There are three types of people in this world: The ones that give up, give in, and give it all. - Ada rasa mengambang dan mual tidak berkesudahan membaca awal kata karya muktakhirnya. Mual karena dia mengurai ribuan makna metafisik yang jatuh dalam kategorisasi struktur tak terelakan *) . Kategori yang menyipta identifikasi represif yang menyakitkan. Penegasan antara yang nyata dan yang abstrak. Yang manifest dan yang imajiner. Antara yang tampak dan yang dipercaya. - Aku dan dia tentu bisa memperdebatkannya. Meminta pemakluman rasionalitas bekerja. Menginjak realitas yang tak sempurna. Realitas yang sama kami pahami memiliki beragam versi. Dan pun kami pahami baik aku dan dia mengimani realitas berbeda. Pada akhirnya satu dari kita pasti mengalah, semata agar aku dan dia dapat terus bersama. Karena bersama mensyaratkan pijakan yang sama. Meyakini bahwa aku dan dia akan melampauinya, seakan realitas adalah diluar diri. Hiburan semu. Mengingkari realitas melekat personal. Kebersamaan aku dan dia bersandar pada kemampuan dekonstruksi makna. Bila tidak, aku dan dia sudah berakhir lama. Demikian aku dan dia mendekonstruksi identitas, moral, dan bahkan rasa sakit itu sendiri. Menggenggam satu percaya yang tak mampu teringkari: aku dan dia menjadi.
Tapi tentu dekonstruksi bukan semata kesenangan atas permainan murni **) , yang mungkin melekat pada hasrat hakiki manusia. Kerap tersepakati kami masih disini karena satu kata: cinta. Hal ini bisa jadi sangat rasional bila kita tarik Delueze dan Gautari (D&G) dalam melihat praktek kebersamaan yang banal. Kebanalan yang tak mampu dijawab bahkan demikian dihindari oleh Freud dalam menjelaskan fenomena hippies pada tahun 60an. Yang menarik dalam paparan D&G adalah kedekatannya dengan mikropolitik keseharian manusia. Kebanalan yang bergerak dalam Body without Organs (BwO) – istilah deleuze atas hal yang tidak terikat oleh kode-kode. Banyak dari kita akan menyebutnya sebagai absurd. Namun dalam konteks aku dan dia, cinta menjadi sebuah nilai yang kita transaksikan tanpa konstruksi makna. Sebuah hal yang tak terbatasi oleh kode-kode. Kurang lebih kita bisa menyebut cinta sebagai BwO. Sebuah modal yang tidak terikat oleh apapun sekaligus dapat disusupi kepentingan apapun. Pada tataran praktis, berselancar dengan dalam BwO, pelaku menjadi subyek schizo. Ini tidak mengacu pada kondisi kejiwaan, namun sebuah cara berpikir. Subyek-schizo merupakan titik dimana kreatifitas tertinggi terjadi, posisi subyek yang membuka sebuah kemungkinan atas kedasyatan - perubahan. Wajarlah bila aku dan dia larut dalam ekstase cinta. Selalu ada hal baru, karena aturan dan maknanya berlangsung secara kontekstual itu juga. Makna lahir dari rangkaian metafora. Makna adalah peristiwa dan kejadian, demikian D&G menjadi anti fenomenology. Bagi D&G, subyek schizo berserah pada mesin hasrat. Mesin karena ia impersonal, mesin tidak mampu memprediksi. Ia tak sadar. Pada wujud sempurna, kita akan melihat subyek schizo bagai orang-orang naif yang menerjang dunia, karena berserah pada hasrat dengan kesadaran yang senantiasa datang terlambat. Hasrat tentunya polysemy yang dapat berupa apa saja. Hasrat yang pra-oedipian (hasrat sebelum ID). Perumpamaan yang paling mudah adalah gambaran Neitzsche tentang tuan dan budak yang ada dalam On the Genealogy of Morality: A Polemic (1887). Moralitas tuan dalam paparan Nietzsche itu dapat menggambarkan bagaimana schizo mengada. Hasrat bekerja dalam ketidaksadaran, maka aku dan dia dilambung bahagia. Aku menyebutnya kondisi ini- Limbo (mengambil dari film Inception yang memukau). Subyek-schizo tidak pernah mengkonstruksi. Ia senantiasa mendeskonstruksi. Pada titik itulah ia mengada. Melakukan affirmasi. Yang menarik dalam proses ini adalah lingkar dekonstruksi sebagai hal yang aktif dan konstruksi sebagai hal yang pasif. Aku dan dia, terjun di dalamnya. Alienasi yang tak terasa, sebab ada aku dan dia. Sayangnya semua makna deskonstruksi pun akan menemukan pola dan secara aktif merekonstruksi makna sendiri. Dan bila kita tak mampu mendekonstruksi yang telah kita dekonstruksi – aku dan dia hanya menanti kikisan BwO oleh konstruksi makna di luar sana. Pijakan realitas akan bicara – superego baginya, nihil bagiku. - Dalam mual aku terlempar pada sudut kesedihan – aku teralienasi dalam limboku sendiri. Bila assembleges tidak berlangsung cepat maka ia akan sekarat. Dia telah meninggalkanku. Atau mungkin sebaliknya. Permainan kami tak lagi menggunakan aturan milik aku dan dia. Sesak tiada tara, dalam tangisku yang sama sekali tak mengada di matanya. Dan untuk membayangkan bahwa semua ini terurai dari barisan ketikan kata. Sunggguh assemblages makna yang sempurna. - Siapa yang bisa menyangkal, alienasi sebagai siksa dunia? Tidak ada satu orang pun dikehidupan ini mau dikucilkan dari dunia. Tidak pun perlu memaparkan jajaran pemikiran dan telisik ilmu sosial pun psikologi untuk menyokong kepastian axiom – Alienasi adalah neraka. Meski demikian, sepanjang perjalanan perabadan, akan ada sekali dua, selinting dua, sosok yang melepaskan diri. Sosok-sosok anomali. Mayoritas melahirkan kutipan motivasi untuk mengarungi kehidupan. Bila dirangkum dalam Bahasa iklan: To be different is to live.Ya.. kita bisa letakan nama besar Rumi, Gandhi, Terresa, Kierkengard, Nietzsche, namun tak sedikit pula nama-nama yang lenyap ditelan dunia. Keberaniankah yang membawa mereka disana? Atau meminjam kata Heideger, ‘keterlemparan’? Bisa jadi keduanya. Dalam prosesnya, aku berani bertaruh, subyek-schizo sebagai proses yang tersembunyikan dari teks jadi mereka. Dan bila mengamini D&G, semua kata-kata pencerahan tentang merengkuh kehidupan dari sosok-sosok besar ini, hanyalah inferioritas atas keterlemparan disfungsi mesin hasrat, menjadi dalam metaphor Nietzsche ‘budak’ bukan tuan. Entah bagaimana pandangan Anda – bisa jadi ‘kehidupan penuh’ hanya mampu diraih oleh para budak. Ya.. ada tiga jenis orang di dunia; Mereka yang menyerah – subyek-schizo yang tanggung, semacam ‘manusia seri’ ala Foucault. Mereka yang melebur – subyek-schizo yang sempurna, assemblages diri yang berlangsung instan, terbebas dari kode dan senantiasa ceria. Mereka yang mempertaruhkan segalanya – subyek-schizo yang terlempar tanpa pilihan. Dan .. saat diri telah jadi. Kita telah berhenti menjadi. Yogyakarta.menantijinggalenyapdibarat. 18062015. Catatan : *)Kata tidak lepas dari ikatan struktur makna yang luas di masyarakat. Dan makna tidak lepas dari jaringan wacana dan ideologi yang berkerja secara sosiohistoris. Jejaring makna sebagai contoh dengan kata “putih” untuk mendeskripsikan perempuan Indonesia dapat bermakna dia cantik, menawan, dst. Ada rangkaian makna yang melekat melampaui sebuah kata. Dalam semiotika kita melihatnya sebagai sign dan signified. Namun makna juga melampaui the signified. Barthes mencoba mengurainya melalui mitos. Bila Anda ditanya Anda melihat manusia sebagai jasmani atau rohani, mayoritas akan mengatakan ‘rohani’. Disini ideology bekerja, karena peradaban kita diselimuti oleh dominasi makna bawha rohani jauh lebih bermartabat. Jejaring makna yang melampaui wacana inilah makna metafisik. **) Permainan murni merupakan permainan yang tidak mengikuti aturan yang sudah ditentukan, tetapi selalu menemukan aturan baru. Dimana setiap permainan selalu berganti aturan. (bahkan bila permainannya sama dalam konteks yang berbeda).
0 Comments
Leave a Reply. |
Note to rememberon this blogLearning is inevitable .. and as it is a process, what is knowledge if not shared? where would knowledge be without human dialectics Archives
January 2017
Categories
All
Discussions |