1 Comment
Siang itu Kita berbincang mengenai pembelajaran, pengetahuan, dan pemahaman. Tepatnya memperdebatkan bagaimana orang yang belajar tidak mencerminkan pengetahuan dalam perilakunya. Basis axiomanya masih sama: kognitif akan mempengaruhi affektif.
Baginya pemahaman adalah hasil niscaya dari belajar, dan baginya kesadaran atas signifikansi tema yang dipelajari merupakan halangan utama terjadinya kegagalan koneksi kognitif-afektif. Bagiku pemahaman tidak niscaya, bahkan bila tema pembelajaran merupakan hal yang dianggap demikian signifikan. Sepakat penuh dan melihat persoalan utama idiocy dunia adalah sesuai ujaan Einstein: “Any fool can know, the point is to understand”. Perbincangan sambil lalu itu, hilang ditelan lapar waktu makan siang. Benakku seperti biasa, terus berkembara pada satu kata kunci penaut semuanya: kesadaran. Kesadaran adalah prasyarat pemahaman. Kata ‘sadar’ bagiku memantik begitu banyak emosi kemarahan. Kata sadar telah terlampau sering digunakan hingga mendorongku pada titik muak. Kesadaraan dalam keseharian terlalu didewakan! Kesadaran terlalu sering menjadi jawaban anti-gugat. Bayangkan saja, seorang yang sedang bersedih curhat persoalan yang melilit hidupnya dan respon yang terlalu familier adalah “kamu sadar memilih dan menjalani hidupmu ini”. Selesai disitu. Seolah kesadaran menjaga dan menghindarkan segala bentuk imbas konsekuensi peristiwa atau deviasi pelanggaran emosi yang melarang sakit hati. Dijadikan tumpuan segala konsekuensi dan peristiwa. Pada tataran yang manifest, praktek kehidupan, kita masih menemukan orang yang (dalam perspektif kita) jatuh pada lubang yang sama, kita masih juga tetap jatuh pada lubang yang sama, dan kita masih sibuk mengkritik pedas perilaku ‘salah’ yang menjadi siklus dalam pilihan hidup manusia. Kesadaran itu sendiri sudah teraniaya miskonsepsi. Yang dikategorikan ‘tahu’ seolah otomatis ‘sadar’, lalu bila ‘sadar’ otomatis terbebas dari konsekuensi peristiwa. Linearitas logika tahu-sadar sudah menjadi doxa. Buktinya sederhana: kita masih sibuk mengkritik ironi perilaku manusia. Yup. Masih heran bagaimana orang bisa bebas ‘sesal’, bagaimana sejarah bisa tak bermakna, bagaimana berelasi dengan pasangan orang berharap tanpa sakit hati, bagaimana kebohongan seolah aksi berhenti menyakiti dan menyiptakan harmoni, atau hal yang sesederhana bagaimana seorang doktor komunikasi gagal praktek komunikasi. Tapi toh.. realitasnya, semua terjadi. Jadi bila kesadaran adalah kunci pemahaman, maka dunia memang dipenuhi tindak-tanduk orang-orang tahu yang tak pernah paham. Kesadaran itu over-rated! Bagiku kesadaran itu hampir tak ada. Ya.. setidaknya kesadaran itu butuh intelegensia, dialektika dan waktu yang jarang sekali menyatu. Kesadaran itu tidak dapat dikendalikan. Sebagai argumentasi, kita dapat kembali pada filsafat ke(tidak)sadaran. Umumnya kita memulai kisah filsafat ketidaksadaran dari Nietzsche. Sosok yang paling luas mengemukakan gagasan ketidaksadaran manusia, dengan argumentasinya atas kuasa manusia yang tak tersadari. Baginya kesadaran sekedar fenomena. Titik. Tapi bagiku, lebih mudah mengawalinya dengan kisah realitas psikis dan rasio manusia. Kembali pada essensi ‘sumber pengetahuan’. Kembali pada tiga sosok yang tidak asing dalam filsafat ilmu: Plato, Descartes dan Kant. Sekedar catatan singkat, ketiga sosok ini ‘saling kritik’ untuk mendorong filsafat lebih jauh. Plato berkeyakinan pada jiwa sebagai sumber pengetahuan, disini kesadaran digarisbawahi sebagai bentuk dari jiwa yang tahu. Descartes berkeyakinan pada rasio sebagai sumber pengetahuan, disini mengetahui digarisbawahi sebagai hasil dari logika. Kant yang heroik berkata mengharmonisasikan keduanya. Dari Kant-lah kita mulai melihat pengetahuan sejajar dengan kesadaran, lalu menyebutnya pemahaman. Kesadaran dilihat menjadi bagian dari pengetahuan logika, atau dengan kata lain kesadaran bagi Kant berlangsung saat dapat dilogikakan. Gagasan Kant mengisyaratkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk paham. Tetapi, manusia pada hakikatnya tidak sadar. Segala bentuk perilaku manusia manusia adalah instink dari pendulum respon dan persepsi. Hal ini dirasionalisasikan oleh Deleuze dengan menggunakan Bergson. Penjelasan rumitnya sekedar mengutarakan bahwa manusia tidak pernah menjadi subyek yang sadar ‘akan’ (subject to) tetapi menjadi subyek yang sadar ‘pada’ (subject of). Perbedaan ini menegaskan bahwa manusia tidak memiliki kuasa atas kesadarannya. Penjelasan ini dapat menginjak realitas. Faktanya manusia hidup dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu tidak dapat dikendalikan, demikian bukanlah produk kesadaran, ruang dan waktu tidak dapat dipahami. Kita tidak dapat meramal sempurna kita mungkin bertemu siapa, atau mendapati apa. Manusia hanya niscaya menumpuk pengalaman dalam keseharian. Pengalaman tidak kemudian menghasilkan pemahaman. Pengalaman tidak jatuh dibawah logika. Karena pengalaman merupakan hasil imajinasi. Ambil contoh, anda sedang jalan-jalan ke Gili Trawangan dengan kekasih Anda, bau segar pantai dan ombak menstimulasi imajinasi yang mendorong bagaimana Anda membentuk pengalaman Anda. Imajinasi senantiasa menyiptakan pengalaman keseharian manusia. Dan ini semua tidak dibawah logika. Maka manusia hidup dalam ruang dan waktu yang tidak dibawah kendali sembari imajinasi yang terus menyiptakan pengalaman. Baik ruang dan waktu maupun imajinasi sepenuhnya berada diluar logika dan pemahaman. Manusia hanya mampu sadar ‘pada’ keberadaan interkoneksi pengalaman yang hakikatnya passif. Andai manusia mampu menghubungkan sintesa pengalaman, maka hanya dengan demikian mampu menghasilkan pemahaman –ex post facto – andai manusia itu sadar, kesadaran tersebut senantiasa datang terlambat. Dari penjelasan tersebut, pada konteks keseharian manusia, pengalaman tidak kemudian membentuk pemahaman. Pegalaman hanya menjadi kumpulan sintesis pasif; pengetahuan yang menanti dirajut. Anda tahu sedang jalan-jalan ke Gili dengan kekasih Anda, tapi belum tentu Anda sadar atas perjalanan tersebut. Diantara sintesis passif ini, pengalaman hanya membentuk intuisi manusia. Kumpulan intuisi manusia dalam penjelasan Bergson menjadi bagian dari ‘sensori-motor schema’ yang instiktif dalam mempengaruhi respon-perilaku manusia pada peristiwa tertentu. Bila Freud meletakan asumsi bahwa pengalaman mendeformasi aksi kini, bagi Bergson pengalaman hanya hadir saat aksi membutuhkan bantuan untuk melakukan aksi. Sehingga bagi Bergson, pengalaman hanya hadir saat ada jarak non-instink yang kosong antara persepsi dan aksi. Sedangkan manusia tidak sepenuhnya merupakan makluk kontemplatif, tapi bertindak sesuai instink dan dalam derajat respons atas persepsi. Faktanya kita cenderung kontemplasi bila kita bertemu peristiwa yang memaksa kita berhenti pada titik persepsi dan aksi. Kontemplasi belum juga tentu menghasilkan kesadaran. Kesadaran hanya hadir dengan pemahaman. Sedangkan, pemahaman sepenuhnya bergantung pada kemampuan menghubungkan konsep infinitum. Hal ini faktanya melelahkan! Manusia akan cenderung memilih menghindari kerja-keras kesadaran; terlebih saat kehidupan dapat dilewati dengan sekedar mengasah intuisi. Meminjam bekerjanya ‘filsafatnya filsafat’ (paralogism) atau sejarah filsafat. Pengetahuan perlu melalui transmutasi untuk menjadi pemahaman. Sejarah filsafat pada dasarnya adalah mempertanyakan kembali asal muasal konsep itu dan memetakan struktur pengetahuan tersebut. Ambil conoh, seongok pengetahuan yang terkonsepsi. Misalnya Descartes, sosok penggulir sejarah ke-ilmiahan. Konsep terkenalnya adalah ‘cogito’. Atau mungkin banyak dari kita yang lebih familier dengan istiah : I think therefore I am. Konsep cogito demikian explisit. Tampaknya tidak ada yang kompleks dari memahami bahwa saat orang berpikir maka dia tahu dia mengada. Tapi, dalam sejarah filsafat, NO CONCEPT IS SIMPLE. Satu konsep senantiasa terdiri dari elemen-elemen yang menjadi konsep tersendiri dan memiliki element historis tersendiri; istilahnya adalah exoconsistency dan endoconsistency. Exo-consistensy adalah keterhubungan satu konsep dengan konsep yang lainnya sedangkan endoconsistency adalah setiap konsep memiliki komponen internalnya sendiri yang dapat menjadi konsep lain. Pada cogito cartesian, ada setidaknya 3 elemen: berpikir, meragukan, dan mengada. I (yang meragu) think therefore I am (makhluk berpikir yang mengada). Maka pertanyanya adalah; bagaimana orang tahu dia berpikir dan bagaimana berpikir dapat membuat orang tahu ia mengada? Kant mengkritisi cogito. Descartes tidak dapat menjelaskan dalam bentuk apa “I think” dapat memastikan “I am”. Dalam bentuk yang tidak dipastikan ini Kant memasukan konsep baru: Waktu. Saat Kant memasukan waktu dalam konsep cogito; waktu (exoconstensy – terhubung dengan cogito) menjadi konsep tersendiri yang memiliki sejarah (endo-consistency). Bagi Kant waktu menjadi konsep yang menghubungkan ‘I think’ dan ‘I am’. Singkat cerita, setiap konsep mengandung exo dan endo-consistensy sehingga memiliki potensi transmutasi konsep. Setiap konsep merupakan ruang yang memungkinkan untuk menjembatani konsep infinitum. Disinilah, konsep senantiasa bersifat ‘multisiplitas’. Pemahaman dapat dilihat dalam hasil proses exo-consistensi dan endo-consistensy yang sama. Pemahaman adalah hasil transmutasi konsep dari jalinan exo-consistensi dan endo-consistensy. Tanpa transmutasi konsep, maka yang ada hanya jajaran sintesis pasif tanpa makna (pemahaman). Atau tepatnya hanya menjadi bagian dari tumpukan yang menyokong instink manusia berperilaku dalam pendulum persepsi dan respon. Pada titik ini, kesadaran demikian bergantung penuh pada ‘interplay’ instink dan inteligensia di dalam momentum kontemplasi. Selebihnya, kita hanya mengasah intuisi pengarah instink untuk sekedar merespon persepsi-persepsi atas peristiwa. Bagi peradaban ini, namanya menjadi Dewasa. Kesadaran hanya menjadi istilah canggih untuk mengelak menghadapi realitas di depan mata. Pontianak-Yogya. 13.11.2016 Thanks to: Deleuze. 2001. Pure Immanance: Essays on Life. NY. Deleuze. 1994. What is Phillosophy. NY. Kant. 1929. Critique of Pure Reason. London. Bergson.1959. Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data of Conciousness. NY. There is hardly any distinctive line between intimate relationships these days. When Bauman (1995) coined the term ‘liquid love’, ‘liquid intimacy’ and in line a ‘liquid world’ it merely spoke from a reality, a definite apparent phenomenon we easily witness on how people interact with each other. Not to mention the factual zillion new terms we find to define this new born relationships (sex buddy, friends with benefit, open relationship, and so on).
Ada diversiftas praktek relasi keintiman di tengah masyarakat. Berbagai praktek relasi keintiman yang dipandang ‘normal’ oleh masyarakat karena sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dominan, maupun berbagai praktek relasi yang tampak ‘anomali’ karena tidak sejajar dengan nilai-nilai dominan di tengah masyarakat. Dalam kaitannya dengan interkoneksi psikis manusia dan kehidupan sosial, Deleuze dan Guattari (1977) menawarkan dua alternatif manifestasi perilaku di tengah masyarakat: yang berinti pada oedipal/aboresence dan perilaku yang berinti revolutionary/rhizomic. Secara prinsipil kedua bentuk ini berbasis pada struktur hirarkis pemahaman atas identitas, makna dan kebenaran yang dianggap ada dan tidak ada.
Perkembangan industri budaya di kehidupan global secara signifikan mengubah wajah peradaban. Budaya telah diproduksi dengan dalil-dalil kapitalisme dan dikonsumsi oleh masyarakat. Kehidupan manusia dipenuhi oleh budaya konsumerisme yang tidak hanya bersifat material namun materi komoditas yang bersifat kultural. Seluruh kehidupan manusia telah dipenetrasi oleh komodifikasi.
Berbagai kritik atas konsekuensi industri budaya muncul seperti Adorno dan Horkheimer (1979) yang memaparkan gelombang pembohongan massal, dimana industri budaya adalah suatu ilusi untuk ‘sesuatu yang disediakan bagi semua orang sehingga tak seorang pun bisa lari darinya’.
Tatanan nilai partriakal dapat dikatakan berlaku general di Indonesia. Atmosfir keislaman yang kuat di tanah Indonesia secara umum juga telah mendorong sistem tatanan patriaki dan menempatkan posisi yang lemah bagi perempuan dan seksualitas lainnya. Dari masalah kekerasan dalam rumah tangga, masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang sering menjadi korban kekerasan, hingga isu RUU Anti Pornografi-Pornoaksi (RUU APP) yang konon mendiskreditkan kaum perempuan, semuanya cukup melukiskan gambaran hegemoni kaum laki-laki.
Persoalan cinta dalam ilmu sosial mendapatkan ruang dalam ranah telaah relasi antar individu. Khususnya terkait perkembangan teoritik sosial terhadap tubuh individu sebagai tubuh yang sosial. Merebaknya perhatian atas individu dalam ilmu sosial sedikit banyak didorong oleh ketidakpuasan dominasi utilitarian sebagai dasar masyarakat. Pendekatan pada individu baru menjadi populer dan diakui oleh ilmu sosial di tahun 1980an (lihat Ritzer & Smart, 2001: 876). Meski demikian, berbagai pemikiran sosial yang telah mengungkapkan telaah individu sebagai agen sosial sebelumnya, menjadi cikal-bakal yang terus dikembangkan.
There are three types of people in this world: The ones that give up, give in, and give it all.
- Ada rasa mengambang dan mual tidak berkesudahan membaca awal kata karya muktakhirnya. Mual karena dia mengurai ribuan makna metafisik yang jatuh dalam kategorisasi struktur tak terelakan *) . Kategori yang menyipta identifikasi represif yang menyakitkan. Penegasan antara yang nyata dan yang abstrak. Yang manifest dan yang imajiner. Antara yang tampak dan yang dipercaya. - |
Note to rememberon this blogLearning is inevitable .. and as it is a process, what is knowledge if not shared? where would knowledge be without human dialectics Archives
January 2017
Categories
All
Discussions |