1 Comment
There is hardly any distinctive line between intimate relationships these days. When Bauman (1995) coined the term ‘liquid love’, ‘liquid intimacy’ and in line a ‘liquid world’ it merely spoke from a reality, a definite apparent phenomenon we easily witness on how people interact with each other. Not to mention the factual zillion new terms we find to define this new born relationships (sex buddy, friends with benefit, open relationship, and so on).
Ada diversiftas praktek relasi keintiman di tengah masyarakat. Berbagai praktek relasi keintiman yang dipandang ‘normal’ oleh masyarakat karena sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dominan, maupun berbagai praktek relasi yang tampak ‘anomali’ karena tidak sejajar dengan nilai-nilai dominan di tengah masyarakat. Dalam kaitannya dengan interkoneksi psikis manusia dan kehidupan sosial, Deleuze dan Guattari (1977) menawarkan dua alternatif manifestasi perilaku di tengah masyarakat: yang berinti pada oedipal/aboresence dan perilaku yang berinti revolutionary/rhizomic. Secara prinsipil kedua bentuk ini berbasis pada struktur hirarkis pemahaman atas identitas, makna dan kebenaran yang dianggap ada dan tidak ada.
Love. Cinta. Ah.. masih juga membahasnya. Sudah dari jaman entah hingga saat ini, istilah paling absurd dan dipercayai masih terus coba dipahami. Terlalu banyak yang mengatakan ‘sudahlah’ (sebagai tanda menyerah) atas keterbatasan manusia untuk memahaminya – atau tepatnya berhenti disatu titik pemahaman. Lalu diletakan dalam satu kategori –unknown, misteri kehidupan. Membiarkannya disana, dan dianggap sebagai manis-pahitnya kehidupan. Tidak terlalu signifikan untuk dibahas, cukup dirasakan. Toh dia dapat dapat datang dan pergi, seakan menyatu dengan ekologi peradaban manusia, kau enyahkan atau kau raih, pun kondisinya masih sama. Dan bergulirnya satu dekade ke dekade selanjutnya, manusia beradaptasi berbagi ruang kehidupan dengannya. Karena dia mengada, tanpa diminta. Tak terlalu berbeda dengan istilah Tuhan yang juga kita letakan dikategori yang sama, masih terus dicoba pahami tanpa mampu menyentuhnya, tidak mampu diurai namun diyakini, dan mau jumpalitan kaya apapun juga dia meng-ada, dan kita berbagi ruang kehidupan denganNya.
![]() The simulacrum is never what hides the truth. it is truth that hides the fact that there is none. The simulacrum is true. — Ecclesiastes Seberapa sering Anda mempertanyakan tentang rasa cinta? Seberapa sering anda bergulat dalam upaya untuk memahami pasangan Anda memiliki rasa yang serupa dengan Anda? Semacam konfirmasi, memastikan bahwa anda tidak masuk dalam illusi dan delusi sendiri ditengah sebuah relasi. |
Note to rememberon this blogLearning is inevitable .. and as it is a process, what is knowledge if not shared? where would knowledge be without human dialectics Archives
January 2017
Categories
All
Discussions |