Persoalan cinta dalam ilmu sosial mendapatkan ruang dalam ranah telaah relasi antar individu. Khususnya terkait perkembangan teoritik sosial terhadap tubuh individu sebagai tubuh yang sosial. Merebaknya perhatian atas individu dalam ilmu sosial sedikit banyak didorong oleh ketidakpuasan dominasi utilitarian sebagai dasar masyarakat. Pendekatan pada individu baru menjadi populer dan diakui oleh ilmu sosial di tahun 1980an (lihat Ritzer & Smart, 2001: 876). Meski demikian, berbagai pemikiran sosial yang telah mengungkapkan telaah individu sebagai agen sosial sebelumnya, menjadi cikal-bakal yang terus dikembangkan.
0 Comments
Love. Cinta. Ah.. masih juga membahasnya. Sudah dari jaman entah hingga saat ini, istilah paling absurd dan dipercayai masih terus coba dipahami. Terlalu banyak yang mengatakan ‘sudahlah’ (sebagai tanda menyerah) atas keterbatasan manusia untuk memahaminya – atau tepatnya berhenti disatu titik pemahaman. Lalu diletakan dalam satu kategori –unknown, misteri kehidupan. Membiarkannya disana, dan dianggap sebagai manis-pahitnya kehidupan. Tidak terlalu signifikan untuk dibahas, cukup dirasakan. Toh dia dapat dapat datang dan pergi, seakan menyatu dengan ekologi peradaban manusia, kau enyahkan atau kau raih, pun kondisinya masih sama. Dan bergulirnya satu dekade ke dekade selanjutnya, manusia beradaptasi berbagi ruang kehidupan dengannya. Karena dia mengada, tanpa diminta. Tak terlalu berbeda dengan istilah Tuhan yang juga kita letakan dikategori yang sama, masih terus dicoba pahami tanpa mampu menyentuhnya, tidak mampu diurai namun diyakini, dan mau jumpalitan kaya apapun juga dia meng-ada, dan kita berbagi ruang kehidupan denganNya.
Lewat setengah semester dalam perbincangan dg 7 mahasiswa seperguruan, bersama dengan para pembimbing proses pembelajaran, aku kembali resah atas sebuah tanya yg tersusun dlm proposal penelitian saya. Resah karena kian terbuka atas kemungkinan saya terjebak dalam sebuah paradigma keilmuan yg terbatasi demi identitas keilmuan itu sendiri. Resah tanya saya tak dapat tertampung dalam batas keilmuan yg saya tekuni.
Saya hendak berbicara mengenai masyarakat skizofrenic dalam membentuk keintiman. Asumsi besarnya adalah tanpa kita sadari, masyarakat telah masuk dalam proses kultur kegilaan. Skizofrenik yg saya maksud, diambil dari konsep Deleuze. Setialah pada satu pasangan!
Rasanya terlalu sering kita mendengar slogan itu. Tapi dalam era saat ini?? Rasanya naif. Terlepas dari semua pengetahuan terhadap realitas ini, ada kepercayaan dan mitos yang mengakar tentang kekuatan “Cinta”. Bila kau cinta, pasti kau akan setia. Bukankah sedemikian sederhana? Setidaknya, demikian kita percaya. Apakah Anda percaya? Bila iya.. Anda tentu adalah satu dari sekian juta lainnya. |
Note to rememberon this blogLearning is inevitable .. and as it is a process, what is knowledge if not shared? where would knowledge be without human dialectics Archives
January 2017
Categories
All
Discussions |