Persoalan cinta dalam ilmu sosial mendapatkan ruang dalam ranah telaah relasi antar individu. Khususnya terkait perkembangan teoritik sosial terhadap tubuh individu sebagai tubuh yang sosial. Merebaknya perhatian atas individu dalam ilmu sosial sedikit banyak didorong oleh ketidakpuasan dominasi utilitarian sebagai dasar masyarakat. Pendekatan pada individu baru menjadi populer dan diakui oleh ilmu sosial di tahun 1980an (lihat Ritzer & Smart, 2001: 876). Meski demikian, berbagai pemikiran sosial yang telah mengungkapkan telaah individu sebagai agen sosial sebelumnya, menjadi cikal-bakal yang terus dikembangkan. Individu dalam telaah sosial memang telah banyak dikecilkan dalam awal teori sosial. Terlepas dari berbagai kritik keprihatinan dari ilmu sosial sendiri, seperti Ponty (1962) dan Goffman (1963) diantaranya, individu masih belum dilihat sebagai kajian penting dalam pemikiran pengembangan masyarakat. Ponty (1962) mengutarakan bagaimana tubuh menjadi wahana untuk mengalami dan sarana komunikasi kita dengan dunia (dalam Ritzer & Smart, 2001:876). Sedangkan Goffman (1963) mengutarakan keprihatinannya atas tubuh yang dikekang oleh ‘tatanan interaksi’ untuk mempertahankan diri sosial sebagai anggota masyarakat yang pantas secara moral. Goffman secara berani merumuskan konsep badani manusia, diri sosial, dan interaksi sosial, meski dikritik sebagai pandangan yang secara teoritis dangkal oleh Hoschild (1983).
Kontestasi individu sebagai pusat obyek kajian memiliki sejarah panjang dalam ilmu sosial. Perkembangan pemikiran sosial dengan mempertimbangkan individu sebagai aktor/agen hingga saat ini didominasi oleh basis kognitif sebagai penggerak sosial. Parsons (1951) sebagai contoh menggunakan teori sibernetika, mengutakan informasi sebagai motif dalam pilihan individual dengan mengungkapkan bahwa informasi budaya pada umumnya dan ‘nilai-nilai utama’ pada khususnya berkuasa dalam mengemudikan perilaku individu dan perkembangan sosial. Paparan Parsons mendorong sosiologi untuk melihat perilaku masyarakat, meski dikritik keras oleh Simmel tidak mampu membahas tuntas interaksi manusia (lihat Ritzer & Smart, 2001: 878). Namun, dalam perkembangan selanjutnya siosiologi menegaskan bagaimana struktur sosial dan norma-norma sosial menjadi signifikan dalam mengambil keputusan para aktor. Perkembangan teori-teori tindakan rasional semacam ini melihat tubuh individu semata sebagai alat untuk bertindak. Coleman (1990:504) menegaskan disatu titik hal ini mereduksi telaah perkembangan manusia pada tindakan rasional saja, dan yang tidak mampu menampilkan rasionalitas tersebut diasumsikan sebagai aktor yang malfungsi. Perkembangan sosiologi interaksionis kian didorong oleh pengutamaan intersubyektifitas yang menegaskan tindakan sebagai hasil dari kendali kognitif. Mead (1934) yang masih menjadi rujukan inti pengembangan pemikiran mengenai interaksi individu hingga kini mengutamakan kognitif dengan melibatkan refleksi-refleksi. Hal ini juga diperkuat oleh karya Berger dan Luckman (1966) yang fundamental digunakan dalam pengembangan pemikiraan dan telaah saat ini, yang mengutarakan bahwa ‘masyarakat dapat dipahami dalam hubungannya dengan proses-proses kognitif’. Pengembangan teoritik sosiologi kontemporer lebih lanjut telah memasukan ke-agen-an terhadap analisis masyarakat. Sebagaimana diketemukan dalam Giddens (1984) melalui teori strukturasi dan Archer (1995) dengan mengembangkan pemikiran Giddens melalui elemen budaya. Meski demikian baik Archer dan Giddens menegaskan individu yang melengkapi manusia dengan pengalaman-pengalaman non-sosial tentang realitas nonsosial menjadi ‘pengekang organis’. Pendirian ilmu sosial pada ranah kognitif sebagai tindakan rasional pada perkembangannya kembali diulas dengan meledaknya karya ilmu multidisiplin yang membuka ranah teoritis lain. Perkembangan in ididorong oleh empat faktor utama. Pertama, pengutamaan tubuh dalam kebudayaan konsumen, yang memunculkan the performing self dan tubuh yang menjadi tanda dalam budaya (lihat Featherstone, 1982). Disini makna sosial terus berubah-ubah dan meningkatkan individualisasi tubuh. Kedua, berkembangnya feminisme gelombang kedua, yang mendorong untuk menyoroti dasar-dasar penindasan konstruksi heteroseksualitas (lihat Mackinnon, 1989). Ketiga, perubahan dalam pemerintahan yang menyiptakan manusia dengan pergeseran wacana-wacana kepemerintahan (Lihat Foucault, 1970, 1979) dan Ke-empat, pekembangan teknologi yang mendobrak ‘realitas’ atas tubuh melalui rekayasa genetika, operasi cangkok, dstnya. Tubuh disini menjadi hal yang tidak pasti yang sukar dipahami (lihat Deleuze & Guattari, 1977) yang mendorong kembali telisik ide humanisme dalam kehidupan sosial. Melalui perkembangan teori sosial, telaah relasi cinta dalam pandangan sosial hingga saat ini didominasi oleh ‘relung kognitif’ sebagai bagian dari tindakan dan perilaku berelasi. Hal ini juga sejalan dengan pendekatan filsafat, psikologi dan biologi yang dibahas dalam awal sub-bab ‘A. Hati, Relasi, dan Sex: Konsep dan Kontestasi’ dimana ketiga pendekatan tersebut meletakan signifikansi wacana dan budaya sebagai ‘gerbang’ konsepsi cinta dalam perspektif manusia; filsafat sebagai peletak narasi besar/ wacana umum yang terus direproduksi, psikologi dan biologi yang sangat dependen pada proses pemaknaan sebagai pusat produksi biologis dan perilaku manusia. Di ranah ilmu sosial, konsepsi cinta menemukan kompleksitasnya. Meretas enigma cinta melalui kontekstualisasi interaksi individu di tengah kehidupan sosial, beberapa elemen struktur sosial yang terumuskan dalam berbagai teori sosial, turut memperumit persoalan asmara sebagai obyek kajian.
0 Comments
Leave a Reply. |
Note to rememberon this blogLearning is inevitable .. and as it is a process, what is knowledge if not shared? where would knowledge be without human dialectics Archives
January 2017
Categories
All
Discussions |