘keintiman’ individu dalam masyarakat. Menyiptakan batas normativitas seksualitas dan gender yang dianggap ‘normal’ dan yang tidak; menegaskan hubungan dan relasi seksual yang dianggap normal bersifat heteroseksual. Atribusi nilai sejajar dengan kepercayaan dimana nilai kebaikan akan dilekatkan pada yang dipandang ‘normal’ dan berbagai pelabelan negatif dilekatkan pada yang dianggap anomali. Hegemoni heteronormativitas bekerja dengan atribusi yang serupa. Konstruksi maskulinitas, sebagai contoh, memiliki atribusi ‘kejantanan’ yang bila tidak dipenuhi dipandang kurang lelaki. Atribusi yang dapat lepas dari subyektifitas personal seperti cara berbicara, berjalan, bahkan nilai loyalitas pada pasangan yang cenderung kontroversi sebagai nilai ‘kejantanan’.

Bingkai heteronormativitas yang dianggap normal telah mengukuhkan batas norma dan moralitas. Demikian orientasi di luar heteronormativitas senantiasa menimbulkan wacana pro dan kontra di tengah masyarakat, dan tak sedikit kemudian di lihat sebagai pelanggaran norma yang mengguncang ‘moralitas’ bangsa. Penolakan keras homoseksualitas di Indonesia dapat jadi salah satu contoh reaksi manifest bekerjanya heteronormativitas. Sebagai contoh, tindakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 3 Maret 2015 dengan mengeluarkan fatwa hukuman cambuk hingga hukuman mati bagi kaum homoseksual. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memaparkan  homoseksualitas sebagai penyimpangan seksual yang akan menyakiti moral nasional dan menuntut pemerintah membasmi homoseksualitas serta mendirikan pusat rehabilitasi untuk “mengobati” orang LGBTI (lesbian, gay, bisexual, transgender, and intersex).

Seksualitas, meski sebagai properti individu, merupakan konstruksi sosial yang mana melalui kualitas, hasrat, peran-peran dan identitas seksual seseorang ditentukan.  Seksualitas juga mencakup tatanan normatif ekspektasi yang berkaitan dengan praktek-praktek seksual; prefensi atau orientasi kearah bentuk spesifik ekspresi hasrat (birahi) dan seksual. Demikian, seksualitas menjadi ekspresi personal dan interpersonal yang berkait dengan perilaku dan aktifitas seks sesuai dengan bingkai nilai gender di masyarakat. Realitas sosio-kultural dan konstruksi sosio-historis seksualitas membangun peran dan identitas seksual individu dalam masyarakat. Bergeraknya nilai heteronormatifitas dalam sistem sosial masyarakat telah meletakan batas moralitas antara yang seharusnya dan yang tidak seharusnya, maupun antara yang normal dan yang tidak.

Pada titik ini, kompleksitas seksualitas tidak terpisah dari kehadiran skrip seksual sosial (social sexual script). Nilai-nilai sosial terkait dengan seksualitas, disebut social sexual scripts, mempengaruhi secara langsung nilai seksualitas sebagai ruang personal dan individual. Skrip seksual merupakan metafora dan citra untuk memahami hubungan seksual manusia dalam interaksi sosial. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog John H. Gagnon dan William Simon pada tahun 1973 dalam Sexual Conduct. Idenya menyoroti tiga tingkat penciptaan skrip, yaitu: budaya/sejarah, sosial/interaktif, dan personal/intra-psikis. Teori sexual scripting seksual menggunakan perspektif psikologis, sosiologis, budaya, antropologi, sejarah dan sosial untuk mempelajari seksualitas manusia. Scripting membantu untuk memahami seksualitas sebagai bagian dari budaya, sejarah dan sosial, ketimbang biologis.

Fakta bekerjanya kontruksi sosial atas seksualitas dapat dilihat melalui berbagai fenomena seksualitas dan penelitian terdahulu. Elizabeth Blackwell  misalnya memaparkan persoalan represi seksual di tatanan partriakal dalam sudut pandang Victorian dalam Essays in Medical Sociology (1894). Proses represi seksual yang berlangsung ini kemudian terkenal dengan istilah Blackwellian. Blackwell menggambarkan sebagian besar pendidikan seks selayaknya digunakan untuk mengintensifikasi rasa malu mengenai tindakan seksual. Beliau mencontohkan kegiatan masturbasi sebagai penyebab penyakit dan percabulan merupakan upaya untuk memutuskan unsur moral dan fisik manusia. Orgasme pun dilihat sebagai tindakan khusus untuk laki-laki meskipun wanita dapat ’spasm’ (istilah kejang yang dideskripsikan sebagai orgasme perempuan) dalam hubungan seksual menikah biasanya datang dengan waktu (Brecher, 1969).

Dickinson (1932) mendokumentasikan efek merugikan dari Blackwellian dalam wawancara dengan pasien-pasiennya dan menemukan bahwa frustrasi seksual begitu umum di kalangan perempuan menikah dan mereka berupaya memisahkan seks dari cinta yang mereka rasakan untuk suami mereka agar mampu mempertahankan pernikahan. Ia juga menemukan bahwa beberapa yang telah lolos dari konsekuensi pendidikan Victoria cenderung menderita hal serupa dari suami mereka. Frase umum adalah bahwa "it takes two people to make a frigid wife" (dibutuhkan dua orang untuk menjadikan istri yang frigid) (Seperti dikutip dalam Brecher, 1969:169). Temuan Leah Cahan Schaefer (1964) sangat mirip temuan yang dilaporkan oleh Dickinson. Semua perempuan dalam studi Schaefer mengalami rasa bersalah, kecemasan, dan rasa malu terhadap seksualitas mereka. Pengetahuan terhadap seksualitas penuh kesalahpahaman dan ketakutan dari bahaya kehamilan. Schaefer (1964) menyimpulkan bahwa sementara represi masturbasi dan seksualitas masa kanak-kanak tidak mencegah aktifitas seksual, ia mengganggu kenikmatan seksual dan pengalaman masa depan perkawinan. Konstruksi seksualitas semacam ini telah menyiptakan frustasi seksual bagi perempuan dengan lekatnya nilai ‘malu’ dan ‘imoral’ pada kegiatan seks bagi perempuan pada masa itu. Masters dan Johnson (1966) menemukan hambatan psikologis yang terbangun dalam konstruksi seksualitas telah mewujud tiga bentuk utama ketidakmampuan seksual dalam budaya kita: frigiditas perempuan, impotensi, dan ejakulasi dini di laki-laki.

Dominasi heteronormatifitas di Indonesia telah meletakan perbincangan mengenai seks dan seksualitas sebagai hal yang tabu dan ambigu. Pada satu titik seksualitas dibicarakan dengan penuh apresiasi dan diagungkan tetapi pada saat yang lain tertutup dan ditabukan. Sebagai negara yang berprinsip pada Godly nasionalism, tata nilai religiousitas kuat terjalin dalam persoalan seksualitas. Seksualitas dirayakan dengan kemegahan dan penuh nuansa-nuansa sakralitas. Hal ini muncul dalam upacara-upacara budaya, seperti sunatan, sebuah selebrasi yang merayakan representasi ‘kedewasaan’ anak laki-laki. Upacara perkawinan, di Indonesia juga merupakan ruang sakral yang menjadi wahana sah kebebasan manusia mengaktualisasikan hasrat-hasrat seksualitasnya. Perempuan dalam acara-acara pernikahan biasanya akan ditampilkan penuh pesona dan elok pada ruang publik, namun setelah acara selesai perempuan akan di’batasi’. Ke-elokan tubuh perempuan tersebut misalnya tidak dapat diekspresikan diruang publik dan hasrat-hasrat biologisnya dikendalikan oleh orang lain. Perkawinan jadi dirumuskan sebagai “transaksi kepemilikan atas tubuh untuk pemenuhan kebutuhan seksualitas laki-laki atas perempuan dan tidak sebaliknya”, menjadi bagian yang mengalir dalam budaya. Hak-hak seksualitas perempuan bukan hanya tidak diapresiasi, melainkan juga ditundukkan.

Relasi kuasa antar gender dalam bingkai heternormatifitas yang partriakal telah menghilangkan hak seksualitas perempuan dalam ruang publik maupun domestik. Dalam ruang domestik misalnya, nilai budaya bahwa tubuh perempuan adalah milik suami, cukup kuat. Istilah “swarga nunut, neroko katut” atau “sumur, kasur, dapur” begitu familiar di telinga masyarakat Indonesia, dapat menggambarkan posisi perempuan di masyarakat. Pada ruang publik, seksualitas perempuan Indonesia juga mengalami pembatasan. Salah satu contoh landasan nilai religious yang terjalin dalam budaya, dapat terlihat dalam peraturan dan tata nilai penampilan perempuan di ruang publik. Fenomena pemerkosaan yang sempat terjadi di Jakarta muncul dalam bentuk wacana persoalan “aurat” perempuan yang perlu diatur sedemikian rupa agar tidak “mengundang” tindakan dari laki-laki. Beragam peraturan daerah pun muncul dari peristiwa ini. Nilai heteronormatifitas berporos patriaki melekat di tata budaya Indonesia.

Seksualitas sebagai bagian dari konstruksi sosial diwarnai dinamika perubahan. Blumstein dan Schwartz (dalam Risman, 1988) memaparkan seksualitas dapat bersifat situasional dan fleksibel, dapat termodifikasi dari hari ke hari sepanjang hidup manusia. Di Indonesia, berbagai gerakan melek seksualitas dalam upaya mendeskonstruksi heteronormatifitas dapat ditemui dalam berbagai lini. Beberapa penulis seperti, Firliana Purwanti, dalam The Orgasm Project (2010) menyuarakan pentingnya perempuan untuk berdaya dan memiliki pengetahuan tentang seksualitas. Gerakan AyahAsi sebagai contoh lain merupakan inisiasi beberapa suami untuk mengajak para ayah di Indonesia terlibat dalam pertumbuhan anak.

Timpangnya relasi kuasa dan persoalan gender terkait dengan nilai keagamaan, khususnya dalam agama Islam, kerap menjadi tudingan ketidaksetaraan gender di Indonesia. Berbagai gerakan feminisme muslim meningkat pada tahun 1990an sebagai ‘ijtihad baru’. Feminisme Muslim menuduh ada kecenderungan misoginis (kebencian terhadap perempuan) dan patriarki (dominasi laki-laki) di dalam penafsiran teks-teks keagamaan sehingga menghasilkan tafsir-tafsir keagamaan yang bias kepentingan laki-laki (Yusuf, 2010:74).

Perkembangan dinamika seksualitas di Indonesia, secara historis tidak lepas dari sosok RA Kartini, pahlawan feminis Indonesia, yang telah menyuarakan kondisi perempuan sejak abad 18. Pada masanya, Kartini menyuarakan hak pendidikan bagi perempuan. Pemikiran Kartini juga banyak dipengaruhi oleh kolonialisme, yang berpengaruh terhadap penolakannya dalam sistem feodalisme terhadap kaum miskin. Ia pun berpendapat bahwa pemikiran masyarakat Jawa yang sangat partriarkal menjadi salah satu faktor penghambat majunya perempuan di Indonesia. Dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang (1987), memaparkan ide dan cita-citanya untuk memajukan kaum wanita di Indonesia.

Bertolak dari pemikiran Kartini, beberapa organisasi perempuan di Indonesia hadir memperjuangkan emansipasi, persamaan hak, dan tujuan untuk mengakhiri eksploitasi yang dialami oleh kaum wanita Indonesia. Gerakan melawan poligini dan poligami misalnya hadir setelah Kongress Perempuan Indonesia pertama di Indonesia. Kongres pertama pada tahun 1928 di Yogyakarta ini memperkuat wujud gerakan feminism di Indonesia dan menjadi fondasi kelahiran organisasi-organisasi perempuan. ‘Istri Sedar’ misalnya merupakan organisasi perempuan yang menjadi cikal bakal dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Organisasi progresif dengan mayoritas anggota perempuan dari golongan buruh dan petani, Sarekat Rakyat, mendapat reaksi keras dari pemerintah Indonesia, karena dinilai sebagai gerakan radikal yang memiliki keterlibatan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Dinamika seksualitas di Indonesia juga tidak lepas dari perkembangan gelombang feminisme. Perkembangan feminisme di Indonesia sesuai dengan first wave feminism, dapat dilihat dari pergerakan sebelum kemerdekaan dan masa Orde Lama. Ciri deskonstruksi terhadap tata nilai partriaki, hadir dalam gerakan awal sebelum kemerdekaan menyuarakan persamaan hak untuk pendidikan. Pada masa Orde Lama suara perempuan juga mengarah pada persamaan hak untuk terlibat dalam kebijakan elit politik. Seiring dengan Orde Baru, perkembangan feminism seiring dengan second wave feminism beragam bentuk perjuangan perempuan bergerak di ranah peran ruang publik yang lebih luas, seperti m emilih pekerjaan. Sedang masa era reformasi, diwarnai oleh suara tindak anti-kekerasan dan tema-tema liberal lainnya.

Pergeseran makna seksualitas secara global telah memicu perubahan peran gender dalam kehidupan masyarakat. Stereotype perempuan pada khususnya yang melekat dengan atribusi emosional, pasif, lemah, dependen, dekoratif, tidak asertif dan hanya kompeten di ranah domestik kian pudar, terlebih di wilayah urban Indonesia. Meski tidak dipungkiri struktur nilai kebudayaan Indonesia secara umum masih dicengkram oleh heteronormatifitas. Perkembangan demokratisasi seksualitas yang mewarnai abad-20 pun dilihat kian mendorong perempuan sebagai bifurcated beings, yang dipaksa unggul dalam ranah publik sekaligus domestik. Kompleksitas dan kritik atas hal ini dipaparkan dalam backlash teori oleh Susan Faludi (1991) yang menggambarkan gerakan feminism telah menghantam kembali posisi perempuan  mendambakan ranah domestik. Peran dan identitas yang terjalin dalam dinamika seksualitas menjadi bagian signifikan dalam mempengaruhi praktek relasi keintiman masyarakat dewasa ini.
0 Comments



Leave a Reply.

    Picture

    Note to remember

    Picture

    on this blog

    Learning is inevitable .. and as it is a process, what is knowledge if not shared? where would knowledge be without human dialectics

    Blog Contents
    Daftar Isi Tulisan Blog ini

    Archives

    January 2017
    November 2016
    June 2016
    May 2016
    February 2016
    January 2016
    June 2015
    May 2015
    November 2013
    May 2013
    March 2012

    Categories

    All
    Anti Oedipus
    Anti-oedipus
    Arymami
    Bahasa
    Balzac
    Baudrillard
    Book
    Buku
    Cinta
    Deleuze
    Deleuze And Guattari
    Derrida
    Dianarymami
    Dian Arymami
    English
    Foucault
    Gender
    Heteronormatifitas
    Heteronormativity
    Ilmu Sosial
    Intimacy Study
    Java
    Javanesse Woman
    Keintiman
    Konsepsi Manusia
    Learn
    Love
    Love Study
    Masyarakat Skizofrenik
    Perempuan
    Perkawinan
    Pernikahan
    Praktek Kultural
    Psikologi Sosial
    Relasi Keintiman
    Schizophrenic Society
    Sejarah
    Sejarah Pernikahan
    Seks
    Seksualitas
    Sexuality
    Studi Keintiman
    Teori Cinta
    Trust

    Discussions

    Picture
    Picture
    Picture

    RSS Feed

Photo used under Creative Commons from Dean Hochman
  • Home
  • CONTENTS
  • TRAVEL
  • LEARN
  • INTIMACY & SCHIZOPHENIC SOCIETY
  • POEMS
  • NOTES
  • PUBLICATIONS
  • About